Arus modal besar-besaran yang terjadi tahun 2014 di Asia Tenggara, seperti investasi Alibaba ke SingPost sebanyak $249 juta, kucuran dana $100 juta untuk Tokopedia, dan $250 juta untuk Lazada, diprediksi akan mendorong perubahan di lansekap e-commerce tanah air. aCommerce mengeluarkan prediksi e-commerce Asia Tenggara di tahun 2015,yang diambil dari gabungan data primer investor, wawancara dengan jajaran eksekutif, data internal, dan sumber sekunder lainnya berupa artikel atau laporan yang terbit dari Januari 2014 hingga Desember 2014.
1. Konsolidasi akan meningkat di pasar B2C
Gelombang modal besar yang disuntikkan ke wilayah Asia Tenggara tahun 2015 membuat startup kewalahan memanfaatkan potensi pertumbuhan organik massal di Asia Tenggara. Wilayah kepulauan seperti Indonesia membutuhkan butuh modal besar. Perusahaan B2C akan dituntut untuk mempercepat pertumbuhannya, caranya dengan akuisisi atau merger.
Ruang B2C saat ini masih terfragmentasi, tetapi e-commerce pendatang yang berkantong tebal seperti Lazada bisa membuat kompetisi bagi para pemain yang lebih kecil jauh lebih sulit. “Dengan banyaknya uang yang berputar di pasar, pemain besar akan berpikir untuk mengakuisisi,” ujar Paul Srivorakul, Group CEO aCommerce & Executive Chairman Ardent Capital.
2. Digital Agency harus beradaptasi atau tamat
E-commerce adalah pasar yang booming namun masih akan terus berjuang mengembangkan produk dan layanan. Agency tidak memiliki struktur insentif yang tepat, budaya, dan bakat untuk membuat hal ini terjadi. Penting untuk dicatat bahwa mengakuisisi perusahaan mandiri dibandingkan mengintegrasikan ke dalam rantai end-to-end adalah dua hal yang sangat berbeda.
“Tanpa perubahan DNA inti mereka akan terus mengejar e-commerce besar dan kehilangan bisnis mereka,” papar Grup CMO aCommerce Sheji Ho.
3. Marketplace akan semakin banyak
Terinspirasi oleh IPO Alibaba senilai $25 miliar, perusahaan di seluruh rantai ini akan mencari cara untuk membangun pasarnya sendiri. Selain pemain lama Lazada dan Rakuten, kita akan melihat perusahaan telekomunikasi, perusahaan media, bank, serta pengecer B2C memasuki ranah ini. Perusahaan-perusahaan ini mencari cara tambahan dari basis pengguna mereka di luar Value Added Services (VAS). Masuknya tambahan modal, seperti investasi Softbank senilai $100 juta ke Tokopedia, akan mengakibatkan hiper-kompetisi di ruang yang sudah penuh sesak ini.
“Pasar memanas, brand harus mampu melakukan pendekatan customer-centric terhadap ritel dengan memastikan produk mereka tersedia di semua platform tersebut. Investasi dalam teknologi atau mitra untuk mendistribusikan produk akan menjadi pembeda utama pemain yang sukses di tahun 2015, “tutur Paul.
4. Masyarakat Ekonomi Asean akan percepat linta batas e-commerce
Masyarakat Ekonomi ASEAN akan membuka perbatasan dan merangsang perdagangan di Asia Tenggara. Raksasa e-commerce seperti Amazon, dan ASOS yang berbasis di London, sudah menghitung Singapura, Thailand, dan Indonesia sebagai pasar yang tumbuh tercepat di Asia. Sebagai contoh, Shopbop baru-baru ini melakukan lintas batas kampanye Black Friday atau Cyber Monday dengan Line dan aCommerce. Perusahaan Tiongkok seperti Alibaba dan JD.com semakin melihat pertumbuhan Asia Tenggara, sementara pertumbuhan mereka di Tiongkok stabil.
“Dana segar dari IPO mereka ditambah tekanan untuk tumbuh lebih cepat, memperluas ke pasar lain adalah salah satu caranya,” tambah Paul.
Menurut data Go-Globe, penjualan B2C Indonesia berada di posisi kelima di kawasan Asia Pasifik.
5. Pengusaha asing akan membanjiri pasar
Setelah China dan India, Asia Tenggara adalah daya tarik besar untuk bekerja di bidang e-commerce dan teknologi. Tren ini akan terus berlangsung tahun 2015 dengan ekonomi di Eropa yang masih berjuang dan pemulihan ekonomi di Amerika Serikat.
6. Uber-isasi logistik
Tahun 2015 adalah waktunya Uber dan GrabTaxi serius mengarap pasar pengiriman barang. Amazon sudah menguji pengiriman via Uber. Uber juga baru bermitra dengan Kiehl dan aCommerce untuk mendistribusikan produk Kiehl untuk pengendara Uber di Bangkok. Persaingan di ruang ini akan memanas dengan GrabTaxi yang baru-baru ini menerima $250 juta dari Softbank dan Uber akan menerima $600 juta dari Baidu untuk mendorong ekspansi di Asia. Semua dana ini akan meningkatkan persaingan dalam bisnis inti ride sharing dan akan mempercepat inovasi di bidang lain, seperti logistik dan pengiriman.
“Mereka sudah memiliki infrastruktur dan teknologi sehingga mereka bisa mengisi melakukan pengiriman, terutama pada waktu jam kerja saat orang jarang berpergian,” pendapat Grup COO aCommerce Peter Kopitz.
7. Mobile commerce masih akan tertinggal
Line juga baru-baru ini meluncurkan pasar C2C mobile bernama Line Shop dan Line Pay. Tidak diragukan lagi tingkat konversi mobile-nya akan meningkat. Meskipun demikian diperkirakan mobile commerce masih beberapa tahun lagi mengungguli dominasi desktop.
Di bulan Februari ketika aCommerce meluncurkan studi kasus mobile commerce menemukan bahwa penggunaan utama ponsel adalah untuk browsing. 89% dari pengguna Line menggunakan ponsel untuk browsing. Sepuluh bulan kemudian, saat meninjau data klien aCommerce, proyeksi mobile tetap sangat kecil. Transaksi ponsel stabil di 10% dari total transaksi dalam 30 hari terakhir.
Alasan utama adalah pengalaman pengguna ponsel tidak dioptimalkan untuk belanja. Desktop mungkin masih dominan atas ponsel, namun perusahaan didesak untuk mengambil langkah jangka panjang untuk memulai investasi di ponsel.
8. E-commerce B2B lepas landas
B2B akan lepas landas pada tahun 2015 setelah terus-menerus di bawah bayangan B2C. Jeff Bezos mengucurkan $8 triliun khusus pasar B2B dan menargetkan pasar yang tidak seksi tapi sangat menguntungkan grosir dan distribusi.
9. COD akan tetap diperlukan untuk memenangkan pasar
COD meredakan dua masalah terbesar dari pembeli online di Asia Tenggara, yaitu penipuan produk dan pembayaran. Sebagian besar konsumen masih takut memberikan informasi kartu kredit atau mentransfer dana dan melakukan transaksi secara online. Banyak konsumen juga tidak memiliki akses ke kartu kredit, ATM, atau PayPal sehingga mengakibatkan tingginya tingkat pembatalan transaksi. Sekitar 70% dari pesanan online di sebagian besar negara di Asia Tenggara menggunakan Cash on Delivery.
“Untuk memenangkan Asia Tenggara, perusahaan perlu untuk berinvestasi dalam cash on delivery, tidak peduli betapa sulitnya. Sama seperti pengiriman hari yang sama adalah tantangan Jeff Bezos di Amazon, kita melihat COD sebagai standar baru layanan yang diperlukan,” pungkas Paul.
[Ilustrasi: Shutterstock]