Balas membalas kicauan di sosial media bisa menghasilkan startup! Ya, hal itu terjadi pada Wujudkan, sebuah startup crowdfunding, yang didirikan oleh Amanda (Mandy) Marahimin, Dondi Hananto, Zaki Sani, dan Wicak Soegijoko. Wujudkan kini telah berdiri selama lebih dari dua tahun, sejak kelulusannya sebagai salah satu alumni Jakarta Founder Institute angkatan pertama.
Kepada DailySocial Mandy berkisah saat itu timeline Twitter-nya sedang diramaikan oleh pembahasan topik crowdfunding dari beberapa temannya. Perempuan lulusan Jurusan Komunikasi FISIP UI ini pun ikut nimbrung lalu berlanjut duduk bersama. Jadilah Mandy, Dondi, Zaki dan Wicak bertemu dan membahas konsep. Akhirnya berdirilah Wujudkan yang awalnya didanai secara patungan dari uang tabungan empat founder-nya.
Bagi Mandy, crowdfunding sendiri adalah sebuah konsep yang sudah diakrabinya, bahkan sebelum Wujudkan didirikan. Mandy, yang memiliki background pekerja kreatif dengan pengalaman bekerja di industri film, sudah sering mengunjungi situs Kickstarter dan mengalokasikan uangnya sebanyak US$ 20 setiap bulan,untuk ikut menyumbang pada proyek yang menarik hatinya.
“Akhirnya, bikin saja sendiri situs crowdfunding. Idealisme pendirian Wujudkan adalah untuk men-support pekerja kreatif yang punya ide tapi kepentok pendanaan. Sebenarnya sih, untuk membantu orang-orang seperti saya di luar sana,” ujarnya.
Mandy mengatakan, awalnya dia sama sekali tidak pernah berpikir mau berbisnis. Awalnya terjun sebagai entrepreneur lebih kepada keinginannya untuk melakukan sesuatu. Itu juga yang membuatnya memutuskan mendirikan rumah produksi sendiri setelah tujuh tahun bekerja di Miles.
“Ada hal-hal yang ingin saya lakukan tetapi tidak bisa dilakukan kalau kerja sama orang. Yah, bikin sendiri saja. Wujudkan juga demikian. Saya ingin Indonesia punya platform crowdfunding tetapi saat itu belum ada, ya sudah bikin saja,” jelasnya.
Tentu saja keputusan ini bukan tanpa tantangan. Anak ke lima dari enam bersaudara ini bercerita, bahwa di anggota keluarganya sejak kecil diarahkan untuk terjun menekuni sebuah profesi saja bukan berbisnis. Makanya, keluarganya ada yang menjadi dokter, pengacara, atau penulis. Saat banting setir memulai usaha sendiri Ia bahkan sempat menimbulkan kekhawatiran orangtuanya, terutama ibunya. Apalagi saat itu ia meninggalkan karir profesional yang telah dijalaninya selama ini dengan segala kenyamanannya.
Kini sebagai enterpreneur, Mandy bisa dibilang sudah berhasil membuktikan pencapaiannya.
Bagi Mandy sendiri, ia mengaku tidak merasakan ada perbedaan bekerja untuk orang lain atau menjadi bos untuk diri sendiri. “Kalau bikin usaha tetap harus kerja supaya usaha jalan, tetap ada tekanan, tetap punya deadline. Kalau dibilang kerja sendiri enggak punya bos, enggak juga, tetap punya bos. Bedanya bosnya adalah user, klien, audience,” lanjut putri dari sastrawan terkemuka Indonesia Ismail Marahimin itu.
Menghabiskan waktu sesaat bersama Mandy, bisa terlihat bahwa Mandy adalah sosok yang cukup mengejutkan karena ia sangat percaya dengan insting yang dimilikinya dan menjadikannya salah satu faktor penting dalam mengambil keputusan.“Saya bukan orang yang punya grand plan dalam hidup. Bukan tipe yang memetakan hidup saya harus begini dan menuju ke sana. Saya lebih merespon situasi yang ada. Pada akhirnya saat menjalankan bisnis, lebih banyak improvisasinya,” ujarnya.
Wujudkan juga seperti itu awalnya. Mandy bercerita, “Awalnya jadi saja dulu. Langkah berikutnya, berfikir bagaimana bisa bertahan selama setahun. Ternyata jalan, dan banyak proyeknya. Terus seperti itu hingga seperti sekarang ini. Tadinya semua dikerjakan sendiri oleh empat founder-nya sekarang sudah bisa memperkerjakan orang, dan terus berkembang dan sejauh ini cash flow-nya baik.”
Dalam menjalankan Wujudkan, ia berkisah memang banyak trial-and-error-nya. Banyak program yang tidak jalan tetapi ada juga yang berhasil. “Waktu itu kita inginnya donatur bulanan, mengumpulkan orang-orang yang mau berdonasi tiap bulan tetapi ingin kami yang pilihkan proyeknya. Buat saya Wujudkan tidak bisa seperti itu. Crowdfunding itu sangat demokrasi, donaturnya harus memilih sendiri proyek yang didanainya,” ungkapnya.
Meski dunia ini jauh dari “habitat” regulernya, Mandy mengatakan bahwa justru saat menjalankan Wujudkan. Ia merasa lebih banyak sukanya daripada dukanya. “Selama ini saya selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sama. Sejak kuliah nongkrong dengan anak-anak musik. Seniman semua. Selama di Wujudkan saya bertemu dengan beragam orang dan itu buat saya sudah sebuah pengalaman dan nilai yang luar biasa. Bertemu banyak orang yang memiliki perspektif yang berbeda,” katanya bersemangat.
Background-nya dalam dunia film pun ternyata banyak yang bisa diterapkan dalam bisnis. Ia berucap, “Film itu produksi besar yang melibatkan banyak kepala, banyak departemen yang memiliki ruang lingkupnya sendirinya, bagaimana menyatukan semuanya bisa sejalan menuju tujuan yang sama.”
Terakhir, di Indonesia sendiri skema crowdfunding sendiri bukan tanpa tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah soal legalitas. Indonesia sendiri masih menggodok aturan terkait. Tim Wujudkan juga baru-baru ini diundang oleh Kementerian Ekonomi Kreatif untuk presentasi soal crowdfunding. “Malaysia sudah punya undang-undang crowdfunding equity, kita sekarang sedang menuju ke arah sana. Jadi sekarang lagi seru-serunya menjalankan ini. Saya semangat sekali,” tutur Mandy.
Sebagai perbandingan Amerika Serikat sudah punya Undang-Undang Crowdfunding (Crowdfunding Act) yang membolehkan pengusaha menggalang dana hingga $1 juta per tahun melalui portal crowdfunding yang terdaftar di SEC (semacam Bappepam LK-nya Amerika Serikat).
Sambil menunggu aturan itu disahkan, kunci keberhasilan startup yang menggalang dana masyarakat yang diamini Mandy adalah kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap pengelola crowdfunding itu sendiri.
[Foto: Dok. pribadi]