Kita sepakat bahwa perusahaan-perusahaan yang dirintis dari level startup, seperti WhatsApp, Dropbox, Uber, Tumblr hingga Twitter, bertumbuh dan menjadi besar karena menawarkan pengalaman baru kepada pelanggan dan produk yang inovatif, terlepas dari seberapa kompetitifnya persaingan di pasar ataupun pengalaman pendiri startup saat memulai bisnisnya. Di artikel ini, berdasar dari hasil riset yang dilakukan Shasta Ventures terhadap 32 startup sukses dunia, kita akan mengulas bagaimana awal dari perusahaan-perusahaan sukses yang dulunya juga diawali di formasi dan level startup.
Dari 32 startup sukses yang produknya kini terus mendunia, ada beberapa hal yang menjadi benang merah, yakni:
Apakah ide yang diusung akan mampu menghasilkan value, terutama dari sisi bisnis?
Siapa sangka layanan backup dan sinkronisasi cloud kini masif tersedia di hampir setiap layanan online, terutama berbasis SaaS (Software as a Services)? Siapa sangka ternyata banyak orang yang tertarik untuk menyewa sofa atau perabot rumah seseorang? Siapa sangka banyak juga orang yang mau menonton secara live streaming orang yang sedang bermain game? Di awal ide-ide tersebut banyak dipertanyakan, sebelum berhasil tereksekusi dengan baik.
Dari yang paling dekat dan sudah kita rasakan, ide untuk memesan transportasi umum via ponsel. Mungkin di awal saat inisiasi ide pun ada yang mempertanyakan, “Ngapain sih mau pesen ojek aja ribet download aplikasi, harus buka HP, harus daftar akun, dan lain-lain?”. Tapi nyatanya layanan Uber, Go-Jek, GrabBike berjalan mulus di kota-kota besar di Indonesia dan memudahkan banyak orang. Dari situ kita memahami, bahwa ternyata ide besar pada awalnya memang tidak akan terlihat besar.
Ide besar yang masih dipertanyakan itu tak lain karena belum terlaksana dengan baik, sehingga ide tampak kecil, tampak banyak hal yang masih dipertanyakan, dan banyak asumsi yang mengatkan bahwa itu tidak masuk akal. Jika belajar dari bagaimana Airbnb sukses membuat orang mudah untuk menyewa rumah/kamar orang dengan mudah, maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang sukses hanya cukup mengekseusi ide dan konsep dengan sangat baik. Pendiri Airbnb Brian Chesky juga mengkonfirmasi awalnya idenya dipertanyakan, “Siapa sih orang yang mau tinggal di rumah orang asing?”
Pasar yang kompetitif terlihat mengerikan untuk didatangi, namun faktanya di sanalah tempat konsumen potensial
Banyak yang berkata bahwa untuk membangun bisnis yang sukses, startup harus pandai mencari celah pasar yang masih belum tersentuh. Untuk di bisnis teknologi hal tersebut sangatlah konvensional. Karena jika kita kembali mempelajari bagaimana startup yang kini telah bertumbuh dan besar justru mereka lebih memilih untuk piawai merangkul pasar yang kompetitif. Sebut saja WhatsApp atau Snapchat, mereka hadir di sektor telekomunikasi berbasis layanan Internet, padahal di sana persaingan sangatlah ketat.
Contoh lainnya adalah Eventbrite, sebuah layanan untuk mengelola sebuah acara. Orang bisa saja menggunakan cara konvensional atau bahkan membuat formulir pendaftaran dengan platformnya sendiri, namun cara baru yang dihadirkan lebih memikat, sehingga orang-orang yang tadinya menggunakan cara lain memilih untuk memperhitungkan produk baru tersebut.
Pada dasarnya konsumen akan selalu bersedia untuk mencoba produk yang menawarkan keunggulan dan pengalaman yang lebih menarik. Teknologi yang menyederhanakan proses tradisional yang kompleks menjadi salah satu kunci utama, untuk terciptanya cara-cara baru yang akan dicintai oleh pasar. Beranikan diri untuk terjun di pasar yang kompetitif, berbekal sebuah inovasi produk yang handal.
Konsumen adalah raja startup sukses harus mampu mengikuti bagaimana perilaku konsumen
Zulily sukses menjadi startup di bidang e-commerce untuk produk anak-anak. Yang ia tawarkan adalah kemudahan dan efisiensi. Perhatikan cara orang mendapatkan mainan anak yang sesuai, orang harus mendatangi ke toko, lalu harus mencari dari rak demi rak, jika tidak ada harus berpindah ke tempat lainnya dan seterusnya. Zulily menyederhanakan proses tersebut dengan memudahkan para orang tua hanya cukup mengaksesnya melalui komputer atau gadget-nya. Dan bisa melakukan pembayaran jarak jauh dengan kartu kredit. Terlihat proses yang sederhana, namun dilihat dari sisi konsumen sangat membantu.
Kemudian Dropbox menggantikan cara orang membuat salinan berkas pengguna perangkat komputer. Cara klasik orang akan menyimpan melalui flash-drive, namun seringkali ketika dihadapkan pada sesuatu yang krusial ada saja kejadian yang menghambat, dari flash-drive tertinggal di rumah hingga terjangkit virus karena dicolokkan ke komputer di sana-sini. Dropbox hadir untuk menanggulangi masalah tersebut, dengan memberikan solusi penyimpanan di internet, dan melakukan sinkronisasi langsung dengan perangkat pengguna. Lagi-lagi ini terlihat sederhana, hanya memindahkan dari flash-drive ke internet, namun lihat dampaknya saat ini, menarik bukan?
Ya, belajar dari Zulily dan Dropbox, mereka piawai mengamati bagaimana cara-cara yang diinginkan orang dalam melakukan aktivitas terkait. Produk startup yang membuat orang lebih mudah melakukan hal dengannya adalah wujud keberhasilan dari bisnis startup itu sendiri. Dan untuk mencapai tujuan ini, maka sangat diperlukan riset dan percobaan bagaimana orang-orang melakukan suatu hal, dan bagaimana membuatnya menjadi lebih sederhana.
Pengalaman menjadi guru terbaik, namun minim pengalaman bukan berarti tak berhak menjadi yang terbaik
Tiga perempat dari total 32 perusahaan yang menjadi bagian dalam riset Shasta Ventures memiliki pendiri yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman di bidang yang digeluti bisnisnya saat ini. Mereka bukan pengusaha berpengalaman, bahkan belum teruji. Namun dari semua pendiri tersebut terdapat sebuah garis besar mengapa perusahaan yang ia pimpin mampu berkembang sedemikian rupa. Ternyata semangatlah yang menjadi bahan bakarnya.
Mereka tidak menang karena segudang pengalaman yang dimiliki, mereka menang karena gairah dan keyakinan terhadap produk yang mereka kembangkan. Mereka memiliki perspektif yang baik tentang bagaimana menyajikan produk yang sesuai dengan target pasar mereka. Pada kenyataannya memiliki perpektif yang segar penting dimiliki seorang pemimpin bisnis, hal ini untuk mengubur perasaan yang akan membuat nyalinya ciut karena memang sebelumnya tak berpengalaman menghadapi situasi yang digenggam saat ini.
Fokus menghasilkan produk terbaik, karena uang hanya akan mengikuti produk terbaik di pasaran
Perusahaan yang kini telah memiliki monetisasi mapan ala Twitter atau Pinterest pada awalnya juga harus bertaruh dengan penghasilan $0 di awal. Namun mereka konsisten untuk fokus pada pengembangan basis pengguna daripada memikirkan bagaimana membuat keuntungan (uang) dari produk yang dibuat. Pendanaan yang masuk terus dimaksimalkan untuk merangkul pengguna sebanyak-banyaknya.
Para pimpinan startup sukses pun akhirnya angkat bicara, bahwa traction adalah bagian terpenting dari sebuah bisnis. Traction berkaitan dengan bagaimana bisnis mamku proposisi pelanggan dan meningkatkan adopsi dan keterlibatan pelanggan akan produknya. Pada akhirnya ketika sebuah startup berhasil membentuk basis pelanggan yang kuat di pasar dan terus memperbesar skalanya, maka saat berpikir tentang pendapatan hal tersebut akan terasa lebih ringan.
Beberapa startup terlihat mentereng dan banyak yang memprediksi akan menjadi bisnis besar, namun kadang masih ada juga yang harus tersandung di jalan. Dan tiba-tiba muncul ke permukaan dengan bisnis yang matang dari startup yang awalnya dikesampingkan. Memang, tidak ada rumus pasti tentang hal ini, prediksi tak sepenuhnya akan menjadi patokan. Nyatanya setiap kisah sukses selalu unik dan belum pernah terjadi sebelumnya, kendati demikian selalu ada pola yang bisa kita contoh dan replikasi untuk meniru kesuksesannya. Seperti salah satunya beberapa contoh di atas.
Berikut daftar startup lengkap disertai dengan nilai bisnisnya saat ini yang menjadi narasumber Shasta Ventures dalam risetnya: