Artikel ini saya update di 25 Januari 2021 saat saya menemukan masalah dengan keyboard ini.
Saya masih ingat betul beberapa tahun silam ketika sejumlah produsen periferal gaming berlomba-lomba merilis keyboard gaming mechanical-nya masing-masing. Razer merilis Blackwidow di tahun 2010. SteelSeries sendiri juga sudah meluncurkan keyboard gaming mechanical generasi pertama mereka lewat 7G (2008) dan 6Gv2 (2011) — koreksi saya tahun rilisnya jika salah.
Karena kebetulan kala itu saya juga sudah bekerja di sebuah majalah PC gaming, saya juga sempat mereview hampir semua keyboard gaming mechanical generasi awal — setidaknya yang masuk ke Indonesia. Saat itu, keyboard gaming mechanical sedikit membosankan karena semuanya menggunakan switch dari Cherry MX — seperti Blackwidow yang menggunakan Cherry MX Blue ataupun 7G yang menggunakan Cherry MX Black.
Namun demikian, penggunaan switch mekanikal tadi memang sungguh revolusioner buat para gamer PC. Saya masih ingat betul betapa kagum saya dengan kecepatan respon yang ditawarkan oleh SteelSeries 7G. Berhubung dari 2008 saya juga sudah jadi penulis/jurnalis, mengetik dengan menggunakan Cherry MX Blue juga menjadi sebuah nikmat yang tak dapat didustai.
Beberapa tahun berselang, produsen periferal gaming pun merilis beberapa keyboard mereka dengan mechanical switch-nya masing-masing. Salah satunya adalah SteelSeries Apex 7 ini, yang baru saya beli beberapa hari yang lalu. Maksudnya bukan hanya pamer (wkakwkakaw) tapi review ini bukan barang kiriman/pinjaman.
Sebelum kita masuk ke beberapa aspek di review SteelSeries Apex 7 kali ini, saya harus memberikan penafian bahwa semua review gaming periferal tentu saja sangat subjektif — tergantung dari reviewer-nya. Pasalnya, komponen/hardware PC punya software atau benchmark yang bisa dijadikan acuan objektif. Namun tidak demikian dengan periferal PC. Belum lagi ukuran tangan, kecepatan mengetik, kecakapan bermain game, perangkat yang biasa digunakan, dan lain sebagainya tentunya akan berbeda-beda untuk setiap orang.
Oleh karena itu, semoga pengalaman saya mereview puluhan periferal gaming dan menggunakan belasan produk SteelSeries (baik itu beli sendiri ataupun kiriman barang review) sejak 2008 bisa menjadi justifikasi untuk memberikan penilaian yang cukup fair untuk SteelSeries Apex 7 ini.
Bodi dan Fisik
Untuk bodi Apex 7 ini, ia terlihat cukup seksi dan menawan. Ia cukup ramping meski saya membeli yang versi full size (bukan TKL). Tidak ada frame yang terlalu lebar dan juga tak ada tombol khusus makro (yang biasanya di sebelah kiri tombol CAPS LOCK dan Tab) membuatnya ideal bagi Anda yang mungkin tak punya meja berukuran besar.
SteelSeries juga menggunakan metal frame yang disebut aircraft grade aluminum alloy untuk fondasi dari keyboard yang satu ini — sama seperti yang digunakan di versi yang lebih mahal, Apex Pro. Saat saya pegang sendiri, bahannya memang terasa sangat solid dan durable. Kecuali Anda memang atlet pencak silat yang suka mematahkan batu bata, saya rasa frame dari Apex 7 ini tidak akan mudah dipatahkan. Untuk harganya yang mungkin cukup premium untuk sebagian orang (Rp2,6 jutaan), build quality Apex 7 ini saya rasa cukup sepadan.
Ia juga dilengkapi dengan wrist rest yang cukup nyaman. Sebelum menggunakan keyboard ini persis, saya menggunakan Razer Ornata yang juga memiliki bantalan pergelangan tangan. Namun bantalan Ornata tadi terbuat dari busa yang dilapisi karet kulit, yang kempes busanya dan terkelupas kulitnya sebagian saat saya gunakan lebih dari satu tahun. Wrist rest dari Apex 7 ini harusnya akan lebih awet karena memang tidak menggunakan busa dan kulit. Meski begitu, ia tetap menggunakan lapisan yang halus dan sangat nyaman digunakan untuk berlama-lama. Saya bisa mengetik dan bermain game selama 8 jam terus menerus dengan Apex 7 ini tanpa merasa pegal ataupun sakit dengan dudukannya.
Kenyamanan dan Kecepatan Tombol
Seperti yang saya tuliskan di bagian awal artikel ini, meski pilihan switch-nya adalah Red dan Blue (saya tidak menemukan opsi Brown di beberapa toko saat ingin membeli), Apex 7 tidak menggunakan Cherry MX. Keyboard ini menggunakan switch-nya sendiri (SteelSeries QX2 Mechanical RGB Switch). Hal ini mungkin bisa jadi membingungkan buat sebagian orang. Jujur saja, saya lebih suka penamaan switch mekanikal dari Razer (Green, Orange, Yellow) karena jadi tidak membingungkan dengan sistem penamaan yang sudah digunakan Cherry MX.
Saya pun membeli yang Blue Switch, yang tactile (yang berbunyi klik saat dipencet). Saat digunakan untuk bermain game, tombol-tombolnya sangat nyaman digunakan dan responnya pun cepat. Kenyamanan dan kecepatan tombolnya sungguh sempurna untuk bermain game — setidaknya saya tidak menemukan masalah apapun. Responnya jelas lebih cepat dari keyboard yang masih menggunakan membran dan sesuai ekspektasi saya atas produk SteelSeries.
Namun demikian, jika digunakan untuk mengetik, jujur saya lebih suka dengan Blue Switch dari Cherry MX karena feel-nya terasa lebih mantap. Tentunya hal ini bisa jadi pertimbangan sendiri untuk Anda. Saya tahu Apex 7 memang dibuat untuk bermain game namun saya kira kebanyakan orang tidak akan memiliki 2 keyboard, satu khusus untuk bermain dan satu lagi khusus untuk mengetik.
Mengingat ini juga bukan switch dari Cherry MX, saya pun belum bisa berbicara banyak soal durabilitasnya. Untuk keyboard yang menggunakan Blue Switch dari Cherry MX yang pernah saya miliki, saya bisa menggunakan keyboard tersebut lebih dari 3 tahun tanpa masalah — sampai saya bosan sendiri dan ingin ganti. Mungkin, jika saya tidak lupa, saya akan meng-update artikel ini satu tahun setelah saya menggunakannya atau setelah saya menemukan masalah dengan tombol-tombolnya.
Update 25 Januari 2021: Switch untuk tombol Enter yang ada di keyboard ini sudah tidak berfungsi normal meski belum satu tahun saya gunakan — tanggal pembelian saya 27 Mei 2020. Memang keyboard ini diklaim menawarkan garansi 1 tahun dari tanggal pembelian, saya tidak tahu apakah masalah yang saya alami ini mencakup aturan main garansi dari SteelSeries.
Misalnya pun masih masuk garansi, jujur saja, saya sebenarnya malas mengurus hal-hal semacam ini karena membuang waktu saya. Saya lebih berharap dengan membeli keyboard premium, saya tak perlu dipusingkan dengan masalah peripheral yang rusak.
SteelSeries memberikan klaim bahwa switch Apex 7 ini bisa bertahan sampai dengan 50 juta kali pencetan. Dibandingkan dengan produsen lainnya, switch dari Razer diklaim mampu bertahan sampai dengan 80 juta kali. Sedangkan Logitech malah tidak menyebutkan berapa kali switch-nya bisa bertahan.
Jika boleh jujur, saya sebenarnya sedikit menyesal membeli Apex 7 ini. Bukan karena keyboard ini mengecewakan juga tapi karena Apex Pro dibanderol dengan harga yang tidak jauh berbeda. Saat artikel ini ditulis, Apex Pro dibanderol di kisaran harga Rp3 juta. Jadi, selisih harganya hanyalah Rp400 ribuan antara Apex 7 dan Apex Pro. Selisih harga ini mungkin saja tidak berarti buat orang-orang yang mampu membeli keyboard seharga Rp2,5 juta ke atas.
Memang salah saya juga sih yang kelewatan cek harga SteelSeries Apex Pro. Waktu saya ingin membeli Apex 7 ini, saya justru lebih membandingkan harganya dengan Razer Huntsman Elite (Rp4,5 juta) dan Corsair K95 RGB Platinum XT (Rp3,5 juta). Kedua produk tadi adalah flagship dari Razer dan Corsair. Makanya, awalnya saya kira Apex Pro yang merupakan flagship dari SteelSeries akan berada di kisaran harga yang setara dengan dua produk tadi. Saya baru menyadari setelah membelinya, ternyata saingan terberat produk ini justru datang dari saudaranya sendiri.
Dengan harga Rp400 ribu lebih mahal, Anda bisa mendapatkan Apex Pro yang super canggih karena kecepatan dan kedalaman switch tombolnya bisa disesuaikan dengan selera Anda. OmniPoint Switch yang digunakan di SteelSeries Apex Pro juga diklaim mampu bertahan sampai dengan 100 juta pencetan. Jadi, ada yang mau bayarin Apex 7 saya? Sebelum saya ganti ke Apex Pro? Wkwkwkwkkw…
Fitur Tambahan SteelSeries Apex 7
Ini aspek terakhir yang akan saya bahas di review kali ini. Apex 7 memiliki beberapa fitur tambahan yang cukup menarik sebenarnya. Ada USB passthrough port, ada cable routing di bagian bawah keyboard, dan ada juga beberapa tombol untuk fungsi multimedia di bagian kanan atas.
Dari 3 fitur tadi, yang berguna buat saya hanyalah tombol volume multimedianya. Saya sudah menggunakan casing dengan 4 port USB di depan dan saya sudah punya banyak cable ties dan velcro untuk merapihkan kabel. Namun demikian, mungkin saja, fitur-fitur tambahan tadi bisa berguna buat Anda.
Selain itu, Apex 7 juga menawarkan layar OLED meski sayangnya tidak secanggih yang saya bayangkan. Jika Anda bermain CS:GO ataupun Dota 2, layar OLED nya bisa digunakan untuk menampilkan beberapa informasi menarik seperti KDA. Anda bisa membaca sendiri hal-hal apa saja yang bisa dilakukan dengan layar OLED tadi di blog resmi dari SteelSeries.
Buat saya pribadi, sayangnya, saya adalah tipe gamer yang lebih suka menyelesaikan singleplayer campaign — saat ini saya sedang bermain XCOM: Chimera Squad, setelah baru saja menyelesaikan Assassin’s Creed Odyssey sampai 100%. Atau, saya juga lebih berharap layar OLED nya bisa menampilkan informasi suhu CPU, GPU atau monitoring jeroan lainnya. Jadinya, saya hanya bisa memanfaatkan layar OLED tadi untuk GIF saja.
Selain itu, di sini saya juga ingin membahas soal SteelSeries Engine. Buat sebagian besar orang, software dari gaming peripheral mungkin memang tidak diperhatikan. Namun saya suka saja iseng bermain-main dengan fungsi makro. Sayangnya, jika saya membandingkan fungsi makro antara SteelSeries Engine (versi 3.17.8) dan Razer Synapse (versi 3.5.531) — sama-sama update terbaru saat artikel ini ditulis — Razer lebih unggul.
Karena Razer Synapse bisa merekam pergerakan mouse — bukan hanya tombol-tombol yang dipencet. Karena itu, dengan Razer Synapse, saya bisa menetralisir recoil di game FPS. Di luar itu, SteelSeries Engine sebenarnya juga tidak jelek dan sangat lengkap fungsi makronya. Anda bisa merekam tombol mouse di keyboard, mengganti delay antar tombol, dan mengedit sendiri makro yang sudah di-record. Saya berani bertaruh untuk berkata bahwa SteelSeries Engine adalah salah satu yang terbaik soal fungsi makro — meski sayangnya tadi ada satu fitur dari Razer Synapse yang tak ada di sini.
Terakhir, untuk urusan RGB, Apex 7 dan SteelSeries Engine juga cukup komprehensif. Saya saja sungguh kewalahan dengan konfigurasi lampu-lampu yang ada untuk Apex 7 — mengingat juga saya sebenarnya lebih tertarik dengan memainkan fitur makro ketimbang lampu-lampu RGB.
Kesimpulan
Jadi, apakah Apex 7 ini layak dibeli? Jika saya tidak mengalami masalah dengan keyboard ini, Apex 7 sangat menyenangkan untuk digunakan. Sayangnya, saya salah satu orang yang tidak beruntung. Saingan ketatnya justru datang dari saudaranya sendiri, Apex Pro. Jika selisih harga Rp400 ribu tidak jadi masalah untuk Anda, Apex Pro lebih menggiurkan untuk dibawa pulang. Sedangkan untuk saingannya yang punya banderol harga sedikit lebih murah, mungkin datang dari Corsair K70 RGB MK.2 yang menggunakan switch Cherry MX.
Namun demikian, sentimen di dunia maya untuk Apex 7 lebih positif ketimbang Corsair K70 RGB MK.2. Jika tidak percaya silakan googling “SteelSeries Apex 7 problems” dan “Corsair K70 RGB MK.2 problems“. Meski begitu, sentimen ini mungkin juga tidak bisa dijadikan satu-satunya tolak ukur soal durabilitas.
Satu hal yang pasti, saya sangat puas menggunakan Apex 7 ini — meski memang punya beberapa kekurangan dan sedikit menyesal melewatkan Apex Pro…
Spesifikasi SteelSeries Apex 7