Pernah terpikir tak satu pun aplikasi kencan yang populer di Indonesia saat ini yang buatan anak bangsa? Sebagai pemain lokal, mereka seharusnya punya keuntungan mengenal lebih dalam karakter konsumen di sini.
Kenyataan berkata sebaliknya. Tinder, OKCupid, Bumble, dan Coffee Meets Bagel merupakan contoh aplikasi kencan yang, berdasarkan survei kecil-kecilan kami, paling disukai pengguna dalam negeri.
Kami berbicara dengan Love Actually, Tinder, dan beberapa pengguna untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dipertimbangkan pengguna saat menggunakan jasa aplikasi kencan.
Belum tertarik buatan lokal
Anya (bukan nama sebenarnya) adalah perempuan yang sudah cukup lama menggunakan aplikasi kencan. Anya mencoba Tinder yang pada 2014 silam cukup booming.
Dari semua aplikasi kencan, Anya merasa paling nyaman dengan Bumble. Ia menitikberatkan pada “kualitas basis penggunanya”. Bumble, menurut Anya, punya basis pengguna yang relatif lebih kecil dibanding aplikasi kencan lain yang lazim digunakan banyak orang, seperti Tinder dan OKCupid.
“Jadi faktor gue pake terus atau enggak sebenarnya lebih yang mana yang lebih banyak orang yang satu frekuensi atau enggak,” terang Anya.
Jordi Farhansyah (27 tahun) mengaku lebih menyukai OKCupid untuk mencari teman kencan. Sama seperti Anya, Jordi sudah mencoba sejumlah aplikasi kencan lain. Pada akhirnya dia memilih OKCupid karena aplikasi tersebut kaya akan fitur yang mempermudah para lajang mengenal satu sama lain, seperti preferensi hiburan, orientasi seksual, politik, hingga jenis hubungan yang dicari.
“Kita juga bisa kirim komentar langsung ke detail informasi yang mereka share, seperti musisi favorit, film, hingga hal-hal random lain sehingga memudahkan orang untuk mencari sesuatu yang bikin relate dengan orang itu,” sambung Jordi.
Anya dan Jordi belum melihat ada aplikasi kencan lokal yang bisa menawarkan hal serupa. Satu-satunya aplikasi lokal yang pernah mereka dengar adalah Setipe yang telah diakusisi platform Singapura Lunch Actually 3 tahun lalu.
Yang tak dimiliki pemain lokal
Co-Founder dan CEO Lunch Actually Violet Lim menjelaskan, tiap populasi suatu negara memang memiliki preferensi berbeda dalam memilih aplikasi kencan lokal favoritnya. Lim memberi contoh mereka yang mencari pasangan untuk menjalin hubungan yang lebih kasual kemungkinan akan memilih Tinder, sementara mereka yang ingin hubungan lebih serius akan memakai platform yang sesuai untuk tujuan itu, seperti Coffee Meets Bagel atau Setipe.
Lunch Actually adalah salah satu perusahaan terbesar di Asia Tenggara dalam membantu orang-orang mencari jodoh. Mereka mengakuisisi Setipe pada 2017 silam. Meskipun demikian, hasil akuisisi tersebut tampaknya tidak berjalan baik. Lunch Actually kemudian merilis aplikasi kencannya sendiri untuk memperkuat keberadaan mereka di peta kompetisi aplikasi kencan Indonesia.
Berdasarkan pengalamannya, Lim mengatakan pada dasarnya layanan kencan bukan industri yang mudah untuk ditembus. Selain itu, kerap kali penyedia layanan kencan kesulitan memonetisasi layanannya.
“Industri kencan bukanlah industri yang mudah untuk dimasuki, karena semakin baik Anda melakukan pekerjaan Anda, semakin cepat klien akan meninggalkan Anda,” tukas Lim.
Apa yang dimiliki penyedia lain yang lebih populer, seperti Tinder, OKCupid, dan Bumble, adalah faktor branding yang sangat kuat. Lim menyadari hal itu karena ketika perusahaan-perusahaan tersebut memasuki pasar Indonesia, calon pengguna langsung tertarik mencobanya ketimbang nama-nama yang kurang akrab di telinga.
Tinder memasuki pasar Indonesia selayaknya badai yang menerjang cepat. Ketika mereka masuk, demam mencari pasangan instan via aplikasi menyebar di mana-mana. Karakter layanan Tinder yang sederhana lewat fitur swipe mereka jadi tren. Kini Tinder beroperasi di 190 negara dengan unduhan 600 juta kali dan 6,6 juta pengguna berbayar.
Juru bicara Tinder Asia Pasifik kepada DailySocial mengatakan, mereka menciptakan layanan dengan keyakinan manusia butuh untuk terhubung satu sama lain. Mereka juga mengklaim cepat beradaptasi dengan penggunanya yang lebih dari 50% di antaranya adalah Gen Z.
“Di Indonesia kami memiliki kampanye brand #BisaBareng yang terinspirasi oleh Gen Z saat mencari teman,” ujar juru bicara perusahaan lewat pernyataan tertulis.
Terus bersaing
Personalisasi layanan dengan karakter target pengguna itu disadari Ajeng (27 tahun). Sebagai pengguna layanan aplikasi kencan lokal yang sudah cukup lama, ia menilai hal itu tidak tampak dari layanan-layanan kencan buatan lokal. Dia mengonfirmasi keraguannya itu dari lingkaran pertemanannya dan teman-teman kencan terdahulu yang sama sekali tidak pernah mencoba aplikasi kencan lokal.
“Mungkin sebenarnya dating app lokal sama bagusnya. Hanya saja mereka tidak mampu menarik pengguna semasif dating app dari luar yang sudah lebih dulu ada,” jelas Ajeng.
Lim menilai tantangan utama industri layanan kencan ini adalah mereka yang puas justru tak akan kembali. Semakin cepat mereka menjodohkan para lajang, semakin mereka ditinggal pengguna. Belajar dari Setipe dan kompetisi di pasar lokal saat ini, ia yakin paduan branding yang kuat, inovasi teknologi, dan riset pasar yang cermat dapat mendorong mereka menandingi layanan kencan yang sudah populer.
“Selain memanfaatkan iklan [di mesin pencari dan media sosial] untuk mendapatkan pengguna baru, kami merasa kekuatan terbesar sebenarnya dari strategi mouth to mouth dan kehumasaan,” pungkas Lim.