ESL merayakan ulang tahunnya yang ke-20 belum lama ini. Co-CEO dan Co-founder ESL, Ralf Reichert mengungkap bagaimana ESL mengadopsi sistem liga sepak bola ke kompetisi esports pada awal mereka berdiri. Sementara Co-CEO ESL, Craig Levine bercerita tentang dampak pandemi pada operasi ESL selama 2020.
Sekilas Sejarah ESL
ESL (Electronic Sports League) berdiri pada 2000. Sebelum itu, mereka dikenal dengan nama Deutsche Clanliga, yang didirikan pada 1997. Dalam acara perayaan ulang tahun ESL yang ke-20, Ralf Reichert dan Alexander Müller menjelaskan tentang awal mula ESL. Müller merupakan pendiri dari SK Gaming, organisasi esports asal Jerman. Dia pernah bekerja di ESL sebelum memutuskan untuk mengundurkan diri 15 tahun lalu dan fokus mengembangkan SK Gaming.
Reichert dan Müller punya satu kesamaan: keduanya sama-sama mencintai olahraga tradisional. Jadi, tidak heran jika pada awalnya, format turnamen esports yang digelar oleh ESL didasarkan pada liga sepak bola.
“Kami selalu menonton liga olahraga terbesar di dunia, tidak hanya Bundesliga atau Champions League,” kata Müller, seperti dikutip dari Sports Business. “Kami mencari hal-hal yang kami anggap menarik di olahraga tradisional dan mencoba mengimplementasikannya ke esports. Meskipun saya sudah lama mengundurkan diri dari ESL, Anda bisa melihat DNA itu sampai saat ini.”
ESL Pro Series menjadi liga esports major pertama dari ESL. Kompetisi tersebut merupakan liga lokal Jerman. ESL kemudian membawa format ini ke negara-negara Eropa lain, seperti Prancis, Italia, Spanyol, Polandia, dan negara-negara Baltik. Sayangnya, liga lokal itu tidak bertahan lama.
“Sekarang, kami tahu bahwa model kompetisi esports terbaik adalah gabungan antara liga sepak bola dan turnamen tenis,” kata Reichert. “Tapi ketika itu, kami tidak tahu akan hal ini. Kami membuat banyak kesalahan.”
Dukungan dari Intel
Sekarang, sudah banyak merek non-endemik yang menjadi sponsor esports. Namun, tren ini baru muncul pada tahun 2010-an. Sebelum itu, kebanyakan sponsor esports merupakan perusahaan endemik, seperti Intel. Mengingat jumlah sponsor terbatas, jadi tidak heran jika para pelaku industri esports berusaha keras untuk memenangkan hati sponsor. Bagi ESL, hal ini berarti mereka harus menawarkan sesuatu yang unik pada Intel.
“Kami tidak meminta Intel untuk menjadi sponsor kami. Kami berkata pada mereka, ‘Ayo, sama-sama, kita buat sesuatu untuk mengubah dunia. Mari kita bawa subkultur ini ke panggung terbesar dunia,'” kata Reichert. “Sekarang, sponsorship dengan tujuan yang spesifik adalah hal yang biasa. Sementara kami telah melakukan itu sejak 15-20 tahun lalu.”
Intel adalah salah satu sponsor terpenting ESL. Mereka telah menjadi sponsor dari Intel Extreme Masters sejak 2007. Tak hanya itu, kerja sama dengan Intel juga memungkinkan ESL untuk menyelenggarakan liga lokal serta turnamen global.
Berbeda dengan ESL Pro Series, cakupan Intel Extreme Masters tidak dibatasi pada satu negara. ESL membuat IEM dengan tujuan untuk menjadikannya sebagai kompetisi paling bergengsi di Eropa. Memang, Reichert mengungkap, konsep IEM didasarkan pada Champions League, yaitu mengadu tim-tim lokal ke tingkat yang lebih tinggi.
Lebih lanjut Müller menjelaskan, dengan mengadu tim-tim esports terbaik di IEM, ESL berharap mereka akan bisa menyajikan konten esports yang disukai banyak orang. Champions League bukanlah satu-satunya kompetisi olahraga tradisional yang menginsipirasi ESL. Faktanya, Intel Friday Night Game juga didasarkan pada acara olahraga tradisional lain, yaitu Monday Night Football dari NFL, kompetisi american football.
Dalam menyelenggarakan IEM dan Friday Night Game, ESL bekerja sama erat dengan tim marketing Intel. Reichert berkata, “Intel mendorong kami. Mereka adalah rekan kami. Mereka tidak hanya memberikan uang dan menyerahkan semuanya pada kami. Mereka selalu ingin tahu bagaimana kami bisa membuat acara yang lebih besar, menemukan konsep yang unik, dan bagaimana kami akan bisa menyajikan semua ini ke banyak orang.”
Dampak Pandemi untuk ESL
Pandemi virus corona pada 2020 memengaruhi segala sektor, termasuk competitive gaming. Bagi esports, pandemi layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, viewership turnamen esports naik. Di sisi lain, ada banyak turnamen esports offline yang harus ditunda atau bahkan dibatalkan. Namun, Co-CEO ESL, Craig Levine optimistis, pandemi justru akan membuat mereka lebih kuat.
“Kami melihat pandemi sebagai sebuah kesempatan,” kata Levine, menurut laporan Sports Pro Media. “Pada tahun ini, kami membuktikan bahwa kami bisa menyesuaikan bisnis kami, dari penyelenggaraan turnamen esports offline menjadi kompetisi offline dengan siaran secara remote. Baik jumlah penonton maupun tim peserta dalam turnamen kami naik drastis. Hal ini menjadi bukti akan popularitas esports dan game. Tak hanya itu, hal ini juga menunjukkan bahwa industri esports bisa menyesuaikan diri dengan cepat.”
Levine menjelaskan, di masa depan, ESL berencana untuk mempercepat virtualisasi dari proses penyelenggaraan turnamen esports. “Sebagai perusahaan internasional, kami dapat mendukung orang-orang berbakat dari seluruh dunia,” ujarnya. “Kami tengah mempertimbangkan cara untuk membuat konten yang lebih baik dari ESL Pro Tour. Kami juga ingin mendorong agar semakin banyak pihak yang berpartisipasi di platform B2C kami.”
Levine mengaku, tahun 2020 bukanlah masa yang mudah. Ada banyak perubahan yang ESL lakukan sepanjang 2020. Salah satu perubahan terbesar yang dialami ESL pada tahun ini adalah merger dengan DreamHack. Baik ESL dan DreamHack merupakan perusahaan di bawah Modern Times Group (MTG), perusahaan asal Swedia. Setelah merger, ESL dan DreamHack menjadi satu entitas, yaitu ESL Gaming. Meskpun begitu, baik ESL dan DreamHack masih akan beroperasi mandiri sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. ESL akan bertanggung jawab atas kompetisi esports, sementara DreamHack akan fokus pada kegiatan dan festival esports.
Namun, sebelum pandemi sekalipun, ESL sudah mulai mengalami masalah. Pada Desember 2019, mereka memutuskan untuk memusatkan operasi mereka di Eropa ke kantor Jerman dan Polandia. Hal itu berarti, mereka akan menutup kantor mereka di Prancis dan Spanyol. Tak hanya itu, perusahaan induk ESL, MTG, mengungkap bahwa mereka juga masih mengalami kerugian pada Q1 dan Q2 2020.