Jika Anda mengklik artikel ini, kemungkinan, Anda merupakan fans dari Street Fighter atau setidaknya, fans dari fighting game. Kemungkinan besar, Anda pasti mengenal Street Fighter. Dengan begitu, saya berasumsi saya tak lagi perlu memberikan penjelasan tentang apa itu Street Fighter. Sebagai gantinya, saya akan memberikan satu saran. Artikel ini agak panjang, jadi, silahkan Anda cari posisi enak terlebih dulu. Anda juga bisa menyiapkan kudapan atau minuman jika mau.
Jika sudah, silahkan membaca…
Awal Mula Street Fighter: Dari Rasa Bosan
Neccessity is the mother of invention. Dalam kasus Street Fighter, bukan “kebutuhan” yang menjadi alasan di balik game ini diciptakan. Awal dari game Street Fighter adalah dari rasa bosan. Ialah Takashi Nishiyama, yang pernah menjabat sebagai Street Fighter Director di Capcom Jepang.
Dalam satu waktu, dia merasa pertemuan antara tim developer dan tim sales berjalan sangat lama, membuatnya bosan. Untuk mengatasi kebosanannya, dia mengkhayal. Saya yakin, Anda juga pernah mengalami hal serupa. Mungkin saat Anda masih duduk di sekolah atau universitas. Mungkin juga, hal serupa terjadi saat Anda sudah bekerja. Sebagai seorang developer game, khayalan Nishiyama tentu saja masih seputar game.
“Saya ingat saya tidak terlalu memerhatikan meeting yang berlangsung dan justru mencorat-coret ide di kertas,” kata Nishiyama. “Ketika ide Street Fighter muncul di kepala saya, saya menuangkannya di kertas selama meeting.” Kebetulan, dia duduk di sebelah Yoshiki Okamoto, yang merupakan seorang Producer di Capcom. Dia lalu menunjukkan corat-coretnya pada Okamoto, meminta pendapatnya. Okamoto menjawab bahwa ide Nishiyama menarik.
Nishiyama mengungkap, dia mendapatkan inspirasi untuk Street Fighter dari game Spartan X alias Kung-Fu Master, yang ketika itu memang sedang dia garap. “Saya sedang memikirkan boss fight di game Spartan X dan saya pikir, menarik kalau membuat game tentang pertarungan melawan bos tersebut,” ujarnya. “Bisa dibilang, Spartan X adalah dasar dari konsep Street Fighter.”
Nishiyama mengaku, corat-coret yang dia buat selama meeting tidak tersusun rapi. Namun, dia kemudian mengumpulkan semua catatannya dan menjadikannya sebagai dokumen yang koheren. Dia lalu menggunakan dokumen itu untuk meyakinkan para bos Capcom agar mereka mau membuat game Street Fighter.
“Saya lalu menunjukkan dokumen itu pada Matsumoto. Dialah yang merapikan ide saya setelah itu,” ujar Nishiyama. Matsumoto yang dia maksud adalah Hiroshi Matsumoto, Street Fighter Planner, Capcom Jepang. “Setelah itu, dia bertanggung jawab atas semuanya. Saya memang mengawasi proses pengembangan game itu, tapi, Street Fighter adalah game Matsumoto.”
Matsumoto bercerita, setelah Nishiyama menunjukkan idenya akan Street Fighter, dia mulai membayangkan karakter-karakter yang bisa dimasukkan dalam game tersebut. “Saya memikirkan karakter-karakter yang harus kami buat, gaya bertarung dan gerakan mereka,” ungkapnya. “Ketika itu, saya sangat tertarik dengan seni bela diri, walau hanya sebagai hobi. Saya banyak membaca tentang itu. Jadi, saya sangat bersemangat.”
Menurut Nishiyama, salah satu hal yang membuat Street Fighter unik jika dibandingkan dengan game-game lain pada eranya adalah keberagaman karakter yang ada. Selain itu, para karakter di Street Fighter juga memiliki gaya bertarung yang berbeda-beda. “Kita punya tinju, kickboxing, bojutsu, shorinji kempo, dan lain sebagainya,” ujarnya.
“Jika Anda membuat fighting game dan Anda hanya mengadu dua petinju, game itu akan jadi sangat sederhana, tapi juga membosankan. Lain halnya, jika Anda mengadu petinju melawan kickboxer, misalnya, atau seseorang yang belajar shoroinji kempo, Anda akan melihat berbagai kombinasi unik,” kata Nishiyama. Setelah itu, dia bekerja sama dengan Mtasumoto untuk membuat cerita yang lebih kompleks dari para karakter.
Tantangan Dalam Fase Pengembangan
Street Fighter V: Arcade Edition memiliki 28 karakter yang bisa Anda mainkan. Setiap karakter memiliki jurus khusus yang bisa Anda gunakan. Game Street Fighter pertama tidak secakap itu. Selain dari segi grafik, karakter yang bisa Anda mainkan dalam game itu juga jauh lebih sedikit. Faktanya, dalam Street Fighter pertama, Anda hanya bisa memainkan dua karakter: Ryu dan Ken. Sementara karakter-karakter lainnya hanya muncul sebagai musuh. Memang, ketika itu, Ryu dan Ken sudah memiliki special moves. Hanya saja, gerakan para karakter masih sangat kaku.
“Menurut saya, salah satu masalah terbesar dalam membuat game Street Fighter disebabkan karena programmer utamanya bukanlah seorang game programmer,” kata Matsumoto. Dia bercerita, sang programmer utama Street Fighter dulunya adalah seorang teknisi sistem dan bukannya game programmer. Karena itu, dia tidak terlalu paham tentang cara membuat game, bahkan hal-hal dasar sekalipun.
Matsumoto bercerita, hal ini membuatnya kesulitan untuk menyampaikan ide yang dia miliki. Komunikasi begitu sulit sehingga pada akhirnya, dia memutuskan untuk menulis sendiri sebagian kode dari game Street Fighter. “Daripada saya mencoba untuk mengajarkannya cara menulis kode yang saya inginkan, akan lebih cepat jika saya membuat kode itu sendiri,” akunya.
“Sekarang, kita bisa menggunakan berbagai tools untuk membuat animasi. Namun, saat itu, kita harus menggunakan tabel untuk melihat setiap frame animasi dari tiap karakter,” ujar Matsumoto. “Membuat animasi adalah pekerjaan yang membosankan karena Anda harus mengatur setiap frame secara manual. Jika Anda ingin membuat animasi yang bergerak dari satu titik ke titik lain, Anda harus memasukkan semua data secara manual. Dan jika ada revisi, hal itu berarti Anda harus mengulang pekerjaan Anda. Semua itu bukan tugas saya. Tapi, saya tidak punya pilihan lain. Jauh lebih cepat jika saya melakukan semuanya sendiri.”
Meskipun sukses membuat game Street Fighter, Nishiyama masih memiliki satu penyesalan. Dia kecewa karena idenya dan Matsumoto untuk membuat banyak karakter yang bisa dimainkan tak bisa direalisasikan. Karena keterbatasan dana dan waktu, Street Fighter hanya memiliki dua karakter yang bisa dimainkan, yaitu Ryu dan Ken. “Saya ingin menampilkan lebih banyak karakter yang bisa dimainkan,” ujar Nishiyama. “Sayangnya, kami hanya bisa membuat dua.”
Matsumoto memiliki cerita yang sama. Ada banyak karakter yang ingin dia masukkan dalam Street Fighter. Sayangnya, Okamoto lalu memutuskan untuk tidak memasukkan sejumlah ide Matsumoto karena keterbatasan waktu. “Okamoto tertarik dengan pengembangan Street Fighter, walau dia tidak terlibat langsung,” kata Matsumoto. “Dia begitu tertarik dengan proyek itu sehingga dia ikut turun tangan dalam diskusi tentang sensor tekanan yang kami ingin gunakan dalam mesin arcade untuk Street Fighter.”
Mesin Arcade Khusus untuk Street Fighter
Nishiyama bercerita, pada tahun 1980-an, Sega dan Namco mendapatkan untung besar dari bisnis mesin arcade. Ketika Capcom mengetahui hal ini, mereka juga ingin mencoba masuk ke bisnis tersebut. Memang, saat itu, Capcom sudah membuat game dan menjualnya pada operator arcade yang ingin mengganti game pada mesin arcade mereka. Hanya saja, Capcom juga mulai tertarik untuk menjual mesin arcade bersamaan dengan game buatan mereka. Street Fighter dibuat dengan tujuan untuk menunjukkan para operator arcade bahwa Capcom dapat membuat mesin arcade dan game yang unik.
Masalahnya, Capcom tidak mengetahui rahasia Sega dan Namco dalam membuat mesin arcade berukuran besar, yang menjadi produk spesialisasi dari kedua perusahaan itu. Alhasil, Capcom memutuskan untuk membuat mesin arcade yang lebih sederhana dengan fitur unik: tombol yang sensitif pada tekanan. Sayangnya, membuat sensor tekanan tidak mudah. Jadi, Capcom lalu meminta bantuan Atari.
Pada Mei 1987, Capcom mengumpulkan distributor arcade di sebuah gym di Philadephia, Amerika Serikat. Di hadapan para distributor tersebut, Capcom memamerkan Street Fighter beserta mesin arcade dengan desain yang berbeda dari mesin arcade kebanyakan. Mereka sukses membuat para distributor arcade tertarik dengan Street Fighter beserta mesin arcade-nya.
Ketika Street Fighter diluncurkan di arcade, game tersebut hadir dengan mesin khusus. Mesin arcade untuk Street Fighter dilengkapi dengan sebuah joystick dan dua tombol lebar yang sensitif terhadap tekanan. Anda bisa menekan kedua tombol itu untuk melakukan tendangan atau pukulan.
“Idealnya, sensor pada tombol akan bisa mendeteksi seberapa kuat sang pemain menekan tombol tersebut,” kata Nishiyama. “Dan para pemain akan bisa mengeluarkan jurus yang berbeda tergantung pada seberapa kuat mereka menekan tombol itu.”
Masalah Pada Mesin Arcade Street Fighter
Capcom sukses membuat Street Fighter beserta mesin arcade khusus dari game itu. Sayangnya, hal itu bukan berarti Capcom tak menemui masalah baru. Kali ini, masalah Capcom adalah memainkan Street Fighter pada mesin arcade dengan tombol yang sensitif pada tekanan menghabiskan banyak tenaga.
“Tujuan Capcom untuk masuk ke bisnis arcade adalah untuk menjaring banyak konsumen, yang rela menghabiskan uang untuk memainkan game kami sehingga kami bisa mendapatkan untung,” ujar Nishiyama. “Dan kami tidak akan bisa mencapai tujuan itu jika memainkan game yang kami buat membuat para gamer lelah.”
Pada akhirnya, Capcom memutuskan untuk mengubah desain mesin arcade untuk Street Fighter. Mereka mengganti dua tombol yang sensitif pada tekanan dengan enam tombol. Dengan begitu, untuk mengeluarkan jurus yang berbeda, Anda cukup menekan kombinasi tombol yang sama sekali berbeda, tanpa harus mempertimbangkan seberapa kuat Anda menekan tombol tersebut. Keputusan Capcom untuk mengubah desain mesin arcade mereka juga sempat mengalami masalah, khususnya terkait peletakan tombol. Pasalnya, ketika Street Figter pertama kali dirilis, kebanyakan game hanya memerlukan joystick dan dua tombol.
“Kami ingin membuat mesin arcade dengan enam tombol. Kami mendapatkan banyak protes dari tim sales karena mereka khawatir orang-orang tidak akan tahu cara untuk memainkan game dengan enam tombol,” ujar Nishiyama. “Meskipun begitu, pada akhirnya kami tetap meluncurkan mesin arcade dengan enam tombol. Dan kami justru mendapatkan banyak komentar positif dari para konsumen.”
SNK “Membajak” Developer Capcom
Street Fighter pertama memang jadi awal mula dari franchise fighting game tersebut. Namun, ekosistem esports dari Street Fighter baru muncul saat Street Fighter 2 diluncurkan pada 1991. Hanya saja, lagi-lagi, jalan Capcom tak mulus. Tidak lama setelah Street Fighter dirilis, seorang headhunter berhasil meyakinkan Nishiyama untuk meninggalkan Capcom dan bergabung dengan SNK. Seolah itu tidak cukup buruk, Nishiyama juga mengajak Matsumoto dan sebagian besar timnya ke SNK. Hal ini membuat hubungan antara kedua perusahaan memburuk.
Dalam beberapa tahun ke depan, persaingan antara Capcom dan SNK memanas. Kedua perusahaan tidak hanya mengembangkan game yang mirip, mereka juga menyelipkan ledekan dalam game mereka. Menariknya, hubungan antara pekerja Capcom dan SNK justru tidak mengalami masalah. Ada banyak developer dari kedua perusahaan yang berasal dari sekolah yang sama atau bermain di arcade yang sama. Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga masih sering hang out setelah kerja. Bahkan ada seorang developer SNK yang menikah dengan seseorang yang bekerja di Capcom.
“Saya pikir, memang ada persaingan antara SNK dan Capcom pada era 1980-an,” ungkap Nishiyama. “Tsujimoto dari Capcom dan Kawasaki dari SNK pada awalnya merupakan teman. Namun, hubungan mereka memburuk karena ada sesuatu yang terjadi.” Dua orang yang Nishiyama bicarakan adalah Kenzo Tsujimoto, CEO Capcom dan Eikichi Kawasaki, pendiri SNK.
Setelah Nishiyama bekerja di SNK, dia membuat fighting game baru, Fatal Fury. Dia berkata, jika dia bertahan di Capcom, kemungkinan, sekuel dari Street Fighter akan mirip dengan Fatal Fury. Timnya juga terus berusaha untuk mengeksplor cerita dari masing-masing karakter dalam game itu. Dia juga memperkenalkan konsep baru dalam fighting game, misalnya, kemampuan untuk melompat dari background ke foreground atau sebaliknya.
Sementara itu, Capcom membuat sekuel dari Street Fighter. Tim developer untuk Street Fighter 2 dipimpin oleh Yoshiki Okamoto. Dalam sekuel Street Fighter, dia berhasil memperbaiki hampir semua aspek dari game pertama, mulai dari tampilan game, gameplay, sampai jumlah karakter yang bisa dimainkan.
Bagaimana Street Fighter Jadi Game Esports?
Komunitas esports dari Street Fighter mulai muncul setelah Capcom merilis Street Fighter 2. Game itu diluncurkan untuk arcade pada 1991. Satu tahun kemudian, game tersebut bisa dimainkan di konsol. Turnamen grassroots mulai muncul di berbagai arcade lokal, khususnya di Jepang dan pesisir Barat dan Timur dari Amerika Serikat.
Pada 2004, muncul dua pemain bintang di scene esports Street Fighter, yaitu Justin “Marvellous” Wong dan Daigo “The Beast” Umehara. Pertarungan antara keduanya sempat menjadi viral, membuat turnamen Street Fighter menjadi semakin populer. Ketika itu, Daigo menggunakan Ken sementara Justin memainkan Chun-Li. Justin berhasil mendesak Daigo, yang health bar-nya sudah sangat tipis. Namun, Daigo berhasil membalikkan keadaan. Dia tidak hanya berhasil menangkis serangan Justin, dia juga dapat meng-KO lawannya.
Banyak orang percaya, pertarungan antara Daigo dan Justin tersebut membuat banyak orang kembali tertarik tidak hanya dengan turnamen Street Fighter, tapi juga scene esports dari fighting game.
https://www.youtube.com/watch?v=JzS96auqau0
Pada 2008, Capcom merilis Street Fighter 4 untuk arcade di Jepang. Saat itu, banyak fans Street Fighter yang mengira bahwa Capcom tak lagi tertarik dengan franchise tersebut. Tak heran, mengingat terakhir kali Capcom merilis game Street Fighter adalah pada 1999, yaitu Street Fighter III: 3rd Strike. Namun, Producer Capcom, Yoshinori Ono berhasil meyakinkan perusahaan untuk menghidupkan kembali franchsie Street Fighter. Pada 2009, Capcom merilis Street Fighter 4 untuk konsol. Keputusan Capcom tersebut berhasil menghidupkan kembali scene esports dari game tersebut.
“Alasan utama mengapa kami meluncurkan Street Fighter 4 adalah karena banyak media yang membahas game tersebut dan minat fans akan game Street Fighter yang tidak ada habisnya,” kata Ono. “Ketika itu, saya hanya ingin membuat game yang bisa ditonton oleh keluarga saat saya memainkannya. Scene esports Street Fighter sekarang mungkin terlahir dari konsep ini. Namun, ketika itu, saya tidak memiliki rencana sejauh itu.”
Sementara itu, Matt Dahlgren, Product Manager, Capcom mengatakan, melalui Street Fighter 4, Capcom mencoba untuk mengembalikan fitur-fitur dalam Street Fighter 2 yang membuat game itu sangat disukai oleh banyak orang, seperti sistem Focus Attack.
Sejak peluncuran Street Fighter 4, komunitas fighting game terus tumbuh. Evolution Championship Series alias Evo kini menjadi salah satu turnamen fighting game terbesar. Jumlah penonton Evo, baik yang menonton secara langsung langsung maupun secara online, terus naik. Seiring dengan semakin populernya Evo, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor dari turnamen itu.
Semakin populernya turnamen fighting game menarik perhatian sejumlah publisher game. Sebagian dari mereka memutuskan untuk memasukkan game mereka dalam kompetisi seperti Evo. Dan ketika Capcom mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan penerus dari Street Fighter 4, para pemain profesional dan penyelenggara turnamen sibuk untuk mengembangkan scene esports dari fighting game agar menjadi semakin profesional.
Pada 2013, Capcom mengungkap bahwa mereka akan meluncurkan liga profesional premier sendiri, yaitu Capcom Pro Tour. Kompetisi tersebut akan melibatkan sejumlah turnamen internasional yang disponsori oleh Capcom. Saat Capcom merilis Street Fighter 5 pada 2016, Capcom memanfaatkan momentum untuk mengembangkan komunitas Street Fighter.
Penutup
Street Fighter sukses menjadi salah satu franchise game paling sukses. Sekarang, komunitas esports dari game ini juga terus berkembang. Berbagai turnamen Street Fighter ada di skala global, menarik banyak sponsor. Hal ini akan membuat ekosistem esports Street Fighter dapat bertahan. Dan esports bisa menjadi alat marketing yang baik bagi sebuah game untuk menarik gamer baru.
Sumber: Polygon, RedBull, The Esports Observer
Sumber header: PlayStation