Sejak awal tahun ini, wacana IPO startup unicorn semakin memanas mengingat sudah “waktunya” investasi VC untuk startup generasi awal masuk tahap mature, alias harus cash out untuk dikembalikan ke para LP.
Untuk itu wajar jika Bursa Efek Indonesia (BEI) terang-terangan mengeluarkan wacana bahwa tiga unicorn Indonesia akan memilih dual listing. Setidaknya Gojek, Tokopedia, dan Traveloka sudah santer diberitakan bakal IPO tahun ini. IPO adalah salah satu cara exit bagi investor, selain merger, akuisisi, atau menerbitkan saham baru.
Kepentingan perusahaan untuk melantai, terlepas statusnya startup teknologi atau bukan, adalah keputusan yang sangat strategis karena harus berkomitmen tunduk ke aturan bursa dengan tata kelola yang baik.
Hingga kini, startup teknologi yang sudah melantai masih bisa dihitung jari. Bursa memutar otak untuk membuat IPO ramah terhadap jenis perusahaan yang disruptif dan memilih fokus mengejar pertumbuhan daripada cari untung. Membuat papan akselerasi, menyederhanakan regulasi, dan membuat program IDX Incubator, adalah beberapa upaya tersebut.
IDX Incubator pertama kali dimulai di Jakarta pada 2017, menyusul Surabaya dan Bandung pada setahun kemudian. Disebutkan saat ini memiliki 114 startup binaan, sebanyak 62 startup dari Jakarta, 24 startup dari Bandung, dan 28 startup dari Surabaya.
Sejauh ini, ada tiga startup binaan yang berhasil melantai. Mereka adalah PT Yelooo Integra Datanet Tbk (YELO), PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO), dan PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (CASH). Pejabat bursa menyebut pada semester I ini akan ada dua startup binaan yang menyusul.
Secara terpisah, DailySocial menghubungi Head of IDX Incubator Saptono Adi Junarso terkait evaluasi IDX Incubator sejauh ini. Ia tidak memberikan jawaban spesifik seperti apa pembelajaran bursa. Dijelaskan bahwa pihaknya terus belajar dan berbenah agar program yang dijalankan semakin baik.
Dibutuhkan lebih banyak dukungan dari berbagai pihak guna mempersiapkan perusahaan menuju IPO. Tidak hanya dari lembaga profesi penunjang, tapi juga dari stakeholder lainnya seperti investor, pemerintah, dan komunitas.
“Kami senantiasa berusaha bekerja sama dengan instansi-instansi yang dapat mendukung lebih banyak lagi startup maupun perusahaan skala kecil menengah untuk go public,” katanya.
Salah satu penyesuaian yang dilakukan IDX Incubator adalah mengubah kurikulum agar lebih fokus membantu perusahaan dengan skala aset kecil dan menengah untuk mencatatkan sahamnya di BEI. Kurikulum ini dinamai “Road to IPO” yang berlaku sejak 2019.
Road to IPO memiliki kurikulum yang berisi training dan mentoring. Dengan pembeda seperti ini, IDX Incubator diklaim berada di posisi yang lebih strategis di ekosistem. Tidak tumpang tindih pula dengan program inkubator/akselerator lainnya.
“Untuk incubation program yang menekankan kepada pengembangan bisnis, sudah ada beberapa pemainnya. Nah kami ingin menjadi incubation program lanjutan untuk persiapan IPO,” kata Operational Manager IDX Incubator Aditya Nugraha.
Penyesuaian kurikulum ini berdampak pada pengetatan syarat startup binaan yang ingin bergabung. Salah satunya adalah startup yang sudah satu langkah di bawah proses IPO. Kendati demikian, mereka yang bergabung tidak harus berbentuk startup teknologi. UKM konvensional punya kesempatan yang sama.
Antusiasme masih minim
Selain tiga lulusan IDX Incubator yang berhasil melantai, mengutip laman BEI, ada 20 perusahaan teknologi yang sudah IPO. Bila melihat dari papan yang digunakan, tercatat ada lima perusahaan yang tercatat di papan akselerasi. Dua di antaranya adalah Cashlez dan Pigijo. Perusahaan teknologi lainnya tercatat mayoritas di papan pengembangan, lalu papan utama. Papan akselerasi itu sendiri sudah diresmikan BEI sejak 2019, termuat dalam Peraturan Nomor I-V.
Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi menjelaskan, meski perusahaan di papan akselerasi masih bisa dihitung jari, bukan dalam artinya ini tidak sesuai dengan target yang dibidik BEI. Ia justru memandang bahwa BEI tetap prudent dalam menjalankan tugasnya. Tidak sembarang perusahaan yang bisa lolos seleksi.
“Kami lihat betul kondisi perusahaan dan bagaimana concern mereka terhadap prospek pertumbuhan ke depannya seperti apa. Ada mini expose untuk kami lihat dari sisi manajemen perusahaan dan prospektus business plan-nya terkonfirmasi atau enggak,” paparnya.
BEI cenderung lebih ketat dalam menilai perusahaan yang ingin masuk ke papan ini karena ada tanggung jawab untuk melindungi investor. BEI membuat parameter pengawasan yang berbeda karena papannya tersendiri. Di satu sisi, investor diharapkan sudah betul-betul paham dengan segala risiko membeli saham di sana, selain melihat potensi bisnis yang ditawarkan.
“Kami sudah wajibkan anggota bursa untuk menyampaikan disclaimer untuk setiap saham di papan akselerasi, interface-nya akan berbeda khusus untuk transaksi di sini. Ini sudah dilakukan oleh semua anggota bursa.”
Hasan menuturkan saat ini bursa menempatkan diri sebagai tempat yang inklusif dengan menawarkan sumber pendanaan alternatif melalui IPO. “Kan mungkin saja karena masih kecil [skala bisnisnya] masih sulit dapat sumber pendanaan dari [institusi keuangan] konvensional.”
Menurut ekonom sekaligus peneliti Indef Nailul Huda, bursa masih butuh waktu panjang untuk menumbuhkan antusiasme startup untuk melantai. Pada dasarnya IDX Incubator hanya sebatas sarana. Sukses atau tidaknya IPO tergantung kemampuan perusahaan itu sendiri.
“Saat ini ada equity crowdfunding sebagai alternatif IPO selain di BEI. Hal itu lebih memungkinkan karena jika di BEI ini prosesnya sangat ribet dan harus setor laporan keuangan terstandarisasi. Berat bagi mereka yang mungkin tidak memiliki staf bidang keuangan yang mumpuni.”
Hal lain yang mungkin memberatkan startup adalah menjaga harga saham. Banyak cerita perusahaan teknologi di Amerika Serikat yang justru harga sahamnya memburuk setelah IPO. Rata-rata mereka tidak memiliki jalur yang kuat untuk memastikan bagaimana perusahaan bisa untung ke depannya.
“[Sebab] yang dikejar kan hanya valuasi. Dihitung dari GMV dan besaran jangkauan subscriber. Model bisnisnya belum bisa menjelaskan bagaimana keuntungan ke depan.”
Nailul juga berpendapat, konsep harga saham tidak selalu mencerminkan kinerja perusahaan.
“Harga saham tinggi tapi fundamental perusahaan jelek sudah pasti banyak bermain dan pembeli irasional, hanya sebentar biasanya. Tapi kalau kinerja perusahaan dan fundamentalnya bagus harga saham akan cenderung meningkat. Salah satu contoh menarik [yang tidak mencerminkan kinerja perusahaan] adalah Gamestop.”
Seandainya tiga unicorn ini sukses masuk ke bursa, Nailul berpendapat belum tentu startup lainnya langsung terdorong untuk mengekor ke strategi yang sama. Mereka pasti memantau dari hasil listing. Kalau harga sahamnya oke di awal saja, artinya mereka hanya mencari cuan di awal. Setelahnya masa bodoh sama harga saham.
“Tentu akan menjadi patokan bagi perusahaan teknologi lainnya untuk tidak listing dulu. Tapi kalau hasilnya bagus pasti akan menjadi patokan bagi perusahaan lainnya juga untuk listing.”
Secara terpisah, dalam temu media yang diselenggarakan East Ventures (19/2), Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca memandang semua startup pada akhirnya harus tercatat di bursa, tapi tidak semua startup bisa melakukan itu karena masing-masing berada dalam tahap yang berbeda. Terlebih lagi, IPO hanyalah bagian dari cycle dari suatu perusahaan.
Bagi startup, keuntungan bisa tercatat adalah punya tambahan likuiditas dan memiliki kepatuhan yang sangat baik karena harus tunduk pada aturan bursa. Sementara itu, bagi investor, menjadi perusahaan terbuka itu adalah pembuktian validasi valuasi yang selama ini diukur sebelum melakuan investasi ke startup tersebut, apakah tepat atau tidak.
“Menurut saya startup mana yang harus listing? Semua startup harus listing karena ada validasi valuasi, likuiditas, dan compliance ditingkatkan. Tapi apakah semua startup bisa listing? Tidak bisa, karena untuk sampai ke titik itu butuh waktu. Kalau startup awal sibuk ke sana enggak akan bisa buat produk,” ucap Willson.
Persiapan serius lainnya
Bursa semakin serius mendorong unicorn masuk ke pasar modal dengan membuat sejumlah penyesuaian. Kehadiran mereka dianggap bisa mendorong gairah startup lain untuk listing.
Hasan menerangkan, mereka telah bertemu secara intensif dengan para stakeholder unicorn untuk berdiskusi tentang hal apa saja yang menjadi ganjalan. Permintaan pertama adalah keinginan untuk masuk ke papan utama karena memberikan lebih banyak nilai tambah untuk para investornya, ketimbang papan pengembangan atau akselerasi.
Hal ini memang masuk akal melihat valuasi masing-masing perusahaan layak untuk disejajarkan dengan perusahaan terbuka dengan kapitalisasi besar di Indonesia.
Untuk itu, BEI tengah memfinalisasi perubahan peraturan nomor I-A, nantinya aturan ini akan mengakomodasi berbagai karakteristik emiten, termasuk perusahaan teknologi untuk IPO. “Kita sih benar-benar ingin segera [aturan diberlakukan], tapi sekarang sedang proses pembahasan agar mendapat persetujuan dari OJK.”
Menurut aturan bursa yang berlaku saat ini, ada kewajiban perusahaan yang berniat masuk ke papan utama adalah memiliki tangible assets (aset yang berwujud bersih). Sementara itu, karakteristik dari startup adalah kepemilikan intangible assets yang lebih besar dari tangible assets. Maka dari itu bursa akan memberikan aspek pengukuran lainnya, seperti pendapatan dan market utilisasi.
“Kami tidak memungkiri kenyataan dulu belum terakomodir untuk perusahaan seperti mereka yang pengembangan strateginya berbeda dengan perusahaan pada umumnya.”
Hal kedua yang menjadi perhatian dan sudah disiapkan bursa adalah klasifikasi sub-sektor yang sesuai dengan bisnis dari para unicorn. Pihak bursa meluncurkan IDX Industrial Classification (IDX-IC) pada 25 Januari lalu. Klasifikasi ini mengubah klasifikasi bursa yang dipakai sebelumnya sejak 1996, yakni Jakarta Stock Industrial Classification (JASICA). Proses transisi dilaksanakan selama tiga bulan.
IDX-IC menggunakan metode pengelompokkan berdasarkan eksposur pasar atas barang atau jasa akhir yang digunakan perusahaan tercatat, bertujuan untuk memberikan panduan bagi para pengguna terkait kelompok perusahaan dengan eksposur pasar yang sejenis.
Pembagiannya lebih mendetail dalam empat tingkat, yakni sektor, subsektor, industri, dan subindustri. Adapun JASICA selama ini mengelompokkan emiten per sektor berdasarkan prinsip aktivitas ekonomi, sehingga pembagiannya hanya dua tingkat, yakni sektor dan subsektor.
Hasan menerangkan, IDX-IC menggunakan benchmark yang dipakai bursa global, termasuk mirip dengan indeks-indeks yang diterbitkan pihak swasta seperti Bloomberg.
Investor global akan lebih senang kalau saham yang mereka tanamkan untuk perusahaan dapat dibandingkan dengan kelompok industri sejenis di negara lain. Ketika dibandingkan berdasarkan sektornya jadi lebih apple-to-apple untuk melihat pertumbuhan atau kinerja dari peer-nya.
“Sehingga sekarang jadi lebih comparable. Perusahaan yang sudah listed juga dapat manfaatnya karena tadinya masuk kategori yang umum, ada yang masuk ke jasa atau trading, sekarang sudah ada subsektor sport hingga entertainment yang lebih cocok di bidangnya.”
Permintaan terakhir terkait potensi penerapan beberapa aturan, seperti hak khusus para founder melakukan dual class share dengan cara memberikan bobot pemungutan suara (vote) yang berbeda antara pemegang saham pendiri dan pemegang saham publik. Lalu penerapan skema multiple voting share atau satu saham milik founder punya memiliki hak yang lebih besar dari saham biasa dalam hal pengambilan keputusan.
Saptono menambahkan, dalam menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah ini, BEI tidak hanya fokus meningkatkan sisi supply, tapi juga dari demand investasi dari para sophisticated investor untuk perusahaan-perusahaan teknologi, seperti modal ventura, private equity, maupun investor lainnya dengan melakukan engagement dan mengajak mereka masuk ke pasar modal Indonesia.
Dual listing
Dual listing bukan hal baru di dunia bursa global, namun di Indonesia strategi ini jarang dipilih kebanyakan perusahaan. Perusahaan teknologi global, seperti Alibaba dan Sea Group, memilih bursa Amerika Serikat karena di sana adalah pasar saham terbesar di dunia. NYSE (New York Stock Exchange) adalah yang terbesar, disusul NASDAQ yang komposisinya dihuni perusahaan teknologi.
Di NYSE misalnya, jutaan saham dapat berpindah tangan antara pembeli dan penjual per detiknya. Karena volume pertukaran yang tinggi, maka relatif mudah proses transaksinya. Dengan kata lain pasar saham A.S sangat likuid dengan biaya transaksi yang rendah.
Sejauh ini perusahaan lokal yang melantai di bursa global masih bisa dihitung jari. Mengutip dari Bisnis.com, sejumlah BUMN yang melakukan dual listing ada Indosat, Telkom Indonesia, Aneka Tambang, dan Timah. Hanya Telkom dan Antam yang masih melakukan strategi ini sampai sekarang.
Telkom sudah tercatat di NYSE sejak 25 tahun lalu. Perjalanannya tidak selalu mulus. Mereka sempat terancam delisting karena tidak dapat memenuhi batas akhir penyampaian audit laporan keuangan tahun 2002.
Head of Research Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Suria Dharma berpendapat dual listing punya dampak positif bagi perusahaan pada umumnya karena bisa memiliki akses ke sumber pendanaan yang lebih besar. Meskipun demikian, di balik itu ada harga yang harus dibayar, yakni peraturan dan pelaporannya seringkali lebih ketat daripada di dalam negeri.
Sementara bagi unicorn, karena mereka diprediksi punya kapitalisasi pasar yang besar, skema dual listing ini diperkirakan membuat potensi penyebaran ke calon investor juga jauh lebih besar. Alhasil dana segar yang bisa diraup lebih besar.
Dia menggambarkan pergerakan harga saham bagi perusahaan yang dual listing itu saling menyesuaikan satu sama lain. “Dulu seringkali mengikuti harga di luar negeri, tapi sekarang malah kebalikannya lebih sering mengikuti harga di Indonesia. Mungkin karena semakin banyak info yang lebih dahulu diketahui investor di Indonesia.”
Willson menambahkan, dual listing yang akan dilakukan unicorn lokal dapat menggabungkan dua hal yang terbaik, masuk ke bursa AS dan lokal. “Ini berhubungan dengan nasionalisme. Kalau bisa dual, tentu pasar lokal akan lebih bergairah. Harus ke AS karena di sana capital market-nya besar sekali, jadi ini menggabungkan the best of both.”
–
Gambar header: Depositphotos.com