Perdebatan antar operator seluler GSM soal metode migrasi sumber daya kanal dalam tata ulang frekuensi 1800 MHz akhirnya menemukan titik cerah demi menggelar jaringan 4G LTE yang ideal. Dua metode migrasi yang selama ini diperdebatkan bakal diaplikasikan, melihat situasi dan kondisi per wilayah.
Perdebatan soal metode migrasi ini sempat memunculkan anggapan bahwa penyelenggaraan 4G LTE di frekuensi 1800 MHz bakal molor, karena masing-masing operator punya kepentingan bisnis dan mempertahankan egonya. Operator yang bakal terlibat adalah Telkomsel, XL Axiata, Indosat, dan Tri.
Direct vs Indirect
Suara metode migrasi terpecah menjadi dua, yaitu direct dan indirect. Mengutip laporan IndoTelko, direct adalah skenario pemindahan kanal bertahap per wilayah dengan cara menggeser frekuensi serempak. Sementara indirect adalah pemindahan kanal bertahap per wilayah dengan cara menggeser frekuensi tetapi disediakan kanal kosong untuk transisi.
Telkomsel dan Indosat memilih indirect yang cenderung memakan waktu lebih lama. Namun XL, adalah pihak yang paling ngotot untuk direct dengan alasan “mau cepat”.
Telkomsel terbilang pihak yang paling keras untuk menerapkan indirect. Penguasa seluler ini tidak mengandalkan kecepatan dalam melakukan pemindahan blok kanal, mereka mengklaim indirect menjadi langkah yang lebih aman dalam menjaga layanan 2G di frekuensi 1800 MHz agar tidak terganggu.
Jika layanan 2G terganggu karena migrasi ini, ancamannya layanan tersebut mati selama seharian atau bahkan lebih lama karena butuh pemulihan.
Presiden Direktur Telkomsel Ririek Ardiansyah, mengakui empat operator yang terlibat dalam diskusi metode penataan frekuensi 1.800 MHz punya ego masing-masing. Dia mengkhawatirkan langkah yang terlalu buru-buru berujung pada gangguan 2G dan operator kebanjiran komplain.
“Empat operator ini punya ego masing-masing, dan benar kita sudah bertemu dengan Kominfo, ini cukup complicated,” kata Ririek yang dikutip dari CNN Indonesia.
Hal senada dikatakan Indosat melalui Joko Riswandi, Head of Network Optimization Indosat. Kepada Liputan6, dia menyarankan agar proses tata ulang dilakukan secara bertahap karena jika tidak hati-hati, maka bukan hanya satu jaringan operator yang kacau, melain empat operator ini bisa jadi kacau semua.
Telkomsel dan Indosat memilih indirect karena jika terjadi masalah dalam proses pemindahan sumber daya kanal ini, masih ada ruang untuk kembali ke kanal yang lama dan segera mengatasi masalah pada layanan 2G.
Sementara itu, yang paling gencar memilih opsi direct adalah XL Axiata. Alasannya, XL ingin segera memakai sumber dayanya seluas 15 MHz di 1800 MHz untuk 4G LTE. Sumber daya 15 MHz itu didapatkan setelah XL menyelesaikan akuisisi terhadap Axis senilai $865 juta bulan Maret 2014 lalu. Sumber daya seluas 15 MHz itu bisa disebut masih “nganggur” alias belum dimaksimalkan.
Sebelumnya, XL hanya punya sumber daya seluas 7,5 MHz di frekuensi 1800 MHz. Sumber daya inilah yang sejak dulu mereka gunakan untuk melayani pelanggan 2G dan dibantu oleh sumber daya di frekuensi 900 MHz.
XL ingin segera menggelar 4G LTE di wilayah yang telah selesai dilakukan migrasi kanal karena mereka hendak meraup untung dari paket data untuk koneksi Internet. Di tahun 2015, XL telah menetapkan strategi untuk meningkatkan kualitas layanan, terutama layanan data, dan menargetkan pelanggan berkualitas yang berpotensi menumbuhkan Average Revenue Per User (ARPU) dan meningkatkan pendapatan perusahaan.
Direktur Service Management XL Axiata, Ongki Kurniawan berargumen, bahwa frekuensi 900 MHz yang sejak Desember 2014 lalu digunakan untuk 4G LTE, tidak memberikan hasil memuaskan untuk memberi koneksi Internet kecepatan tinggi.
“Di 900 MHz itu semua pemain GSM juga terbatas frekuensinya, karena itu kita dorong di 1800 MHz, soalnya ada ruang frekuensi yang longgar di sana,” papar Ongki kepada IndoTelko.
XL menilai metode direct adalah yang ideal karena mereka punya pengalaman mengitegrasikan jaringan dengan Axis. Jika memakai metode indirect, XL mengatakan prosesnya bakal lama. Satu zona wilayah bakal memakan waktu seminggu, dan mengakibatkan pembengkakan biaya.
Jalan keluar versi Menkominfo
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengetahui terjadi debat alot antara empat operator itu dalam menentukan metode penataan ulang. Jalan keluar yang ditawarkan Rudiantara setelah mendengar perdebatan ini, adalah memadukan direct, indirect, dan perpaduan keduanya. Rudiantara mengatakan ini merupakan langkah yang bijak menyelesaikan debat kusir.
Menurut rencana, pengerjaan migrasi sumber daya kanal itu bakal dibagi menjadi 42 wilayah. Penataan ulang akan dimulai dari wilayah yang trafik selulernya tidak padat, seperti Papua atau wilayah timur lain, lalu terakhir adalah wilayah Jawa yang trafik selulernya padat.
“Ada 42 cluster. Di cluster-nya itu awalnya ada metode direct dan indirect, sekarang ada step-wise. Itu mungkin ada yang menggunakan direct, ada yang indirect ada juga di antaranya. Tergantung operatornya saja,” ujar Rudiantara seperti dikutip dari Kompas.
Di kawasan yang padat trafik seluler dan ada kekhawatiran terjadi gangguan pada layanan 2G, maka bisa memakai metode indirect yang dinilai lebih aman. Tetapi untuk daerah yang trafik dan jaringannya terbilang sepi, bisa eksekusi dengan direct. Semua tergantung kondisi di lapangan.
Meski demikian, ada indikasi “pemenang” metode migrasi ini adalah indirect. Metode ini bakal lebih dominan digunakan di beberapa wilayah karena disebut lebih aman, walau memakan waktu lebih lama. Jika dua operator sudah siap untuk bertukar tempat, maka mereka akan menempati kanal baru. Setelah selesai, dua operator lain akan menyusul.
XL sendiri, yang sebelumnya menyuarakan direct, pada akhirnya telah menyediakan dana $10 juta untuk migrasi kanal dengan skenario indirect. Sementara tiga operator lain tidak mengungkap anggaran yang mereka sediakan untuk migrasi.
Rudiantara berencana mengumumkan pembagian wilayah penataan ulang dan mengeluarkan Keputusan Menteri untuk melegalkannya pada bulan April ini. Pada semester kedua 2015, operator seluler diharapkan mulai melakukan penataan ulang dan layanan 4G LTE di 1.800 MHz bisa komersial penuh pada akhir 2015.
“Jangan lihat kepentingan operator, lihat kepentingan industri. Karena kita kan sepakat bahwa broadband itu memang harus menjadi tujuan kita,” tegasnya.
1800 MHz adalah frekuensi ideal untuk 4G LTE
Frkuensi 900 MHz memang jarang dimanfaatkan operator seluler di belahan dunia lain untuk 4G LTE, dan karena itu pula jumlah smartphone yang mendukung 900 MHz untuk 4G LTE masih terbatas.
Apalagi, lebar pita frekuensi ini terbilang kecil, totalnya hanya 25 MHz. Telkomsel dan XL masing-masing memiliki sumber daya seluas 7,5 MHz, sementara Indosat memiliki sumber daya seluas 10 MHz. Ketidakadilan dirasakan oleh Tri yang sejak dulu meminta agar pemerintah menggelar 4G LTE di frekuensi 1800 MHz karena mereka tak punya sumber daya di 900 MHz.
Secara ekosistem, 1800 MHz adalah frekuensi yang paling populer di dunia untuk menggelar 4G LTE. Sumber daya yang dimiliki operator seluler di sana juga besar sehingga bakal ideal dalam menggelar 4G LTE. Sumber daya seluas 15 sampai 20 MHz disebut ideal untuk menggelar 4G LTE.
Total lebar pita di frekuensi 1800 MHz adalah 75 MHz. Telkomsel memiliki sumber daya 22,5 MHz dalam 3 blok yang terpisah, XL memiliki 22,5 MHz dalam dua blok terpisah, Indosat punya 20 MHz dengan 2 blok terpisah, dan Tri memiliki total 10 Mhz yang sudah menyatu sejak awal.
Setelah Surat Edaran tentang Kebijakan Penataan Pita Frekuensi Radio 1.800 MHz itu keluar, maka posisi blok frekuensi milik setiap operator tidak lagi terpecah. Langkah ini menurut Rudiantara akan menyehatkan industri sehingga operator bisa menggelar 4G LTE secara maksimal. Berikut posisi blok frekuensi hasil tata ulang:
Momentum migrasi sumber daya frekuensi di 1.800 MHz ini menjadi penting karena empat operator pemegang lisensi GSM tersebut menguasai 90% pasar seluler di Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan skenario yang jelas untuk meminimalkan risiko layanan padam.
Hal yang tak kalah penting dari penataan ulang ini, operator seluler perlu mempertahankan performa layanan 2G yang masih digunakan banyak masyarakat Indonesia. Mereka perlu memberi pemberitahuan ketika proses penataan ulang sedang dilakukan.