Dahulu, industri hiburan adalah sebuah proses yang cenderung lurus dan vertikal. Seperti sekarang, siapapun dapat berkreasi namun pada akhirnya karya hiburan yang akan diberikan investasi terbesar (yang juga berarti promosi dan distribusi terbesar) adalah yang dinilai oleh pemilik modal di industri hiburan, yang akan dapat dicerna oleh orang banyak, dan paling mungkin mendapatkan pengembalian modal – malah keuntungan besar. Hukum skala ekonomi berlaku: investasi pada satu hal dengan nilai investasi yang tetap/statis, yang kemudian digandakan untuk keuntungan berlipat. Tentunya, alur vertikal ini sangat tergantung pada kontrol terhadap semua lini industri – dari penciptaan kreasi, produksi, promosi, pemasaran, distribusi, dan bahkan harga jual.
Penciptaan sebuah kreasi sekarang lebih mudah, terlepas dari kualitas dan keahlian, dan pastinya lebih murah. Lihat saja, sebuah Instagram dapat menyalurkan jutaan fotografer ‘mendadak’ dan memberikan mereka sebuah panggung. Produksi, yang dahulu sangat mahal, sekarang memiliki rentang yang sangat lebar, dari home video sampai kamera digital untuk film 3D, yang juga memberikan rentang yang sangat lebar untuk hasil kreasinya.
Promosi pastinya sudah tidak terpusat – kalaupun masih terpusat di beberapa media besar, sudah terjadi pergeseran kebiasaan yang sangat besar juga (misalnya, untuk banyak orang, Youtube sudah menggantikan TV). Distribusi pun sudah bukan mutlak dimiliki jaringan-jaringan besar seperti hypermart, toko CD, TV kabel, dan sebagainya – internet, industri pembayaran online dan industri logistik yang makin berkembang sudah memberikan pilihan banyak untuk konsumen yang ingin membeli sesuatu. Harga jual pun kehilangan konteks sebelumnya, apalagi kalau harga jual itu berubah jadi pledge seperti yang dilakukan pada situs-situs crowdfunding.
Nyaris seluruh lini industri hiburan yang sebelumnya bisa dibilang linear dan sangat terkontrol oleh para pemain besar industri, kini menjadi sebuah jaring laba-laba antara ribuan pemain industri, kecil atau besar, yang terkadang bahkan kekuatan modalnya belum tentu menentukan kekuatan pengaruh pada industri secara keseluruhan. Penikmat hiburan pun mungkin sudah lebih cerdas memilih apa yang dia benar-benar suka – atau karena hilangnya ‘sentralisasi’ komunikasi soal barang hiburan, konsumen pergi berusaha mencari sendiri apa yang dia inginkan karena sudah kebingungan dengan kebisingan semua lini komunikasi masa kini.
Namun, anehnya, pemain-pemain besar industri seperti sulit mengadaptasi terhadap kenyataan baru ini, walaupun sebenarnya kenyataan ini tidak benar-benar baru. Proses linear yang tadi tetap berusaha diberlakukan, yang sangat bergantung pada kontrol terhadap penggandaan, distribusi maupun harga (yang akan menentukan berapa uang yang mereka terima dan dapat diinvestasikan ulang).
Ada yang bilang, kesalahan terutama terdapat pada hukum mengenai hak cipta itu sendiri – bahwa pengelolaan hak cipta sudah perlu direvisi untuk mengikuti jaman, seperti yang berusaha dilakukan oleh gerakan Creative Commons. Ada juga yang menyebutkan bahwa penerapan konsekuensi hukum hak cipta nyaris tidak dilakukan, misalnya kriminalisasi pembajakan. Tapi, hukum seperti UU Hak Cipta kan sebenarnya dibentuk juga oleh konstituen dan perwakilan rakyat sebuah negara, jadi mengikuti apa yang dibutuhkan oleh konstituen (yang mungkin saja diwakili malah oleh pemain industri).
Ketergantungan industri pada proses linier yang mengejar keuntungan dari skala ekonomi itu tidak jelek, karena toh sudah berhasil selama bertahun-tahun. Tapi kalau semua elemen proses tersebut sudah terganggu, apakah baik untuk terus mengikutinya?
Skala ekonomi yang dikejar toh tetap bisa berjalan baik dengan mempelajari berbagai lini bisnis baru, termasuk dengan model bisnis yang belum terbukti. Ketimbang menyebar benih di lahan yang itu-itu lagi, yang mungkin zat haranya sudah habis, mungkin sudah saatnya mencari ladang baru – atau benih baru. Tidak ada yang pasti dengan mencoba hal yang baru, tapi kalau berusaha melakukan hal yang sama dan berharap mendapatkan hasil yang sama, saat semua faktor pasar maupun lini industri sendiri sudah berubah, ya pastinya adalah keputusan yang buruk.
Ario adalah co-founder dari Ohd.io, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.