Dark
Light

Akankah SEA Tour Menjadi Cikal Bakal Kebangkitan Esports LoL di Asia Tenggara?

4 mins read
March 15, 2019
Tim EVOS Esports (Vietnam) saat bertanding di gelaran MSI 2018. Sumber: LoL Esports Official Media

Baru-baru ini Riot Games, lewat Garena, mengumumkan sebuah format kompetisi League of Legends baru untuk regional Asia Tenggara. Format ini diberi nama League of Legends SEA Tour (LST), yang merupakan usaha Riot Games untuk menyatukan semua kegiatan ekosistem esports di Asia Tenggara.

SEA Tour mengubah format kompetisi dari liga lokal, menjadi format turnamen antar negara dalam satu regional Asia Tenggara. Dalam format turnamen baru ini, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Indonesia akan langsung ditandingkan di dalam satu wadah besar. Alur kompetisi SEA Tour dibagi menjadi empat fase yaitu: Kualifikasi ranked online, kualifikasi nasional, National Minor, SEA Tour Spring/Summer Major.

Nantinya tim yang berhasil jadi juara di SEA Tour Spring/Summer Major, berhak untuk lolos ke fase global, entah itu Mid-Season Invitational 2019 atau Worlds 2019.

Sumber
Sumber: Garena Indonesia

Sebelumnya, ekosistem kompetisi LoL di Asia Tenggara menggunakan sistem liga lokal. Beberapa negara di Asia Tenggara sudah melakukannya lewat program seperti: League of Legends Garuda Series (LGS) Indonesia atau Vietnam Championship Series dan lain sebagainya. Sistem ini sebenarnya mencoba mereplikasi apa yang sudah sukses dilakukan di beberapa regional, contohnya ada liga LoL AS yaitu LCS atau liga LoL Korea yaitu LCK.

Namun selama liga lokal ini diselenggarakan, Asia Tenggara entah kenapa masih kurang bisa berkompetisi dalam program esports LoL Global. Dengan format tersebut, perwakilan SEA kerap terhenti ketika mencapai fase International Wildcard Qualifier atau fase yang kini disebut sebagai Worlds atau MSI play-in.

Walaupun begitu, dua tahun belakangan pencapaian regional SEA di jagat kompetitif LoL internasional meningkat. Hal tersebut tercatat lewat lolosnya Gigabyte Marines (Filipina) ke MSI 2017 dan EVOS (Vietnam) ke MSI 2018. Kendati demikian, keduanya tetap tidak berhasil lolos dari fase grup di MSI, babak belur oleh Korea, Tiongkok, Amerika, dan Eropa; empat regional yang memang adalah powerhouse jagat kompetisi LoL.

Sumber:
Sumber: LoL Esports Official Media

Melihat perubahan format yang terjadi ini, muncul pertanyaan di kepala saya. Apakah perubahan ini akan membuat tim LoL SEA jadi lebih bersinar di kancah internasional? Bagaimana dampaknya kepada pemain, iklim kompetitif, serta ekosistem esports LoL di Asia Tenggara?

Untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut, saya mewawancara dua sosok yang pegiat esports LoL di Indonesia. Mereka adalah Yota dan Florian “Wofly” George. Yota sendiri sebenarnya sudah cukup lama malang melintang di dunia esports Indonesia, bahkan sebelum program esports LoL Indonesia ada. Namun dalam salah satu portofolio karirnya, ia sempat menjadi bagian dari tim produksi League of Legends Garuda Series (LGS) yang diselenggarakan oleh Garena.

Sementara nama Wolfy selama ini dikenal sebagai sosok shoutcaster di dalam gelaran seri liga LoL lokal Indonesia tersebut. Bukan sekedar shoutcaster, tapi Wolfy juga terkenal sebagai sesosok analis yang brilian yang kerap memperhatikan perkembangan esports LoL baik lokal maupun internasional. Tak berhenti sampai situ, ia juga sempat menjadi pemain, mewakili Indonesia dalam gelaran kompetisi LoL antar universitas dengan membawa nama kampus UPH.

Sumber:
Sumber: Facebook Yota

Kembali ke pembahasan soal SEA Tour, mari kita dengarkan pendapat dari Yota terlebih dahulu. Menurut pendapat dia, sebenarnya perubahan format dari liga lokal menjadi SEA Tour, tidak banyak membantu perkembangan ekosistem esports LoL di Asia Tenggara. “Playerbase League di SEA sekarang masih declining dan rasanya itu sulit dihindari. Salah satunya juga disebabkan karena trend mobile gaming di SEA yang terus meningkat” Tambah Yota.

Wolfy juga memberi pendapat soal dampak perubahan format ini dari sisi iklim kompetitif League di SEA. Menurutnya sistem baru ini memberi satu nilai positif, yaitu memungkinkan tim kuda hitam atau tim baru untuk muncul dan menjadi pemenang.

Mengapa demikian? Penyebabnya karena SEA Tour merupakan kompetisi tanpa kasta, memungkinkan siapapun melawan tim manapun. “Tapi jujur, gue pribadi lebih prefer sistem liga, karena membuat pemain ataupun organisasi jadi lebih terjamin” Wolfy kembali menambahkan.

Yota (kiri) dan Wolfy (kanan) saat jadi shoutcaster untuk PvP Esports
Yota (kiri) dan Wolfy (kanan) saat jadi shoutcaster untuk PvP Esports

Lalu apakah perubahan format ini bisa menghidupkan kembali scene esports di SEA? Terkait topik ini keduanya cukup kompak menjawab tidak.

Wolfy menjelaskan lebih lanjut soal jawabannya, “Jujur sebenarnya sulit untuk menghidupkan kembali scene LoL terutama di Indonesia. Jumlah organisasi yang punya niat terhadap scene LoL sudah sangat sedikit, turnamen League juga sangat terbatas, apalagi ditambah viewership LoL di Indonesia serta Asia Tenggara yang sangat rendah. Gue rasa sih tiga hal itu adalah faktor utama kenapa LoL di SEA jadi sulit berkembang.”

Pada sisi lain jawaban Yota cenderung lebih optimis, walaupun sebenarnya tetap skeptis dengan perkembangan scene LoL di Asia Tenggara. “Butuh lebih dari sekedar SEA Tour untuk bisa menghidupkan kembali scene esports League di SEA” jawab Yota tegas.

“Tapi kehadiran LST menjadi sinyal bahwa LoL di SEA itu belum mati. Ini adalah salah satu langkah positif dari Riot Games menurut gue. Juga, kehadiran LST tentu memberi jalan kepada pemain kompetitif yang punya mimpi bisa bermain MSI atau Worlds” Yota menjelaskan lebih lanjut kepada saya.

Sumber:
Sampai saat ini, pusat kegiatan esports LoL masih terpusat di empat regional. Eropa salah satunya, yang hadir lewat program LoL European Championship (LEC). Sumber: LoL Esports EU

Sebenarnya inisiasi liga lokal diselenggarakan oleh Riot Games melalui Garena merupakan inisatif yang baik untuk mengembangkan ekosistem esports LoL di Asia Tenggara.. Sayang kenyataan pahit yang harus diterima Garena adalah kecenderungan pemain Asia Tenggara memilih Dota 2 dalam hal game MOBA di PC, atau lari ke MOBA yang ada di mobile.

Kendati demikian, saya cukup setuju dengan apa yang dikatakan Yota. Walaupun jagat kompetitif League di SEA bisa dibilang sudah hampir mati suri, kehadiran SEA Tour adalah bukti nyata kepedulian Riot Games.

Kalau boleh jujur, sebenarnya cukup adil jika Riot Games memutuskan lepas tangan, lalu membiarkan jagat kompetitif LoL di Asia Tenggara terombang-ambing. Toh Riot Games juga sudah kesulitan mendapat keuntungan dari LoL di Asia Tenggara bukan?

Semoga saja kehadiran SEA Tour bisa kembali membangkitkan jiwa-jiwa kompetitif dari pemain LoL di Asia Tenggara. Tapi jangan berharap banyak ini bisa menghidupkan kembali scene LoL di SEA. Saya sangat skeptis dengan hal tersebut, apalagi mengingat era MOBA yang sudah selesai, dan pergeseran gaming culture di Asia Tenggara dari PC ke Mobile.

Previous Story

Ninja Xpress Intends to Serve “Social Commerce” Logistics Segment

Carsome berencana meluncurkan layanan "financing" untuk "dealer" di Indonesia per Q4 2019
Next Story

Platform Penjualan Mobil Bekas Carsome Fokus Ekpansi di Kota-Kota Besar Indonesia

Latest from Blog

Don't Miss

Champion baru League of Legends, Briar

Mengenal Briar, Champion Baru League of Legends yang Sering Kehilangan Kendali

Sempat muncul bocorannya beberapa waktu lalu, Briar akhirnya resmi diperkenalkan

Valve Buat Regulasi Baru di CS:GO, Apa Dampaknya ke Ekosistem Esports?

Selama bertahun-tahun, Valve jarang turun tangan untuk menentukan arah perkembangan