Merupakan hal yang tak biasa sebenarnya ketika sebuah perusahaan di Asia mengakuisisi rivalnya yang berasal dari belahan bumi lain, terutama yang sempat menjadi hype di Sillicon Valley. Hal itulah yang terjadi beberapa waktu lalu saat Path mengumumkan akuisisi terhadap aplikasi andalan mereka oleh perusahaan Korea Selatan Daum Kakao. Dari akuisisi seperti ini para penggiat startup dapat mengambil beberapa pelajaran berharga.
Kabanyakan dari mereka yang memiliki ketertarikan dengan teknologi biasanya sudah familiar dengan kedua aplikasi ini atau setidaknya tahu akan keberadaan mereka. Path, yang telah berumur lima tahun, dapat dikatakan sebagai salah satu pionir yang memberikan rasa baru terhadap desain antar muka aplikasi mobile.
KakaoTalk sendiri, aplikasi instant messaging milik Daum Kakao, merupakan salah satu aplikasi instant messaging yang populer, khususnya di Korea Selatan. Meskipun secara global basis pengguna Kakao Talk masih kalah dari pesaingnya, tetapi hampir 95 persen smartphone di Korea Selatan sudah terinstalasi aplikasi ini. Menurut data Mary Meeker yang dirilis minggu lalu, Kakao Talk berada di peringkat teratas dunia untuk aplikasi pesan instan berdasarkan keterlibatan pengguna.
Nyatanya kedua belah pihak juga memiliki hambatan yang membuat mereka tak dapat tumbuh dengan lebih baik. Meskipun Path menawarkan hal yang berbeda sebagai media sosial berbasis mobile, kenyataannya Path lebih populer di Asia Tenggara dibanding di rumah sendiri. Di lain sisi, KakaoTalk seolah mengalami keadaan yang “stagnan” untuk perluasan pasarnya di Asia Tenggara yang menjadi salah satu target utama.
Poin utama akuisisi ini adalah untuk mendominasi pasar Asia Tenggara. Lalu, pelajaran apa yang bisa ambil dari akuisisi Path oleh Daum Kakao tersebut?
1. Tawarkan hal baru yang dapat menjadi kekuatan bisnis berkelanjutan
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sebagai media sosial, Path sejatinya memiliki banyak hal baru yang ditawarkan saat masa awal kemunculannya di pasar. Eksekusi produk Path saat itu bisa dibilang manis dengan desain yang segar, khususnya flyout button mereka, keterbatasan pertemanan, yang membuatnya menjadi private social media, dan beberapa elemen media sosial lain yang membuat Path menjadi mobile-first alternative bagi Facebook yang mendulang sukses.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, perkembangan Path sendiri seolah menjadi “membosankan”. Tak banyak hal baru yang ditawarkan oleh Path yang cukup inovatif dan dapat menjadi tonggak kekuatan baru untuk bisnisnya secara berkelanjutan. Diungkapkan oleh Country Manager Path Indonesia William Tunggaldjadja, sejauh ini Path sendiri masih meraba-raba bagaimana caranya melakukan monetisasi di negara ini, termasuk soal bekerja sama dengan pihak ketiga.
Hal berbeda dirasakan oleh aplikasi messaging yang sedang populer di kalangan anak muda Snapchat. Meskipun eksekusi awalnya tidak secantik Path, Snapchat menawarkan hal baru cara berbincang secara digital, yaitu penyimpanan konten (foto dan video) secara singkat. Mereka bahkan sudah merambah pasar konten yang lebih luas dengan menggandeng sejumlah raksasa media. Tak heran jika Snapchat bisa menjadi unicorn, sementara Path tidak.
2. Lepaskan jika itu yang terbaik untuk bisnis
Dengan kurangnya inovasi yang ditawarkan dan membuat perkembangannya menjadi sedikit membosankan, keputusan untuk menjual Path memang dapat menjadi cara mudah bagi Dave Morin untuk meninggalkan pasar yang dia tidak familiar. Faktanya, dengan segala fasilitas privat yang dimiliki, Path lebih populer di kawasan Asia Tenggara dibandingkan dengan Amerika Serikat. Konsumen di Amerika Serikat sana saat ini merasa cukup dengan kehadiran Facebook.
Dengan kepopulerannya di kawasan Asia Tenggara yang letaknya ribuan mil jauhnya dari rumah mereka, banyak pekerjaan rumah yang harus disiapkan. Sayangnya, sepertinya Dave dan timnya tidak dapat memenuhi sumberdaya yang dibutuhkan karena ia memang tidak familiar dengan pasar ini. Hal tersebut tentu bukan hal yang positif bagi Dave jika dilihat dari sisi bisnis. Oleh karena itu, rasanya lebih baik untuk mengalihkan operasionalnya ke tim yang lebih besar yang lebih mengerti soal pasar Asia Tenggara.
Di sisi lain, kepemilikan Path ini dapat menjadi amunisi baru bagi pihak Daum Kakao untuk mendominasi pasar Asia Tenggara setelah sebelumnya “cukup pasrah” dengan kondisi stagnan Kakao Talk dan mencoba fokus melokalkan konten dan memanjakan konsumen loyal.
3. Membuka lembaran baru
Terjadinya akuisisi ini sebenarnya bukalah sebuah kegagalan bagi Path ataupun keberhasilan bagi pihak Daum Kakao. Sejatinya, justru ini merupakan keberhasilan bagi kedua belah pihak karena dapat membuka lembaran baru dalam perjalanan bisnis keduanya di Indonesia.
Dengan beralihnya Path dan Path Talk ke Daum Kakao, artinya Dave dapat fokus pada hal lain. Misalnya, membuat produk-produk baru yang lebih menarik perhatian yang syukur-syukur lebih cocok dengan selera Silicon Valley. Baru-baru ini, Path juga telah bereksperimen dengan membuat aplikasi GIF selfie yang disebut Kong.
Di lain pihak, KakaoTalk juga mendapatkan amunisi baru dalam menjalankan strateginya untuk mencoba bertarung di pasar Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Jika bersinergi dengan baik, bukan hal yang mustahil akuisisi ini akan membuka pintu dari potensi besar yang ada di pasar Asia Tenggara dan juga di ranah global.
Seperti yang diungkapkan oleh Head of Daum Kakao Indonesia Alex Kim, basis pengguna yang kuat di pasar Indonesia yang berkembang pesat membuat Path menjadi kandidat kuat untuk berkembang menjadi platform mobile lifestyle dengan ragam layanan yang berpengaruh pada kehidupan pengguna sehari-hari.
Ia juga percaya ada potensi besar untuk dan Path di pasar global dan berharap untuk menciptakan sinergi yang kuat demi memberikan nilai tambah bagi pengguna mereka.