Kenyamanan para pelaku bisnis konvensional sedang “diganggu” oleh bisnis berbasis teknologi yang menyediakan layanan peer to peer. Serangan “gangguan” terjadi begitu cepat, dan pebisnis konvensional biasanya bergerak lambat. Ini adalah pertempuran babak baru memenangkan pasar yang amat penting; masa depan. Yang terlihat jelas sekarang pertempuran itu terjadi di sektor transportasi, ritel, dan hotel.
Uber dan Go-Jek mengganggu BlueBird dan Express, Lazada dan Tokopedia mengganggu Matahari, Sogo, dan sejenisnya, Airbnb mengganggu konglomerat hotel.
Ada konsumen yang sepenuhnya siap dengan layanan berbasis teknologi. Mereka kebanyakan adalah anak muda, melek teknologi, dan yang terpenting, mereka adalah berada dalam masa produktif dan bagian dari masa depan. Sementara yang tidak siap, kebanyakan adalah orang tua, gagap teknologi, tidak menggunakan smartphone.
Dengan Uber, konsumen tak perlu berdiri di pinggir jalan melambaikan tangan untuk memberhentikan taksi. Dengan Tokopedia, konsumen tak perlu keluar rumah dan mendapatkan produk dengan harga terendah. Dengan Airbnb, konsumen mendapatkan tempat menginap harga terjangkau.
Bisnis berbasis teknologi dengan layanan peer to peer langsung merangkul orang yang menyediakan barang/jasa, kemudian distribusi berbasis teknologi memangkas “orang-orang tengah” atau perantara yang selama ini memperpanjang proses distribusi, sehingga barang/jasa dengan cepat ditujukan ke konsumen.
Kekuatan baru ini menyentuh langsung masyarakat penyedia barang/jasa untuk berpartisipasi memenuhi kapasitas dan kebutuhan konsumen, sekalipun mereka tidak memiliki badan hukum.
Keuntungan lebih bagi konsumen, layanan berbasis teknologi ini telah mengeliminasi hambatan-hambatan yang ada sehingga memangkas waktu, uang, dan upaya kita, dalam mendapatkan sesuatu. Ketiga hal yang sangat diperhitungkan oleh manusia modern yang makin disesaki kesibukan.
Lambat laun, dan sekarang sudah terjadi, bisnis-bisnis seperti ini membentuk “konsensus” dan “rasa saling percaya”. Konsensus dan saling percaya ini bisa tercipta dengan melihat berapa banyak bintang atau rating yang dikumpulkan pihak penyedia barang/jasa maupun konsumen.
Di masa depan, bintang atau rating akan menjadi tolak ukur yang adil. Ia dapat memberi gambaran seberapa maksimal penyedia barang/jasa melayani konsumen. Begitu juga penyedia barang/jasa akan bisa menilai keramahan dan sisi kooperatif konsumen dalam menuntaskan transaksi.
Jika bintang atau rating Anda kecil, maka Anda perlu lebih meningkatkan pelayanan atau meningkatkan keramahan saat berbelanja demi mendapatkan bintang atau rating tinggi.
Berbagi ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan
Konsep berbagi ekonomi yang dilakukan Uber, Go-Jek, Airbnb, Tokopedia hingga EBay, telah membantu masyarakat kelas bawah dan menengah yang melihat peluang ini untuk meningkatkan kesejahteraan.
Banyak laporan di media massa menceritakan para pengojek yang bergabung di Go-Jek kini menikmati pendapatan layaknya pekerja formal dengan penghasilan di atas Rp 5 juta. Kita dahulu tak pernah membayangkan bahwa ojek motor dapat dimanfaatkan untuk membeli dan mengantar makanan, sampai menjadi kurir, sebelum Go-Jek mencentuskan ide tersebut dan membuatnya sangat membantu para manusia super sibuk.
Para sopir taksi BlueBird yang sebelumnya hanya meraih penghasilan di bawah Rp 100.000 dari pendapatan Rp 300.000 per hari, kini bisa meraih pendapatan jauh lebih besar dengan bergabung di Uber. Beberapa bahkan berani menyicil mobil sendiri dan menjadi aset pribadi.
Bisnis berbasis teknologi peer-to-peer seakan telah melepas belenggu potensi masyarakat kelas menengah ke bawah. Faktor sosial ini telah mendukung bisnis berbasis teknologi hingga akhirnya diterima pasar, sekaligus membuat dampak gangguan yang lebih besar kepada bisnis konvensional atau tradisional.
Yang sekarang terjadi antara perusahaan taksi versus Uber adalah: banyak sopir taksi yang bergabung ke Uber untuk meraih penghasilan lebih, maka akan lebih banyak mobil di Uber, itu berarti lebih mudah konsumen menemukan mobil Uber, bila demikian lebih banyak orang memakai Uber dan pengguna taksi makin sedikit, yang berarti semakin banyak sopir taksi beralih ke Uber.
Kita bisa bayangkan betapa kesalnya pebisnis konvensional itu melihat kenikmatan yang selama ini mereka raih diganggu oleh pendatang baru. Lebih parah lagi jika pendatang baru itu telah mengganggu pendapatan perusahaan.
Ada dari pebisnis konvensional yang menyerang balik dengan cara politik dan memakai alasan keamanan, malah kadang mengatasnamakan rakyat dan nasionalisme. Saking kuatnya politik di sana, para penguasa sampai mengeluarkan komentar atau membuat aturan guna melindungi posisi pasar pebisnis konvensional.
Tetapi pebisnis teknologi tidak tinggal diam mencari “pintu belakang” di jalur politik. Diisi oleh orang muda yang kreatif dan inovatif, mereka bergerak cepat untuk lebih mengerti apa yang diinginkan konsumen. Mereka berani “bakar duit” untuk memberi potongan harga besar-besaran, semata meningkatkan kesetiaan para mitra serta memberi diskon besar kepada konsumen, yang tidak pernah diberikan oleh pebisnis konvensional.
Dan celakanya, para pebisnis berbasis teknologi ini memiliki saingan kuat di sektor yang sama. Mau tak mau masing-masing harus berpikir keras dan beraksi lebih agresif melawan kompetitor.
Kita bisa melihat perseteruan besar antara Go-Jek dan GrabBike. Kemudian persaingan di bisnis e-commerce yang disesaki oleh Tokopedia, BukaLapak, Lazada, Zalora, Bhinneka, Blibli. Uber pun kini punya pesaing GrabCar, anak dari GrabTaxi.
Upaya keras pebisnis berbasis teknologi dalam berkompetisi memenangkan pasar akan semakin memojokkan pebisnis konvensional. Mereka yang “bakar duit” dan memberi promosi besar akan menguntungkan konsumen, karena konsumen (terutama mereka yang sensitif harga) pasti mencari barang dan jasa terbaik dengan banderol termurah.
Merelevansikan bisnis dengan zaman
Bisnis berbasis teknologi ini sebenarnya tidak hanya menggangu industri taksi, hotel, atau ritel. Di industri media massa, kini semakin banyak pelaku usaha kecil menengah memanfaatkan Facebook dan Google Ads untuk iklan yang ditargetkan, ketimbang mereka harus berinvestasi besar di media massa yang tidak bisa menargetkan iklan ke calon pembelinya.
Di industri telekomunikasi, pendapatan operator seluler dari layanan voice dan SMS semakin turun lantaran pelanggan kadung nyaman memakai pesan instan dan berkomunikasi panggilan video yang berbasis Internet Protocol.
Di tengah perubahan besar ini, perusahaan mapan perlu merelevansikan bisnisnya dengan masa depan sebelum semuanya terlambat.
Cara elegan telah dilakukan Lippo Group dengan membangun MatahariMall yang diisi nama-nama mentereng untuk bersaing langsung dengan toko online. Kemudian Indomaret dan Alfamart yang berupaya ekspansi ke jalur online melalui Alfaonline dan KlikIndomaret, meskipun keseriusan mereka masih jadi tanda tanya besar.
BlueBird juga telah membangun aplikasi pemesanan taksi di Android dan iOS. Tetapi sayang, BlueBird masih menggunakan tenaga outsourcing SeatechMobile. Alangkah baik jika aplikasi tersebut dikelola sendiri oleh divisi teknologi informasi perusahaan guna menindak cepat segala aksi korporasi yang memanfaatkan teknologi, seperti promo.
Ada pula cara pintar perusahaan mapan yang berinvestasi di perusahaan berbasis teknologi peer-to-peer. Kita telah melihat bagaimana BUMN Tiongkok yang bergerak di bidang investasi, China Investment Corporation, dan juga BUMN Singapura, Temasek Holdings, berinvestasi di GrabTaxi.
Perusahaan raksasa teknologi dan lembaga finansial pun tak mau ketinggalan berinvestasi dan mendukung Uber. Mereka terbuka dengan inovasi dan ingin ambil bagian menikmati keuntungan dengan spekulasi layanan pemesanan mobil berbasis aplikasi adalah jawaban di masa depan.
Jangan melulu mengatakan pendatang baru ini telah merusak tatanan, mencari kambing hitam atas penurunan pendapatan dan krisis. Jangan-jangan, bisnis berbasis teknologi justru tumbuh dua digit karena berhasil memakan kue pasar pebisnis konvensional.
Coba buka buku harian Anda untuk melihat respons apa yang telah dilakukan untuk melawan para pendatang baru dengan segala penawaran yang benar-benar baru ini?
Perusahaan konvensional memang belum hilang, namun relevansi terhadap zaman dan pasar terus menurun jika tak segera merespon dengan membuat model bisnis yang inovatif dan lebih efisien. Pemain lama yang tak merespons pendatang baru mungkin masih akan ada selama bertahun-tahun atau puluhan tahun, tapi dalam nilai yang terus turun dan mengandalkan konsumen setia yang tua.