Startup kebanyakan membawa model bisnis yang bisa mengganggu tatanan bisnis di beberapa sektor konvensional. Di Indonesia hal ini bisa dilihat bagaimana Go-Jek, Uber, Grab, dan startup-startup lainnya. Terutama bisnis yang mengandalkan kekuatan sharing seperti Go-Jek, Uber, Grab dan AirBnb. Tiga nama pertama bergerak di sektor transportasi mengandalkan mitra mereka sedangkan AirBnB menjalani bisnis di sektor penyewaan hunian atau tempat tinggal sementara. Semuanya terbukti mengganggu bisnis konvensional di Indonesia.
Mengenai mengganggu tatanan bisnis konvensional, Go-Jek, Uber dan layanan serupa bisa dilihat dari demo besar-besaran yang dilakukan pelaku bisnis taksi konvensional. Mereka dinilai menyalahi aturan dengan tidak melengkapi persyaratan seperti yang perusahaan taksi penuhi. Akhirnya pemerintah merespons demo tersebut dengan mengeluarkan regulasi yang ada.
Untuk AirBnB, disebutkan Bali menjadi salah satu daerah dengan dampak terbesar yang terganggu dengan bisnis persewaan kamar ini. AirBnB yang menjadi “musuh” besar industri perhotelan di Amerika Serikat tampaknya juga akan menjadi “musuh” untuk industri perhotelan Indonesia.
Di sampaikan Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani permintaan sewa hotel menurun hingga 35 persen. Indikasi utamanya banyak vila yang dimiliki individual dan disewakan melalui AirBnB
“Demand turun hingga 35%. Mungkin banyak vila yang dimiliki individual dan disewakan melalui AirBnB. Sejak tahun 2010, terjadi penurunan yang signifikan di Bali. Angkanya belum jelas karena kamar hotel juga terus bertambah,” ujar Hariyadi.
Haryadi juga menjelaskan bahwa fenomena sharing economy juga akan mengganggu bisnis perhotelan dan diminta untuk bersiap menghadapi fenomena ini. Dengan harga yang lebih murah dan kemudahan menggunakan aplikasi AirBnB menjanjikan potensi mengganggu yang besar.
Salah satu langkah antisipatif yang dilakukan adalah dengan lebih gencar melakukan promosi baik di dalam dan di luar negeri. Dengan potensi sektor wisata yang diproyeksikan tumbuh 10% dibanding tahun lalu, sektor perhotelan berharap dapat meningkatkan permintaan.
Hariyadi dalam pemberitaan SWA juga mengungkapkan pihaknya akan mengusulkan untuk menertibkan pelaku sharing economy, dalam hal ini AirBnB. Soal pajak dan tanggung jawab kepada negara.
“Kami harus mengusulkan penertiban para pelaku sharing economy ini. Mereka menyewakan hotel atau vila namun tidak membayar pajak. Ini jelas tidak adil. Mereka juga punya tanggung jawab kepada negara. Kami yang punya usaha hotel, aturannya ketat sekali,” kata Hariyadi.
Selain mengusulkan penertiban Haryadi juga menjelaskan para pengusaha hotel juga tengah menyiapkan inovasi berbasis teknologi seperti Agoda, Booking dan juga bisnis boling yang dimiliki pihak lokal. Selain itu para pemilik usaha perhotelan juga akan membuat platform e-commerce yang bersifat B2B antara pengusaha hotel dengan vendor.
Nantinya para vendor akan dikonsolidasikan sehingga pembeli dan penjual bisa bertemu secara langsung. Dampaknya volume akan lebih besar dan harganya murah.
“Pariwisata itu kuncinya ada di atraksi. Kalau tidak ada itu, tidak ada nilainya. Sasaran inilah yang kami galakkan di seluruh Indonesia secara terintegrasi dengan calender of event,” katanya.
Regulasi tampaknya akan menjadi momok besar bagi startup yang mengusung sharing economy. Go-Jek, Uber, Grab, AirBnB dan layanan sharing economy lainnya. Setidaknya untuk sekarang pemerintah memiliki regulasi untuk sharing economy transportasi armada mobil. Untuk perhotelan mungkin tidak akan lama lagi akan diterbitkan regulasi serupa, menunggu seberapa terganggu para pengusaha hotel dan sebesar seberapa besar desakan mereka terhadap pemerintah.