Dark
Light

[Manic Monday] Perlukah Industri Musik Diselamatkan?

3 mins read
March 4, 2013

Dari satu aspek, memang musik seperti sedang porak-poranda. Sulit mencari toko CD atau kaset karena banyak yang sudah tutup. Ringbacktone, yang sempat menjadi andalan industri musik, sudah nyaris tak dipakai lagi. Toko-toko yang menjual file musik digital (seperti MP3) sudah berjalan beberapa tahun tapi tetap, belum terlihat minat pasar yang besar; penjualan lagu lewat  iTunes Indonesia sekalipun, menurut kabar, meskipun menunjukkan pertumbuhan yang pesat, masih belum memiliki dampak yang signifikan. Sementara itu, lagu-lagu yang sama bisa didapatkan bebas dari berbagai situs web, tanpa biaya, dan tanpa renumerasi ke pemilik rekaman suara.

Kalau dilihat hanya dari aspek tersebut, memang sepertinya musik sedang ‘sakit’ dan perlu ‘disembuhkan’. Tapi, sebenarnya sakitnya apa sih? Musik seperti sedang celaka dan perlu ‘diselamatkan’, tapi apa yang perlu diselamatkan sebenarnya?

Kalau dilihat dari sisi lain, musik di Indonesia justru semakin hidup. Bisa dibilang bahwa beberapa tahun terakhir, jumlah pertunjukan musik peningkat pesat, begitu pula perputaran uangnya, dan sudah sampai pada tahap musisi lokal pun dapat membuat pertunjukan berbayar (yang sebelumnya biasanya adalah pertunjukan gratis yang disponsori).

Saya menduga bahwa konsumsi musik per kapita juga meningkat, terlepas dari soal sumbernya legal ataupun tidak. Jumlah radio pun bertahan dengan berbagai variasi dan segmen, sampai-sampai di Jakarta sudah tidak mungkin membuat stasiun radio lagi karena gelombang sudah penuh. Apakah hal-hal ini perlu disembuhkan? Apakah musik perlu diselamatkan?

Lagi-lagi, ini soal perspektif. Saya tidak akan menyangkal bahwa penjualan produk musik telah turun secara drastis, seiring dengan munculnya Napster dan format file MP3. Tapi kejadian itu sudah nyaris lima belas tahun yang lalu. Masa sih, tidak ada perkembangan lain setelah kejadian itu? Ya memang ada teknologi DRM – digital rights management – yang membatasi orang menyalin file tanpa izin dari pemilik rekaman suara.

Akan tetapi, selain penerapan teknologi DRM pada ekosistem iTunes masa itu, DRM akhirnya membuat banyak penikmat musik mengurungkan niat untuk membeli musik lagi karena proses DRM begitu menyulitkan. Jadi, apakah musik perlu disembukan karena DRM tidak berjalan baik?

Jangan salah, pembajakan itu salah secara hukum, jelas undang-undangnya. Dan prinsipnya kan begini: saya punya karya, saya berhak dong kalau saya mendapatkan keuntungan ekonomi dari hasil kerja saya. Kalau ada yang menikmati karya saya tanpa izin atau pemberian kompensasi ke hasil jerih payah saya, ya harusnya salah kan. Ada dua sisi dari pernyataan ini sih – kalau saya memberi izin untuk semua orang menikmati karya saya secara bebas dan gratis, juga bisa kan? Misalnya, dilepas sebagai file gratis ke internet? Nanti yang ingin menikmati tingkatan interaksi yang lebih dengan saya ataupun karya saya, baru mungkin saya minta sesuatu, karena toh orang tersebut pasti lebih rela keluar uang.

Bukan pukul rata, semua orang yang ingin menikmati karya saya harus membeli CD atau file MP3 yang harganya sama untuk semua orang, tanpa peduli latar belakang dan kemampuan. Kalau mampunya ‘cuma’ bisa membeli file MP3 seharga Rp 7,000, tidak perlu di’paksa’ beli satu CD album yang harganya sepuluh kali lipat kan?

Memang betul, mendapatkan keuntungan dari skala ekonomi paling mudah didapatkan dengan modal (pembuatan rekaman dan kontrak artis) yang berjumlah tetap, tapi hasilnya dijual dengan satu benda yang dapat dijual berlipat ganda. Konser pun (idealnya) begitu lewat penjualan tiket. Tapi apakah ini satu-satunya cara mencari uang untuk musik?

Musik tidak perlu disembuhkan. Industri musik tidak perlu diselamatkan. Yang diperlukan adalah penataan. Internet memberi kesempatan yang sangat luas untuk membuat penataan yang baik, memberikan produk sesuai dengan segmen, minat dan daya beli, dan memperkaya kehidupan pendengar musik dengan berbagai cara baru berinteraksi dengan musik.

Membuat karya rekaman musik pun semakin mudah dan semakin murah, dan semakin mudah juga untuk mempublikasikannya. Sudah lebih murah juga biayanya untuk mencoba teknologi baru yang sebelumnya belum pernah ada, atau menguji model bisnis yang belum pernah dilakukan. Mungkin perlu meniru apa yang sudah dikerjakan perusahaan FMCG selama puluhan tahun – sampel gratis. Coba dulu, kalau suka dan mau lebih banyak, ya beli. Kalau tidak suka, ya jangan beli.

Kalau hanya dilihat dari kacamata industri musik, memang seperti semuanya sedang ‘sakit’. Tapi sepertinya, kesembuhan yang dicari, yaitu kembalinya perputaran uang pada tingkatan sebelum ‘krisis’ ini terjadi, mungkin tidak akan ditemukan dari penyadaran orang soal pembajakan.

Mungkinkah, kesembuhan yang dicari akan lebih cepat tercapai jika teknologi-teknologi baru ini disinergikan, bukan dilawan? Apa dari mengubah perspektif melihat pembajakan bukan sebagai penyebab, tapi sebagai gejala yang perlu dipelajari, dicerna dan dicari dampak baiknya? Kita lihat saja.

Ario adalah co-founder dari Ohd.io, layanan streaming musik asal Indonesia. Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, sebelum bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Previous Story

[Manic Monday] Does the Music Industry Really Need to be Healed?

Next Story

BlackBerry Z10 Resmi Hadir di Indonesia, Pre-Order Mulai 5 Maret

Latest from Blog

Don't Miss

The Beatles pakai AI untuk rilis lagu baru

Berkat AI, The Beatles Siap Rilis Lagu Baru dengan Vokal John Lennon

Haruskah penggunaan AI dilarang di industri musik? Jawabannya sudah pasti
Google MusicLM

Google Pamerkan MusicLM, AI yang Mampu Menyulap Teks Menjadi Musik

Kemunculan DALL-E, Midjourney, dan sederet artificial intelligence (AI) jago gambar