Dark
Light

[Simply Business] Mendulang Uang Dari Model Bisnis Gratisan

3 mins read
March 21, 2013

Selama menjalankan Kinara dalam dua tahun ini, saya berkesempatan ketemu dengan banyak sekali teman-teman yang sudah memiliki bisnis ataupun baru ingin memulai. Biasanya diskusi saya dengan mereka tidak jauh dari membahas seperti apa model bisnisnya. Ya, Kinara sangat percaya bahwa sejak awal setiap bisnis harus memiliki visi tentang model bisnis yang ingin dijalankan, menggunakan tool Kanvas Bisnis Model dari Prof. Osterwalder. Untuk proses pembuktian dan implementasi dari model bisnis itu sendiri, kami sekarang memilih menggunakan metode Lean Startup.

Walaupun fokus investasi Kinara bukan pada sektor IT/digital, tetapi saya sendiri tertarik untuk belajar banyak dari sektor yang pertumbuhannya sangat pesat ini. Sering juga saya bertemu dengan teman-teman yang sudah/ingin menjalankan sebuah startup digital, dan tidak jarang mendapatkan deskripsi bisnis seperti di bawah ini:

“Ini social media untuk [isi sendiri topik tertentu]”

“Kami membangun platform untuk mempertemukan [pihak A] dan [pihak B]”

“Yang kami buat ini media online khusus tentang [sebuah niche market]”

Kalimat-kalimat di atas biasanya digunakan untuk mendeskripsikan model bisnis yang sering disebut ‘double-sided’. Dua sisi. Karena model bisnis seperti ini memiliki 2 set customer/user. Sebenarnya model bisnis ini bukan sesuatu yang baru. Bisnis media sudah terbiasa dengan model seperti ini. Sejak dulu, pendapatan besar media didapat dari pengiklan. Bukan pembeli majalah atau koran tersebut. Bahkan sejak tahun 90-an paradigma media sudah berubah jauh sejak diluncurkannya koran gratis Metro di Stockholm, Swedia.

Bayangkan tahun 1995 Metro meluncurkan koran harian gratis yang dibagikan di kereta komuter di Stockholm. Koran gratis? Saat itu hal ini menjadi sangat aneh, koran yang biasanya dijual tiba-tiba bisa didapatkan dengan gratis? Tetapi jika dilihat dari model bisnis dua sisi ala media, hal ini sebenarnya cukup masuk akal. Model bisnis media selalu mengalami tantangan untuk membangun sirkulasi yang luas dan banyak. Media yang memiliki sirkulasi luas akan lebih mudah menarik pengiklan. Tetapi untuk membangun sirkulasi diperlukan modal yang kuat, baik itu finansial ataupun konten. Situasinya menjadi seperti ayam dan telur, mana yang harus didahulukan?

Model bisnis media gratis, baik koran ataupun majalah, ternyata membantu satu sisi. Tiba-tiba sebuah media cetak baru bisa memiliki sirkulasi yang luas (asalkan punya modal yang cukup untuk mencetak banyak eksemplar). Jalur distribusi yang dipilih Metro pun sangat tepat, stasiun kereta komuter di mana orang memang biasa membeli koran untuk dibaca dalam perjalanan. Apalagi koran gratisan, tentu cepat diambil semua orang.

Di tahun 2013 ini model bisnis media gratis sudah sangat biasa. Apalagi media online. Hampir semua konten online bisa didapat dengan gratis. Tetapi tantangannya tetap kompleks. Bagaimana mendapatkan traffic pembaca yang tinggi (sisi pertama) untuk menarik pengiklan (sisi kedua).

Semua bisnis yang memiliki model dua sisi pasti mengalami hal yang sama. Sisi yang mendatangkan revenue besar akan bergantung kepada sisi lain yang (biasanya) gratis. Jarang sekali bisnis yang memiliki model dua sisi yang keduanya mendatangkan revenue. Chicken and egg problem.

Kembali ke konteks startup digital Indonesia, kebetulan saya punya pengalaman pribadi mendirikan wujudkan.com dan juga mendapat saran dari para mentor yang berpengalaman di media. Kesimpulan saya adalah: amat sangat sulit menciptakan bisnis yang sukses secara finansial dengan model bisnis dua sisi, apalagi jika audiencenya mayoritas lokal. Sejak awal, kami sadar bahwa tidak mungkin wujudkan.com hanya bergantung kepada pendapatan dari fee. Harus ada sumber pendapatan lainnya, itu yang menjadi fokus kami sekarang.

Untuk media online, mendapatkan jumlah pengunjung yang signifikan sangat sulit. Traffic website lokal masih didominasi para pemain yang sudah lebih established. Sementara para pengiklan dan agensi yang mengontrol budget iklan banyak yang masih bergantung pada page views sebagai KPI utama. Mungkin saja kita kuat di page views untuk segmen tertentu, pertanyaannya adalah, apakah segmen yang kecil itu akan bisa menarik untuk para pengiklan?

Pertanyaan yang sama juga menghantui bisnis-bisnis yang bergantung pada pendapatan dari iklan. Karena itulah saya tidak menyarankan Anda untuk berharap dan bergantung pada iklan saja sebagai sumber pendapatan bisnis Anda.

Portal e-commerce ataupun mal offline, mengalami hal yang sama. Traffic pembeli akan mempengaruhi ketertarikan sebuah usaha untuk membuka tokonya di sana. Sementara pembeli mungkin tertarik datang karena banyaknya toko yang buka di sana. Mana yang harus didahulukan? Budget besar pun belum tentu bisa memecahkan masalah telur dan ayam ini.

Kembali kepada pertanyaan saya di awal artikel ini, kalau Anda berniat membangun sebuah startup media, platform, atau portal, coba pikirkan beribu kali bagaimana Anda akan mendapatkan revenue. Kalau Anda belum tahu bagaimana caranya, jangan nekat untuk memulai. Bagaimanapun juga, tujuan sebuah bisnis adalah supaya bisa sustainable dan berdiri sendiri, hidup dan untung dari pendapatannya sendiri. Bukan sekedar mendapat untung dari sebuah proses exit (menjual bisnis ke orang lain).

Ekosistem investasi Indonesia masih jauh dari contoh di luar di mana investor awal Facebook bisa bertahan lebih dari lima tahun sebelum menikmati hasil investasinya lewat IPO. Bahkan setelah IPO pun banyak investor yang kecewa karena harga sahamnya jatuh dan belum pernah kembali ke harga awal di $38. Harga saham (biasanya) adalah refleksi harapan pasar pada perusahaan. Pasar sedang menilai bahwa Facebook masih belum bisa menemukan strategi monetizing yang efektif untuk user engagement-nya yang masif. Bahkan raksasa seperti Facebook pun masih mengalami kesulitan menemukan model bisnis double-sided yang tepat. Are you sure you can do better than Zuck?

Saya yakin pendapat saya ini cukup kontroversial karena saya tahu banyak yang tidak setuju. Bagaimana menurut Anda?

Setelah 12 tahun berkecimpung di dunia perbankan, Dondi Hananto mendirikan Kinara Indonesia, sebuah inkubator bisnis di Indonesia yang memiliki visi untuk membangun ekosistem kewirausahaan di Indonesia. Ia juga merupakan salah satu pendiri Wujudkan, sebuah platform crowdfunding untuk merealisasikan berbagai macam proyek kreatif di Indonesia. Anda dapat follow Dondi di Twitter, @dondihananto.

Previous Story

Multiply Hadirkan Tampilan dan Logo Baru

Next Story

YouTube Capai Satu Miliar Pengguna Perbulan

Latest from Blog

Don't Miss

Meta luncurkan tools generative AI untuk iklan

Meta Luncurkan Tools Generative AI untuk Para Pemasang Iklan

Tren generative AI dan keberadaan program seperti ChatGPT maupun Stable

Game dan Iklan, Usaha Netflix untuk Tetap Relevan

Netflix kehilangan 200 ribu pelanggan mereka. Hal ini diungkap dalam