Baru-baru ini Facebook sedang ramai dibicarakan pemain-pemain besar industri media di dunia setelah meluncurkan aplikasi Facebook Paper sebagai salah satu metode baru bagi pengguna Facebook untuk mengkonsumsi konten yang tersebar di jejaring pertemanannya. Kami berbincang dengan Willson Cuaca, CEO Scoop, David Wayne CEO Kurio dan Edi Taslim, CEO Kompas.com untuk melihat pendapat mereka mengenai dampak Facebook Paper untuk industri konten di Indonesia.
Konsep dasar dari Facebook Paper ini mirip dengan Flipboard & Zite aplikasi mobile dimana pengguna bisa menikmati konten yang tersebar di jaringan sosialnya, dan hampir semua media memuji tampilan dari aplikasi yang saat ini baru hanya tersedia di platform iOS. Edi Taslim, Direktur Kompas.com juga menggemakan pendapat serupa, “fitur personalisasi tema dan rubrik memberi kekuasaan kepada pengguna untuk memilih sendiri konten yang dikonsumsi.”
Meskipun pujian berbondong-bondong datang untuk Facebook Paper atas aplikasinya yang spektakuler, Willson Cuaca, CEO Scoop melihat adanya masalah yang fundamental bercokol di premis produk Facebook Paper. Willson melihat bahwa Facebook Paper ini memiliki permasalahan yang mendasar yaitu content discovery, “Facebook Paper mungkin akan dijadikan salah satu properti media milik Facebook, namun tidak serta merta memecahkan masalah content discovery. Saya masih membaca berita yang sama yang saya temukan di timeline Facebook dan Twitter”, sahutnya.
David Wayne menuturkan pendapat senada, “Facebook memang dari awal tidak dibangun untuk content discovery, Twitter sudah unggul ketimbang Facebook dalam hal ini sedari awal”. David berpendapat bahwa Twitter secara alamiah menyediakan platform content discovery karena pengguna telah melakukan kurasi/filter melalui following-follower yang dipilih sesuai selera dengan asumsi orang-orang yang difollow akan menyediakan konten yang relevan. Hal ini tidak berlaku di Facebook.
Edi, Willson dan David, selaku pemilik konten dan jalur distribusi melihat posisinya masing-masing tidak terlalu terganggu dengan peluncuran Facebook Paper. Edi sendiri melihat bahwa Facebook Paper tidak akan “membunuh” industri penerbitan baik print maupun digital. “Paper memadukan konten dari pengguna (User Generated) dengan konten dari media mainstream. Kalau hanya User Generated, lama-kelamaan akan menjadi tidak menarik [untuk pembaca]”, pungkas Edi.
Meskipun demikian, Edi menilai Facebook Paper bisa memberi banyak pelajaran ke perusahaan media yang ada untuk selalu membuka pintu lebar-lebar untuk inovasi dan eksplorasi cara baru menyuguhkan konten terutama di era digital. “Publisher bisa belajar banyak dari Paper, yang memadukan konten dan navigasi serta fitur spesifik dibuat untuk pengalaman membaca di perangkat mobile”, tambah Edi. Senada dengan Edi, Willson berharap publisher bisa memanfaatkan kanal-kanal distribusi konten yang tersedia untuk lebih lanjut meningkatkan engagement dengan penikmat konten.
Berkaitan dengan hubungan Facebook dengan pemilik konten, Edi melihat hubungan yang saling menguntungkan meskipun ada kalanya hubungan baik tersebut akan menurun, semacam “teman tapi lawan” karena bagaimanapun juga Facebook adalah salah satu sumber dimana pengguna menemukan konten baru. “Relasi dengan pemilik konten mirip frenemy yang membutuhkan satu sama lain. Pemilik konten tidak bisa memaksa pembaca mengkonsumsi hanya dengan satu cara saja”, sahut Edi. Sedikit lebih ekstrim, David menilai bahwa dengan Facebook Paper, kontrol dari pemilik konten terhadap penyebaran kontennya di Facebook menjadi lebih kecil ketimbang sebelumnya, namun David tidak melihat adanya potensi friksi yang terlalu ekstrim antara pemilik konten dengan Facebook.
Pada akhirnya, David berkata, pembuat konten harus kembali ke dasar tugas mereka: membuat konten yang berkualitas. Untuk masalah distribusi konten, mendatangkan pembaca dan monetisasi konten, lebih baik bekerjasama dengan platform yang sudah lebih dulu menyediakan fungsi-fungsi tersebut.
Di era dimana “Content is King, but Headline is Queen“, ada baiknya industri media kembali ke kodrat awal “Content is King, Context is Queen“. Setuju?