Dark
Light

Kolektor NFT: Impian Lama Mendukung Kreator Secara Langsung

6 mins read
December 16, 2021
DailySocial mencoba menjaring pendapat para kolektor lokal terkait prospek NFT di Indonesia
DailySocial mencoba menjaring pendapat para kolektor lokal terkait prospek NFT di Indonesia

Sebelum NFT hadir, bentuk menghargai suatu karya seniman atau kolektor biasanya berbentuk transaksional alias satu arah. Bila membeli karya seni lewat suatu galeri misalnya, kolektor jarang sekali mendapat akses untuk berkomunikasi langsung dengan seniman. Bahkan tak jarang galeri berusaha untuk memutus kemungkinan-kemungkinan seperti ini karena satu lain hal.

Koneksi dua arah inilah yang ditawarkan NFT. Seluruh orang yang terhubung dengan internet dapat mengakses koleksi NFT milik kolektor siapapun di berbagai platform marketplace global. Ambil contoh, di SuperRare, saat ini ID bernama @colborn menjadi kolektor dengan transaksi terbesar. Ia membeli 204 karya NFT yang dihasilkan oleh 17 kreator senilai $166,264, pembelian terbesarnya adalah membeli karya seharga $44,226.

Dalam wawancara bersama DailySocial, para kolektor NFT sepakat bahwa kepemilikan dan memberi dukungan secara langsung kepada kreator dengan membeli karyanya adalah nilai unggul dari NFT, yang sebelumnya tidak hadir di dunia fisik. Jadi, bukan sekadar bentuk investasi semata saja.

Pun bagi kreator, kehadiran NFT juga menguntungkan mereka karena berlaku sistem royalti yang adil ketika karya mereka dijual di pasar sekunder. Penawaran tersebut sebelumnya nihil terjadi.

“Di NFT itu bicara mengenai ownership. Di dunia fisik, setiap beli karya seni dapat sertifikat. Kalau itu sudah hilang, susah carinya untuk sekadar membuktikan bahwa kita ini pemiliknya. Tapi di NFT itu bisa dilacak. Ke depannya yang terbayang buat seniman dan kreator pada umumnya adalah terciptanya kondisi ideal karena selama ini terjadi ketidaksetaraan di sistem tradisional, di mana galeri itu di atas seniman. Tapi di NFT jadi satu level yang sama, mudah-mudahan bisa begitu,” ucap Detty Wulandari, kolektor lokal karya seni dan NFT.

Detty sendiri termasuk penggemar karya seni, jauh sebelum NFT hadir. Berbagai karya seni lukisan dan patung karya seniman telah menghiasi seluruh dinding rumahnya. Ia mulai mempelajari tentang NFT sejak April tahun ini secara autodidak, mengingat saat itu belum banyak literasi yang ramah berbahasa Indonesia. Rooms yang dibuat oleh pengguna platform audio social Clubhouse juga turut membantunya lebih mudah memahami NFT.

Berkat rasa keingintahuannya yang tinggi, berbagai platform marketplace NFT global ia jajal. Terhitung ada lebih dari 10 platform telah ia gunakan untuk membeli NFT. Nama-nama seperti Nifty Gateway, Rarible, SuperRare, OpenSea, KnownOrigin, Mirror, Kalamint, hingga objkt tak luput dari perhatiannya.

“Tampilan dan UI sangat berpengaruh, apalagi buat kolektor baru. Karena semua sudah coba, secara personal suka dan mudah dipakai untuk dibeli dan dijual kembali itu OpenSea. Karena di sana seperti agregator, bisa menampilkan semua NFT koleksi saya yang di bawah Ethereum–di luar OpenSea sekalipun. Tapi kalau sebaliknya tidak bisa.”

Tak hanya Detty, Irzan Raditya, Co-founder dan CEO Kata.ai, juga turut menaruh minatnya terhadap NFT sejak Agustus 2021. Secara personal, ia adalah kolektor barang-barang riil seperti komik-komik superhero terbitan Marvel & DC Comics, hingga action figures. Menurutnya, masih banyak ilmu yang perlu ia pelajari di NFT, mengingat laju inovasi di dunia web3 ini begitu pesat.

“Saat ini saya masih belajar dan sedang mengeksplor beberapa koleksi NFT dengan berbagai macam utility pada roadmap mereka, mulai dari pure PFP (Profile Picture), P2E Game (Play2Earn), DeFi (Decentralized Finance), sampai beberapa koleksi yang menjanjikan IRL (In Real Life) utility.”

Alasan yang sama diutarakan Richard Fang, Co-founder dan Komisaris Moselo. Sebagai bentuk kegemarannya terhadap karya suatu kreator, membeli karyanya adalah bagian dari bentuk dukungan yang ia berikan. Terlebih itu, di masa depan ia meyakini bahwa NFT akan digunakan sebagai akses membership dan dihubungkan dengan barang fisik juga. “Jadi potensinya masih sangat banyak,” katanya.

Edukasi perlu digalakkan

Irzan melanjutkan, kehadiran platform NFT lokal sebenarnya membawa angin segar untuk meng-mainstream-kan NFT di Indonesia. Satu hal yang ia tekankan adalah platform tersebut bisa bantu mengedukasi masyarakat lebih luas mengenai NFT, baik membuka jalan bagi para kreator dan pemilik IP untuk memperjual-belikan karyanya. Serta, mempermudah aksesibilitas bagi para kolektor untuk membeli suatu koleksi dengan metode pembayaran lokal, seperti bank transfer dan e-wallet.

“Harapannya agar adopsinya lebih banyak lagi ya. Dan mungkin secara harga juga akan lebih murah sehingga entry barrier nya tidak terlalu tinggi,” tambah Richard.

Aria Rajasa, Co-Founder dan CTO KaryaKarsa turut memberikan pendapatnya sebagai kolektor NFT. Menurutnya, perkembangan NFT di Indonesia masih terlalu dini, bahkan kondisi yang sama juga di pasar global.

Oleh karenanya, meski sudah ada platform lokal, ia mendorong kepada kreator agar tidak perlu membatasi diri dengan cakupan target pasarnya karena ada banyak kreator lokal yang sukses berkarya di kancah internasional. “Mungkin dalam 5-10 tahun ke depan bisa lebih mainstream,” ujarnya.

Aria menggunakan platform OpenSea untuk membeli karya NFT yang dianggap “speaks to me”.

“Beberapa kreator yang saya suka punya gaya berkarya tersendiri yang saya suka dan itu menjadi alasan saya untuk mengoleksi karya-karyanya. Serunya adalah menjadi bagian dari tribe kreator tersebut.”

Sementara itu, Detty berujar mengenai pentingnya edukasi pasar. Lantaran, ia masih melihat masih banyak orang yang salah kaprah dengan jargon-jargon yang digunakan pemain NFT dengan frasa “auto cuan” dan kata-kata senada lainnya. “Itu salah kaprah, bukan berarti orang beli sudah pasti kaya, atau kreator jual karyanya langsung laku. Edukasi itu penting banget.”

Detty juga berharap pada platform lokal yang ada saat ini untuk selalu mengedepankan spirit desentralisasi seperti yang diusung oleh NFT. Artinya, semua berada di level yang sama, bukan seperti kondisi dulu yang menekan seniman/kreator. Dengan kata lain, peraturan pembagian komisi dan sebagainya perlu dibuat seadil mungkin dan tidak menguntungkan satu pihak saja.

“Kalau marketplace baru tapi orientasinya pure ke bisnis, itu akhirnya akan menekan seniman. Itu enggak banget karena in the long run enggak bakal oke.”

Pernyataan Detty ini ada benarnya soal investasi di NFT. Laporan yang menarik diungkap oleh Chainalysis menunjukkan bahwa investasi NFT jauh dari kata pasti.

Data transaksi dari OpenSea menunjukkan hanya 28,5% dari NFT yang dibeli selama minting dan kemudian dijual di platform menghasilkan keuntungan. Kemudian, membeli NFT di pasar sekunder dari pengguna lain dan menjualnya kembali, bagaimanapun, menghasilkan keuntungan 65,1% dari waktu.

Keuntungan menjual NFT ini pada dasarnya bergantung pada keberadaan komunitas dan strategi word of mouth. Hampir semua proyek NFT yang sukses didukung penuh penggemar yang membuat ulasan di Discord dan Twitter sebagai bentuk promosinya. Kondisi ini terjadi karena sudah didesain seperti demikian.

Kreator biasanya mulai mempromosikan proyek baru jauh sebelum aset pertama dirilis, mengumpulkan penggemarnya yang berdedikasi yang membantu mempromosikan proyek sejak awal. Kemudian, dia akan memberi penghargaan kepada pengikut yang berdedikasi itu dengan menambahkan mereka ke daftar putih (whitelist) yang memungkinkan mereka untuk membeli NFT baru dengan harga yang jauh lebih rendah daripada pengguna lain selama masa minting.

Daftar putih bukan hanya hadiah nominal — namun menjadi jaminan hasil investasi yang jauh lebih baik. Data OpenSea menunjukkan bahwa pengguna yang membuat daftar putih dan kemudian menjual NFT yang baru dicetak memperoleh keuntungan 75,7%, dibandingkan hanya 20,8% untuk pengguna yang melakukannya tanpa masuk daftar putih.

Tidak hanya itu, data menunjukkan bahwa hampir tidak mungkin untuk mencapai pengembalian yang terlalu besar untuk mencetak pembelian tanpa masuk daftar putih. Bagan di bawah ini mengelompokkan penjualan NFT yang baru dicetak ke dalam ember berdasarkan ROI yang dicapai kolektor, yang dinyatakan dalam kelipatan investasi awal, dengan kolektor yang masuk daftar putih yang membeli selama pencetakan dibandingkan dengan mereka yang melakukannya tanpa masuk daftar putih.

Outlook NFT

Detty melanjutkan, seperti yang ia ceritakan di bagian awal, di dunia fisik seringkali hubungan antara kolektor dengan kreator tidak disediakan oleh galeri. Bahkan ada yang sampai memutus hubungan antara kolektor dengan kreator jangan sampai ada kontak langsung. Semua proses dilakukan secara sembunyi, bahkan ada yang sampai anonim.

Akan tetapi, dengan kehadiran NFT menimbulkan kebiasaan baru karena kolektor dan kreator dapat saling terbuka dan berhubungan langsung, mengingat kolektor membeli langsung ke wallet yang terhubung dengan kreator. “Ini beda banget, kolektor NFT senang mengumumkan karya yang mereka beli. Ini baik buat senimannya juga karena ada komunikasi. Contoh saat kolektor mau jual lagi di secondary market, kalau karyanya hanya satu piece, biasanya suka ada diskusi soal harga jualnya. Kita bisa minta pendapat ke mereka biar lebih setara.”

Irzan turut menambahkan, hubungan kolektor atau komunitas dari suatu koleksi NFT lebih dari sekadar sebagai pembeli, tapi bisa dianggap sebagai believer dari kreator tersebut. Bagi para kreator yang memiliki sistem royalti yang bersifat kekal, NFT memungkinkan mereka memiliki passive income seiring dengan penjualan koleksi mereka di pasar sekunder.

“Di satu sisi, NFT adalah “community-first business.” Semuanya akan berpijak pada komunitas karena mereka adalah kunci kesuksesan bagi para kreator, tidak hanya memandang komunitas sebagai pelanggan, namun juga believer. Bagaimana para kreator bisa berkarya dan menciptakan value untuk mereka. Kuncinya hanya satu: make the lives of your community better. Karena ketika seorang kreator dapat membantu meningkatkan taraf hidup komunitasnya, maka kesuksesan pun akan lebih mudah dicapai.”

Irzan pun mencontohkan, contoh nyatanya bisa dilihat lewat Play-to-Earn (P2E) game Axie Infinity yang berbasis blockchain dan NFT. Mereka membantu penduduk di Filipina mendapatkan penghasilan dengan cara bermain game. Hasilnya pendapatan mereka dalam sebulan lebih tinggi dari UMR di negaranya.

Contoh kedua, pada salah koleksi NFT blue chip Bored Ape Yacht Club (BAYC) awalnya harga satu NFT nya hanya 0.08 ETH atau berkisar $300 ketika 10.000 koleksi mereka diluncurkan pada bulan April 2021 lalu. Sekarang harga aset terendah sudah meroket menjadi 45 ETH, atau sekitar $190,000 naik 300 kali lipat dalam kurun waktu tujuh bulan.

“Pada akhirnya menurut saya, melalui maraknya tren NFT ini kita sedang tiba di dalam suatu tectonic shift bagaimana teknologi blockchain dan cryptocurrency bisa menyentuh masyarakat luas, dan NFT tidak hanya hadir sebagai koleksi, namun juga memberikan kesempatan pemerataan taraf hidup masyarakat di era decentralized economy baik bagi para kreator dan juga para kolektor/komunitas,” pungkasnya.

Previous Story

Terinspirasi Axie Infinity, Koisan World Adalah Game Play-to-Earn Buatan Indonesia

Next Story

Tablet Samsung Galaxy Tab A8 yang Baru Dirancang Dukung Rutinitas Harian Penggunanya

Latest from Blog

Don't Miss

AVITA Umumkan 2 Seri Laptop Baru untuk Indonesia: SATUS S dan PURA A+

Pandemi COVID-19 mengubah kebiasaan banyak orang dalam bekerja dan belajar.
Sega batalkan rencana kembangkan game blockchain

Berubah Haluan, Sega Batalkan Rencananya Kembangkan Game Blockchain

Pamor game blockchain belakangan relatif meredup. Termakan hype AI itu