Dark
Light

Manajemen Staf Divisi UX untuk Produk Piranti Lunak

2 mins read
October 2, 2012

Minggu lalu saya berkesempatan ngobrol dengan seorang kepala divisi Interaction Design di sebuah perusahaan pembuat piranti lunak (selanjutnya disebut “software”). Sebelumya divisi ini bernama divisi Usability. Saya memahami mengapa nama UX (User eXperience) tidak dipakai, karena memang cakupan pekerjaan mereka tidak lebih luas ketimbang Interaction Design.

Sebagai divisi Usability, mereka bertugas menguji software yang mencapai tahap prototipe dan belum terprogram semua fungsinya. Mereka menguji coba fungsi-fungsi yang ada di software, apakah menu-menunya jelas dan tidak ada salah sambung. Dengan melibatkan para klien dalam tahap ini, klien sudah bisa menentukan apakah software pesanannya membuat tujuan mereka tercapai. Selanjutnya, developer bisa menyelesaikan fungsi-fungsi pada software sampai mencapai target dan bebas bugs.

Divisi ini berubah jadi Interaction Design karena meluasnya cakupan pekerjaan mereka. Sebelum mulai membuat prototype, tugas divisi Interaction Design adalah membuat sketsa interaksi untuk tiap software yang akan dikembangkan, setelah melalui pengumpulan requirements dari para klien. Mereka sering menggambar sketsa di kertas dan menggunakan software untuk wireframing, seperti yang saya sebut di artikel terdahulu.

Setelah menyelesaikan sketsa interaksi, mereka bekerja sama dengan Visual Designer untuk mendapatkan tampak konkrit menu, tombol, dan komponen look and feel yang lain. Setelah desain jadi, mereka membawanya ke para developer. Tugas Interaction Designer dan Visual Designer ini sebetulnya bisa dirangkap oleh satu orang dengan titel UI (User Interface) Designer. Namun karena proyek yang banyak, fungsi UI Design ini dibagi menjadi Interaction Design dan Visual Design.

Kepala divisi Interaction Design ini juga bertugas jadi manager. Dia mengatur siapa berkomunikasi dengan siapa, menyelaraskan jam kerja yang dibutuhkan, dan mengalokasikan pembagian waktu kerja untuk macam-macam proyek. Walaupun perusahaan ini besar dan sudah cukup terbentuk, tapi ternyata tidak semudah itu mengurus divisi Interaction Design.

Salah satu yang masih mengganjal adalah, bahwa di dalam perusahaan itu hanya ada satu jenis posisi untuk developer. Semua bertitel developer dan tidak ada pembagian front-end atau back-end. Saat ini masalah yang dihadapi adalah bahwa para developer cenderung menghindari posisi front-end developer. Mereka lebih suka mengerjakan back-end, karena cukup mengembangkan sampai fungsinya benar dan bugs free.

Ketika seorang developer yang tidak menyukai pekerjaan front-end ditugaskan untuk mengaplikasikan hasil kerja Interaction Designer & Visual Designer, hasilnya kurang memuaskan. Menu atau tombol yang mungkin perlu spesifikasi tertentu, menjadi salah bentuk / ukuran / lokasi. Pemrograman visual juga bisa rentan terhadap kesalahan spacing yang bisa memporakporandakan tampilan keseluruhan software.

Hanya ada satu developer di perusahaan itu yang menyukai pemrograman front-end. Sebagai kepala divisi Interaction Design, dia usul ke para pemimpin perusahaan untuk mencari developer yang selain berpengalaman juga menyukai pemrograman front-end. Sebagai contoh, lowongan “Front-End Engineer” juga sudah diluncurkan oleh perusahaan-perusahaan yang memahami bahwa fungsi developer jenis ini penting untuk menterjemahkan hasil karya Interaction Designer dan/atau Visual Designer sehingga secara usability software ini memenuhi syarat.

Sekian contoh UX staff untuk pengembangan software oleh sebuah perusahaan yang menjual solusi berupa komponen software yang bisa dimodifikasi sesuai keperluan klien. Di waktu lain, saya akan mencoba berbincang dengan perwakilan dari perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan website untuk produk baru. Menurut saya, hal ini lebih kompleks karena butuh tenaga Information Designer atau UX Designer yang bekerjasama dengan pihak marketing, demi mendapatkan interaksi dengan pengguna yang berefek pada tingkah laku para penggunanya.

Gambar cakupan UX staff untuk produk website [sumber]

[sumber gambar: Flickr/pocopina]

Tulisan berseri tentang User Experience (UX) ini ditulis oleh Qonita Shahab, seorang peneliti UX yang pernah bekerja di dunia TI. Ketertarikannya pada musik dan fotografi membantunya dalam mendesain prototipe sistem interaktif. Sejak mulai melakukan penelitian di bidang teknologi persuasif, Qonita mempelajari lebih dalam tentang psikologi sosial dan penggunakan teknologi oleh komunitas. Anda bisa mengenalnya lebih jauh di Twitter: @uxqonita.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Microsoft Akan Luncurkan ‘New MSN’ Tanggal 26 Oktober, Dioptimasi Untuk Pengguna Windows 8

Next Story

Batik Swap, Game Unik Untuk Hari Batik

Latest from Blog

Don't Miss

UX Design is Not a One Man Show

In the last few months, I saw heaps of job

UX Advice For Startups

I totally understand startup founders usually take steps too fast