Pernahkah Anda mengajukan pertanyaan seperti ini: Apa itu Gorilla Glass? Mengapa nama ini hampir selalu muncul ketika membahas smartphone flagship? Nah, untuk menjawabnya, Hybrid.co.id hadirkan bahasan cukup lengkap untuk mencoba membahas perjalanan Gorilla Glass serta signifikansinya di Industri smartphone. Mari simak artikel ini untuk menemukan jawabannya.
Saat Samsung merilis seri smartphone Galaxy S21 tahun lalu, banyak yang menyesalkan mengapa model terkecilnya — Galaxy S21 standar tanpa embel-embel — mengemas panel belakang yang terbuat dari bahan polikarbonat. “Flagship tapi kok plastik,” kira-kira seperti itu keluhan yang dilontarkan sejumlah teman saya. Tahun ini, Samsung ingin menebus dosanya: trio Galaxy S22 yang diluncurkan baru-baru ini semuanya datang membawa panel belakang berlapis kaca Gorilla Glass Victus+.
Memang benar, dewasa ini, kaca kerap dijadikan indikator status flagship dari sebuah smartphone. Buktinya, Samsung rela mengambil langkah ekstra untuk memoles panel belakang Galaxy S21 hingga memiliki tampilan sekaligus tekstur yang menyerupai kaca. “Glasstic“, kalau kata Samsung, dan itu semakin menunjukkan bagaimana kaca merupakan material yang amat esensial di industri smartphone.
Bicara soal material kaca yang ada pada smartphone, lagi-lagi nama Gorilla Glass akan selalu disebut-sebut. Dari tahun ke tahun, kaca tangguh bikinan Corning ini selalu ada dalam setiap pembahasan mengenai smartphone flagship. Nyaris semua smartphone flagship yang ada di pasaran saat ini menggunakan kaca Gorilla Glass, entah di sisi depan saja, atau di depan sekaligus belakang.
Hal ini tentu memicu pertanyaan, “Apa itu Gorilla Glass?” Lalu, “bagaimana ceritanya sampai Gorilla Glass bisa memiliki reputasi setenar itu?” Sebelum kita membahasnya lebih jauh, ada baiknya kita meninjau lebih dulu secara singkat sejarah ponsel di era ketika Gorilla Glass masih belum eksis.
Sejarah layar ponsel di era sebelum Gorilla Glass
Anda yang termasuk kalangan milenial semestinya tahu bahwa dahulu kita tidak pernah memusingkan material yang digunakan sebagai penutup layar ponsel. Di era kejayaan Nokia, layar ponsel menggunakan plastik sebagai bahan penutupnya. Alasannya sederhana: kala itu layar bukanlah bagian dari ponsel yang disentuh ribuan kali setiap harinya, jadi menggunakan plastik saja sudah lebih dari cukup.
Kalau Anda pernah punya ponsel lawas seperti Nokia 3310 atau Nokia 8310, Anda seharusnya ingat bagaimana kala itu kita dapat dengan mudah mengganti-ganti rangka ponsel, dan salah satu alasannya adalah karena plastik pelindung layarnya selalu jadi satu dengan rangkanya. Jadi kalau layarnya baret, yang kita ganti adalah satu rangkanya secara menyeluruh.
Lanjut ke era PDA (personal digital assistant), perangkat seperti PalmPilot pun juga menggunakan plastik sebagai lapisan terluar layarnya, dan ini dikarenakan teknologi layar sentuh yang digunakan masih berjenis resistive, belum capacitive. Pada resistive touchscreen, lapisan dasarnya terbuat dari kaca, sedangkan lapisan paling atasnya merupakan sebuah film plastik. Saat ditekan, lapisan film itu membuat kontak dengan kaca dan rangkaian arus listrik (sirkuit) pun terpenuhi, seperti yang dijelaskan oleh Computerworld.
iPhone adalah ponsel pertama yang menggunakan Gorilla Glass, tapi ia bukan ponsel pertama yang menggunakan kaca sebagai bahan penutup layarnya. Titel tersebut dipegang oleh Motorola RAZR V3, ponsel flip yang dirilis di tahun 2004, yang mengemas kaca meskipun layarnya bukan touchscreen.
Dalam artikel panjang Wired yang menceritakan tentang asal muasal Gorilla Glass, disebutkan bahwa RAZR V3 inilah yang awalnya memicu Corning untuk membentuk kelompok riset kecil di tahun 2005, dengan tujuan untuk meninjau potensi pengaplikasian kaca tangguh pada perangkat seperti ponsel. Ditambah dorongan dari Steve Jobs, proyek tersebut akhirnya berhasil dan Gorilla Glass pun lahir.
Apa itu Gorilla Glass dan apa yang membuat Gorilla Glass istimewa?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita jawab dulu mengapa produsen smartphone lebih memilih menggunakan kaca ketimbang plastik. Dalam anekdot yang disampaikan COO Apple, Jeff Williams, di tahun 2017, dikatakan bahwa prototipe iPhone generasi pertama yang Steve Jobs pamerkan di hadapan publik pada event perkenalannya itu sebenarnya mengemas layar yang terbuat dari plastik. Selang sehari setelahnya, Steve mengeluh kepada Jeff bahwa layar prototipe iPhone tersebut sudah baret di sana-sini, lalu menyimpulkan bahwa versi finalnya harus memiliki layar yang terbuat dari kaca.
Tahan goresan, itulah salah satu properti dasar yang membuat kaca lebih dipilih ketimbang plastik. Dalam konteks Gorilla Glass, Corning memang merancang agar kaca buatannya itu bisa lebih tahan lagi terhadap goresan dibanding kaca biasa. Cara mengukur seberapa tahan gores (scratch resistant) suatu bahan keras ada banyak, namun salah satu yang umum digunakan adalah dengan menggunakan skala kekerasan mineral Mohs.
Diperkenalkan di tahun 1822 oleh geolog dan mineralog asal Jerman, Friedrich Mohs, skala Mohs didasarkan pada kemampuan satu sampel materi alami untuk menggores materi yang lain. Sampel materinya adalah mineral, sebab mineral merupakan zat murni yang bisa ditemukan di alam sekitar.
Perhitungan skala Mohs terdiri dari angka 1-10, dengan angka 10 sebagai yang paling keras. Kalau kita menggosokkan dua objek dengan skala Mohs yang berbeda, maka yang memiliki skala Mohs lebih kecil pasti akan tergores. Jadi kalau Anda menggosokkan intan (skala Mohs 10) ke topaz (skala Mohs 8), otomatis topaznya akan tergores.
Sayangnya, dari dulu hingga sekarang, Corning tidak pernah merincikan berapa skala Mohs yang dimiliki Gorilla Glass. Ini wajar mengingat masih ada metode pengujian lain yang lebih akurat dan kuantitatif, seperti misalnya metode pengujian kekerasan Vickers atau Knoop (yang keduanya digunakan oleh Corning). Namun kalau butuh referensi, kaca jendela memiliki skala Mohs 5,5, dan Gorilla Glass semestinya berada di atas itu. Berdasarkan pengujian non-ilmiah yang dilakukan YouTuber JerryRigEverything, bisa disimpulkan Gorilla Glass Victus (generasi ketujuh) memiliki skala Mohs di kisaran angka 6-7.
Adakah kaca lain yang lebih tahan goresan lagi ketimbang Gorilla Glass? Ada, yaitu kaca safir. Baik sintetis maupun asli, safir memiliki skala Mohs 9. Masalahnya, keras itu tidak selalu berarti kokoh. Intan sulit sekali tergores karena ia merupakan mineral yang paling keras dengan skala Mohs 10, akan tetapi ia mudah sekali retak atau bahkan pecah jika terbentur. Kaca safir pun juga demikian; ia memang lebih tahan gores daripada Gorilla Glass, namun ia lebih mudah retak atau pecah saat berbenturan dengan objek keras lain.
Anggapan itu sempat dibuktikan lewat sebuah pengujian internal yang dilakukan oleh Corning sendiri. Tes itu menunjukkan bahwa, dengan ketebalan yang sama persis (1 mm), kaca safir pecah saat ditekan dengan beban seberat 73 kg, sementara Gorilla Glass masih utuh meski ditekan dengan beban 196 kg.
Rahasia di balik ketangguhan Gorilla Glass terletak pada proses pertukaran ion (atom bermuatan listrik) yang Corning terapkan. Berdasarkan penjelasan Corning sendiri, proses ini dilakukan dengan merendam lembaran kaca aluminosilikat ke dalam garam kalium cair dalam suhu 400° C, sehingga ion natrium dari dalam kaca akan terlepas dan digantikan oleh ion kalium.
Di tabel periodik, posisi natrium (Na) berada di atas kalium (K), dan itu berarti ukuran atom natrium lebih kecil daripada ukuran atom kalium, seperti yang dijelaskan oleh How Stuff Works. Karena diisi oleh ion kalium yang berukuran lebih besar, otomatis lapisan kacanya akan mengalami kompresi dan menjadi lebih keras.
Sebagai analogi, bayangkan Anda punya sebuah jaring. Di setiap lubang jaringnya, bernaung sebuah bola golf (ion natrium). Kalau kita ganti bola golfnya dengan bola bisbol (ion kalium) yang ukurannya lebih besar, maka jaringnya otomatis akan menegang dan mengeras. Proses pertukaran ion tadi punya cara kerja yang serupa. Suhu panas yang sangat tinggi itu diperlukan guna memecah ikatan ion natriumnya. Namun berhubung kalium lebih berat daripada natrium, suhu 400° C itu belum cukup untuk memecah ikatan ion kalium dari aluminosilikat.
Generasi pertama Gorilla Glass bertahan sebagai standar di industri smartphone selama sekitar lima tahun (2007 – 2012). Pada tahun 2012, Corning memperkenalkan Gorilla Glass 2 yang diklaim 20% lebih tipis. Lalu di tahun 2013, Corning menyingkap Gorilla Glass 3 yang memiliki fisik lebih fleksibel sekaligus 40% lebih tahan goresan. Lanjut ke 2014, Corning menghadirkan Gorilla Glass 4 yang diyakini lebih tahan benturan.
Gorilla Glass 5 yang dirilis di tahun 2016 semakin memperkuat ketahanan fisiknya lebih jauh lagi, demikian pula Gorilla Glass 6 yang hadir pada tahun 2019. Gorilla Glass Victus, kaca generasi ketujuh yang Corning luncurkan di tahun 2020, diklaim empat kali lebih tahan goresan ketimbang kaca kompetitor, serta sanggup bertahan meski jatuh ke permukaan keras dari ketinggian 2 meter beberapa kali.
Corning sejauh ini belum memberikan informasi sama sekali mengenai Gorilla Glass Victus+, varian terbaru yang hadir bersama seri Samsung Galaxy S22. Namun pengujian yang dilakukan PBKreviews menunjukkan bahwa varian anyar ini punya tingkat ketahanan goresan yang lebih baik lagi. Sebelumnya, Gorilla Glass Victus akan mulai menunjukkan goresan-goresan halus saat digosok dengan objek yang memiliki skala Mohs 6. Di Victus+, hal ini baru mulai terjadi pada skala Mohs 7.
Selain lini Victus, Corning juga memproduksi lini lain yang bernama Gorilla Glass DX dan DX+. Lini ini dirancang secara spesifik untuk digunakan sebagai kaca penutup lensa kamera smartphone, yang berarti tingkat kejernihannya tidak kalah penting dari seberapa tahan ia terhadap goresan. Menurut Corning, versi terbaru Gorilla Glass DX dan DX+ memungkinkan sensor kamera smartphone untuk menangkap 98 persen cahaya yang masuk, sementara kaca penutup lensa smartphone pada umumnya cuma mampu membiarkan sensor menangkap 95 persen cahaya yang masuk.
Di saat yang sama, Gorilla Glass DX dan DX+ tetap mampu mempertahankan tingkat ketahanan goresan yang serupa seperti lini Gorilla Glass standar. Pada Gorilla Glass DX+, Corning bahkan mengklaim tingkat ketahanan goresannya nyaris mendekati kaca safir.
Hal lain yang membuat Gorilla Glass istimewa adalah skala produksi yang dimiliki Corning. Didirikan di tahun 1851, Corning sudah punya pengalaman yang sangat panjang di bidang produksi kaca. Mulai dari kaca Pyrex untuk peralatan masak, sampai kaca untuk pesawat ulang-alik maupun teleskop luar angkasa Hubble, semuanya dibuat oleh Corning. Bahkan kaca lampu bohlam temuan Thomas Alva Edison pun juga berasal dari pabrik Corning.
Saat memproduksi Gorilla Glass generasi pertama untuk iPhone di tahun 2007, Corning hanya memiliki waktu sekitar lima bulan untuk memenuhi permintaan berskala masif dari Apple. Padahal, kala itu Corning masih belum mendapatkan formula yang benar-benar tepat buat Gorilla Glass. Saat waktunya sudah semakin mepet, Corning pun memanfaatkan salah satu teknik produksi kaca andalannya: fusion draw.
Teknik ini dimulai dengan mencampur bahan-bahan mentah seperti silikon dioksida (pasir), batu kapur, dan natrium karbonat, yang kemudian dipanaskan hingga menjadi lelehan kaca aluminosilikat. Lelehan kaca itu lalu dituang ke semacam palung berbentuk huruf V yang dijuluki “isopipe” sampai meluber ke kedua sisi. Tumpahan dari kedua sisi itu lalu bertemu dan menyatu di bawah, kemudian ditarik oleh lengan robotik hingga membentuk lembaran kaca tipis yang menyambung. Dari situ, lembaran kacanya akan menjalani proses pertukaran ion tadi.
Dalam kurun waktu hanya sekitar satu bulan (Mei – Juni 2007), Corning sudah berhasil memproduksi Gorilla Glass dalam jumlah yang cukup untuk menutupi tujuh lapangan sepak bola. Di tahun tersebut, Corning mendapatkan $20 juta dari penjualan Gorilla Glass. Tahun 2021 kemarin, total penjualan Gorilla Glass menembus angka $2 miliar untuk pertama kalinya.
Gorilla Glass bukan bisnis utama Corning
Nah, pertanyaan tentang apa itu Gorilla Glass bisa cukup terjawab, sekarang kita berlanjut ke pembahasan lain. Kesuksesan Gorilla Glass berhasil menjauhkan Corning dari ranah kebangkrutan yang diakibatkan oleh dot-com bubble di awal tahun 2000-an. Meski begitu, Gorilla Glass tetap bukan satu-satunya produk yang menghasilkan cuan bagi Corning.
Bisnis Corning pada dasarnya bisa dibagi menjadi lima segmen: Optical Communications, Life Sciences, Automotive, Mobile Consumer Electronics, dan Display. Pada tahun 2021, total pemasukan yang Corning dapat dari kelima cabang bisnis ini mencapai angka $14 miliar.
Analisis dari The Motley Fool menunjukkan bahwa satu-satunya divisi Corning yang kurang begitu sehat secara finansial adalah divisi Automotive. Sementara itu, cabang bisnis Optical Communications-nya (yang memproduksi kabel fiber optic) terus menunjukkan pertumbuhan yang pesat berkat demand yang tinggi dari industri telekomunikasi. Sepanjang 2021, pemasukannya di segmen ini tercatat mencapai angka $4,3 miliar.
Juga ikut terdorong adalah divisi Life Sciences yang memproduksi botol vaksin. Dibandingkan tahun 2020, total penjualan dari segmen Life Sciences di tahun 2021 tumbuh sekitar 24% menjadi $1,2 miliar. Inovasi Corning di area bisnis ini pada dasarnya telah membantu percepatan produksi vaksin COVID-19 demi memenuhi permintaan global; hampir 5 miliar dosis vaksin kalau berdasarkan pengakuan Corning sendiri.
Kembali ke Gorilla Glass, Corning belakangan juga sudah mulai mendiversifikasi bisnis kaca smartphone-nya tersebut. Sejak iPhone 12 diluncurkan di tahun 2020, branding Gorilla Glass sudah tidak lagi bisa kita temukan pada smartphone bikinan Apple itu. Sebagai gantinya, Apple menggunakan istilah “Ceramic Shield” dalam mempromosikan iPhone 12, dan itu kembali diulang pada iPhone 13.
Ceramic Shield sebenarnya juga diproduksi oleh Corning, akan tetapi Apple pada dasarnya punya privilese berkat investasi langsungnya di Corning. Pada bulan Mei 2021, Apple menghibahkan $45 juta ke Corning untuk meningkatkan kapasitas produksi sekaligus mendorong progres tim riset dan pengembangannya. Sebelum itu, Corning juga sudah menerima total investasi sebesar $450 juta dari Apple selama empat tahun.
Penutup
Teknologi adalah produk sains, dan kaca pun terlahir dari eksperimentasi sains. Gorilla Glass tidak akan sampai di titik ini kalau para ilmuwan di Corning tak dapat mengaplikasikan pengetahuannya secara liberal. Dalam presentasinya baru-baru ini, Jeff Evenson selaku Chief Strategy Officer Corning menyebutkan bahwa perusahaannya selalu mengalokasikan sejumlah porsi pendapatan untuk keperluan riset dan pengembangan, baik dalam kondisi baik maupun buruk. Alasannya simpel: “Investasi hari ini menciptakan pertumbuhan dan kontribusi yang mengubah hidup di kemudian hari.”
Kita tidak tahu penyempurnaan seperti apa lagi yang bakal Corning hadirkan di lini Gorilla Glass, akan tetapi varian Victus+ yang hadir belum lama ini pada dasarnya menunjukkan bahwa masih ada banyak area yang bisa dioptimalkan lagi oleh Corning.
Di saat yang sama, Corning juga tengah sibuk mengembangkan jenis kaca baru yang dikhususkan untuk perangkat foldable. Sejauh ini, kaca yang bisa ditekuk-tekuk dari Corning itu masih belum bisa kita temukan di produk komersial mana pun, namun Corning optimistis inovasinya bakal lebih superior ketimbang solusi berbasis plastik yang digunakan saat ini.
Demikian artikel bahasan tentang Gorilla Glass dari Corning. Semoga artikel ini bisa menjawab pertanyaan tentang apa itu Gorilla Glass serta memberikan gambaran singkat tentang perjalanan teknologi ini sehingga bisa ada di smartphone flagship populer yang ada di pasaran.
Note: 17 Maret 2022 – Ada optimasi artikel setelah pertama kali artikel terbit, tanpa mengubah maksud dan isi artikel awal.