Di paparan studi ITB tahun lalu, layanan 5G diperkirakan komersial secara penuh paling cepat pada akhir 2021. Salah satu operator memang telah meluncurkan layanan 5G baru-baru ini, tetapi penggunaannya masih terbatas pada cakupan kota dan perangkat tertentu.
Pemerintah juga sebetulnya masih memiliki banyak PR untuk mengakomodasi kebutuhan operator telekomunikasi dalam menggelar 5G. Sembari menanti hal ini terealisasi, operator sudah mulai mempersiapkan infrastruktur jaringannya untuk menyambut teknologi telekomunikasi generasi kelima tersebut.
Di antaranya adalah PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) yang tengah mentransformasikan jaringannya selama beberapa tahun terakhir. Chief Technical Officer H3I Desmond Cheung memamparkan rencana ekspansi jaringan dan pandangan lebih dalam terkait 5G secara eksklusif dengan DailySocial.
Ekspansi jaringan berkelanjutan
Meski telah komersial sejak 2014, penetrasi 4G baru mencapai 73% pada 2019 sebagaimana dilaporkan Katadata. Kondisi geografis Indonesia masih menjadi salah satu tantangan terbesar. Namun, operator telekomunikasi harus dapat memenuhi kebutuhan jaringan seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna smartphone. Kemkominfo mencatat penetrasi smartphone mencapai 89% atau 167 juta dari total populasi Indonesia.
Desmond mengungkapkan, sejak 2019 pihaknya telah menambah jaringan 4G hingga dua kali lipat. Penambahan ini sudah termasuk perluasan cakupan jaringan ke wilayah luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah. Bahkan baru-baru ini, H3I juga menambah lebih dari 200 hotspot di Jabodetabek, Jawa Barat, Bali, dan Nusa Tenggara.
Awal tahun ini, ungkapnya, H3I telah mengomersialisasikan jaringan seluler di Sulawesi Tengah yang disebut dapat menjangkau sebanyak 1,5 juta populasi di lima kota dan kabupaten, seperti Palu, Sigi, Donggala, Parigi, Moutong, dan Poso. Saat ini, pihaknya tengah fokus menyelesaikan rollout jaringan 4G di 70 desa pada akhir Oktober.
H3I telah menjangkau sebanyak 80% dari total populasi Indonesia. Per Desember 2020, H3I tercatat sudah membangun lebih dari 44.000 BTS 4G di seluruh Indonesia. Sementara, per Maret 2021 H3I telah memiliki sebanyak 39,8 juta pengguna.
“Kami terus mengembangkan BTS 4G untuk menyediakan konektivitas broadband di daerah terpencil dan kepulauan Indonesia. Ini adalah salah satu komitmen kami mendukung program pemerintah untuk mengakselerasi transformasi digital di daerah 3T. Kami akan terus memperkuat kapasitas jaringan kami di daerah dense dan yang memiliki trafik tinggi,” jelasnya.
Transformasi jaringan untuk kesiapan 5G
Meski belum ada ketok palu mengenai penetapan frekuensi 5G dan aturan turunannya, operator sudah mulai melakukan mentransformasikan infrastruktur jaringannya. Desmond mengungkap bahwa H3I juga telah melakukan transformasi besar-besaran sembari menanti komersialisasi 5G secara serentak.
“Kami melakukan peningkatan jaringan pada Core, lalu mentransformasikan jaringan PS Core ke Control and User Plane Separation (CUPS) pada arsitektur jaringan terdistribusi kami. Transformasi ini dilakukan untuk lebih jauh memperpendek latensi 5G,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga melakukan transformasi pada jaringan Transport dengan Segment Routing IPv6. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan jaringan protokol, mengotomatisasi ketersediaan layanan, hingga meningkatkan konsistensi jaringan sehingga dapat memenuhi permintaan kapasitas tinggi di 5G sebagai Ultra-Reliable Low Latency Services (URLLC).
Menurut Desmond, pihaknya berupaya secara efisien untuk melayani permintaan layanan data dengan ketersediaan spektrum saat ini. Pihaknya mengoptimalkan spektrum yang ada untuk meningkatkan kapasitas jaringan. Desmond mengklaim H3I sebagai operator seluler yang memiliki tingkat efisiensi penggunaan spektrum tertinggi dibanding operator seluler lainnya di Indonesia.
Hanya saja, spektrum yang ada belum cukup untuk menggelar 5G. Untuk dapat memberikan kecepatan data 5G, teknologi ini membutuhkan bandwith lebih besar dari spektrum baru. Maka itu, ketersediaan spektrum 5G baru, terutama di 3.500MHz yang dipilih sebagai frekuensi emas, sangat penting untuk mempercepat pengembangan 5G di Indonesia
“Sebelum frekuensi emas ini mendapatkan lisensi resmi untuk 5G, kami akan terus mentransformasikan jaringan kami untuk kesiapan 5G sehingga nantinya akan menjadi salah satu operator yang lebih dulu memimpin penyelenggaraan 5G,” papar Desmond.
Dukungan pemerintah pada penyelenggaraan 5G
Dengan berbagai manfaat yang ditawarkan, 5G diyakini dapat mentransformasikan berbagai aspek kehidupan, mulai dari kegiatan sehari-hari, bisnis, hingga cara industri beroperasi. Hal ini karena teknologi 5G mampu menghubungkan jutaan perangkat dengan kecepatan tinggi dan latensi rendah yang dimilikinya.
Desmond menilai operator seluler punya peluang untuk menghadirkan Enhanced Mobile Broadband (eMBB) untuk pasar consumer. Bentuk pemanfaatannya, misalnya, adalah layanan VR/AR dan video streaming 8K. Dengan berbagai use case ini, operator dapat menghasilkan sumber pendapatan baru dari segmen pasar baru, yaitu korporat dan industrial.
“5G akan menjadi enabler bagi sektor manufaktur, kesehatan, agrikultur, atau pendidikan. Tak hanya itu, 5G dapat dimanfaatkan untuk mengadopsi smart city di ranah transportasi, keamanan publik, dan pelayanan publik. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, jarak menjadi tantangan besar dan 5G bisa mengatasi tantangan itu,” jelasnya.
Kendati demikian, dari segala asas manfaat yang diberikan, tak dimungkiri implementasi 5G membutuhkan banyak pertimbangan. Pertama, soal besarnya investasi yang dikeluarkan. Menurutnya, banyak infrastruktur jaringan yang harus dibangun dan beberapa elemen jaringan harus di-upgrade. Maka itu, menurunkan elemen pada biaya pembangunan akan membantu operator telekomunikasi untuk mengakselerasi pembangunan 5G.
“Pemerintah punya peran besar untuk mengatasi isu ini. Melalui UU Cipta Kerja, dan ini adalah regulasi turunan, pemerintah telah memberikan dukungan untuk menciptakan efisiensi di industri telekomunikasi. Regulasi ini dapat mengizinkan berbagi jaringan di antara operator seluler, termasuk berbagi infrastruktur pasif dan aktif, serta transfer spektrum,” ujar Desmond.
Selain UU Cipta Kerja, Desmond juga menilai bahwa pemerintah sebetulnya dapat membantu lebih banyak memfasilitasi operator seluler dan industri dalam memahami kebutuhan pasar 5G. Menurutnya, upaya ini akan sangat dibutuhkan alih-alih cenderung banyak mempromosikan 5G dengan berbagai use case bermanfaat, seperti telemedicine atau smart farming.
“Demi membantu industri seluler melakukan kick start di 5G, pemerintah mungkin dapat mempertimbangkan untuk menurunkan biaya spektrum 5G. Hal ini terutama pada tahap awal selama beberapa tahun ke depan ketika demand 5G belum besar. 5G akan membutuhkan peningkatan signifikan pada kapasitas transport dan aspek infrastruktur jaringan lainnya. Artinya, license fee mungkin dapat diubah tanpa membebankan industri,” tambahnya.
Belum lagi bicara kesiapan kesiapan ekosistem yang menjadi kunci utama untuk membuat 5G lebih accessible untuk siapapun, baik consumer maupun enterprise. Ekosistem 5G akan selalu dikaitkan pada ketersediaan perangkat dan aplikasi untuk penggunaan berbagai macam use case. Desmond menekankan pentingnya kerja sama dari para pemangku kepentingan di berbagai level dan lintas industri untuk mengawal pengembangan ekosistem 5G dari awal.
“Tak cuma operator dan dukungan pemerintah, pengembangan 5G butuh kerja sama yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pabrik manufaktur perangkat, pengembang software, hingga penyedia konten. Pemerintah sudah meletakkan pondasi yang bagus untuk mengakselerasi pengembangan infrastruktur broadband. Kami yakin ini dapat menekan gap digital dan konektivitas di Indonesia.”