Kemarin, saya semalaman berusaha untuk melakukan jailbreak pada sebuah perangkat iPhone 4 yang diberikan oleh kakak saya yang tinggal di Jepang, karena beliau sudah menggantinya dengan iPhone yang lebih baru. Ini bukan pertama kalinya saya mendapat telepon selular turunan dari kakak saya; beberapa tahun sebelumnya saya mendapatkan sebuah iPhone 3G yang akhirnya berhasil saya jailbreak sendiri supaya bisa menggunakan kartu operator lain. Semua telepon selular di Jepang memang dikunci ke operator yang menjualnya, sehingga jailbreak tetap perlu. Karena sudah pernah melakukan jailbreak, saya pikir, harusnya ini mudah toh?
Ternyata saya salah – iPhone 4 yang awalnya digunakan kakak saya sepertinya tidak bisa di jailbreak, karena suatu dan lain hal. Pilihannya hanya meminta ke Softbank untuk membuka kuncinya (yang menurut kabar, mereka tidak akan mau), atau menggunakan jasa berbayar pihak ketiga yang entah bagaimana dapat membuka kunci (yang sampai saat ini saya masih agak ragu kebenarannya). Jadi untuk saat ini, sebuah iPhone 4 yang secara fungsi dan penampilan masih bagus, tidak dapat digunakan sesuai fungsinya. Semua karena sebuah kunci. Fungsi kuncinya, akhirnya untuk apa?
Adanya sebuah kunci intinya sih untuk proteksi, untuk mengendalikan akses terhadap sesuatu. Kunci ini tidak hanya berbentuk fisik; bisa juga berupa perangkat lunak (seperti pada iPhone tadi), dan bisa juga berupa hukum dan perjanjian. Hak cipta pun begitu – walaupun sudah ada WIPO, tetap saja putusan-putusan WIPO harus diratifikasi tiap negara, itu pun belum tentu dilakukan dengan segera (dan kalaupun sudah diratifikasi, belum tentu dilaksanakan dengan baik). Batas negara, dorongan politik dan kebutuhan industri juga akhirnya menjadi “kunci”.
Penjualan CD pun dilakukan per negara oleh para major label, walaupun mereka adalah perusahaan internasional. Produksi diusahakan dilakukan secara lokal (untuk meminimalkan biaya), dan penjualan harus dilakukan di dalam negeri (tidak boleh ekspor, menurut aturan perusahaan); untuk memastikan pemasukan cabang di tiap negara sehat dan optimal. Hak cipta atas lagu pun terkadang berbatas wilayah; perlu izin lagi untuk menjual ke negara yang tidak disebut dalam kontrak. Inilah sebab mengapa seringkali ada lagu atau album yang hanya dapat dibeli di negara-negara tertentu saja. “Kunci” atas bisnis ini akhirnya menghambat konsumen, yang akhirnya lari ke sumber lain yang biasanya tidak legal di mata para perusahaan rekaman. Padahal, mereka ini adalah potensi pasar yang cukup bagus.
Aturan mengenai hak cipta ini memang pada intinya adalah perlindungan –menjaga supaya ciptaan seseorang itu tidak digunakan tanpa izin dari penciptanya– dan menjamin supaya seorang pencipta berhak atas hak ekonomi yang terkait dengan ciptaan tersebut. Tentunya, semangat aturan hak cipta ini sebenarnya untuk memberi perlindungan yang cukup supaya pencipta –apapun bentuk hak kekayaan intelektualnya– dapat berkreasi dengan leluasa dan mencapai potensi nilai ekonomi yang maksimal atas ciptaannya. Tapi bukankah dengan adanya “kunci” seperti di atas, kemungkinan bisnis yang muncul justru terhambat demi melindungi bisnis yang sudah lebih dahulu ada?
Minggu lalu saya sempat singgung soal DRM, yang pada akhirnya lagi-lagi sebuah sistem kunci. Ketika sebuah iPhone 4 yang sudah dibayar penuh tidak dapat digunakan sesuai keinginan penggunanya, malah dibatasi oleh yang menjual, apakah memang ada transaksi penjualan yang terjadi? Atau yang terjadi hanya ‘pembayaran atas izin penggunaan’? Telepon selular itu sesungguhnya milik siapa? Kalaupun memang ‘kunci’ tersebut ada untuk memastikan pembeli hanya menggunakan kartu operator yang menjual dan menghindari penjualan/penadahan, seberapa besar persentase antara telepon selular yang dijual/ditadah dengan yang ingin dialihfungsikan oleh si pembeli?
Kalau hal yang dijual –baik itu telepon selular ataupun lagu berbentuk MP3– perlu diproteksi sedemikian rupa sehingga malah menghambat pengguna, mungkinkah hal yang dijual tersebut sebenarnya sudah tidak memiliki nilai ekonomi? Bahwa nilai ekonominya dipertahankan secara buatan dengan berbagai kunci? Memang tidak salah, tapi mau sampai kapan? Sebagai contoh: Apple, sebagai produsen iPhone, memang meraup keuntungan besar dari penjualannya, namun mereka tetap menghasilkan uang dari berbagai layanan tambahan yang terjadi setelah pembelian iPhone tersebut, misalnya melalui iTunes dan App Store atau iCloud.
Operator di luar Indonesia berupaya menggaet atau mempertahankan pelanggan dengan memberikan telepon selular seperti iPhone secara gratis atau murah, yang nantinya disubsidi per bulan dalam masa kontrak yang panjang, sehingga memang wajar kalau pelanggan ‘dikunci’ ke operator tersebut selama masa kontrak masih berlaku. Namun apa yang terjadi kalau kontraknya habis? Seharusnya telepon selular itu sudah dimiliki penuh oleh si pengguna, bebas untuk digunakan sesuai keinginan. Dan kalau operatornya cerdas, mereka tetap mempertahankan pelanggannya dengan berbagai layanan berbayar yang menarik, terlepas telepon selular yang digunakan apa.
Nah, kalau industri-industri yang berbasis hak cipta masih terbelenggu dengan aturan yang belum berevolusi mengikuti jaman, bukankah pendekatan ‘kunci’ yang selama ini digunakan malah menjadi hambatan? Misalnya, adanya hak paten yang seharusnya mendorong ilmuwan untuk berkreasi, malah dijadikan ‘senjata’ berperang antara perusahaan-perusahaan besar, yang tak memiliki produk sekalipun? Karena hak ekonomi atas penggandaan, industri sulit bergeser dari model bisnis yang tergantung pada kontrol penggandaan?
Ario adalah co-founder dariOhdio, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter –@barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.