Kita mengenal KPI (Key Performance Indicator) sebagai alat pengukur pencapaian target dalam sebuah proyek ataupun pekerjaan. Lalu apakah yang menjadi KPI pada social media? Jawaban dari pertanyaan ini mungkin akan menjadi penentu yang membuat banyak agency bisa fokus dengan tenang untuk mengeksekusi permintaan dari klien-klien mereka.
Dalam proyek apapun selalu dibutuhkan alat ukur untuk bisa menentukan sebuah pencapaian, demikian juga proyek-proyek berbasis social media. Jika sebuah brand ingin mengukur tingkat awareness sebuah brand setelah dilakukan campaign, maka brand tersebut selayaknya ingin tahu seberapa banyak brand mereka dibicarakan di media. Atau jika si brand ingin mengetahui seberapa besar sebuah aktivitas pada social media bisa dikonversikan pada penjualan, ya tentunya butuh alat ukur tambahan lagi, begitu seterusnya.
Pengukuran yang paling mudah pada social media platform yang ada adalah dari apa yang tersedia pada masing-masing layanan, misalnya jumlah followers pada Twitter ataupun seluruh parameter yang ada pada Facebook’s insight. Namun yang menjadi masalah adalah, data-data yang tersedia ini kadang bukanlah data-data yang bisa dijadikan alat ukur yang pas. Misalnya jumlah follower tidaklah bisa langsung dijadikan alat pengukur suksesnya sebuah campaign, bahkan untuk brand awareness sekalipun.
Pencapaian jumlah follower yang signifikan dalam target waktu tertentu seharusnya ditambah dengan jumlah buzz pada brand tersebut, untuk bisa sedikitnya diketahui seberapa ‘masuk’ campaign tersebut pada para followers. Minimnya pengetahuan tentang teknik dan target pengukuran ini membuat semua aktivitas diukur berdasarkan alat ukur yang tersedia, tanpa berusaha untuk melakukan usaha lebih jauh dengan menggunakan beberapa alat ukur untuk bisa mendapatkan hasil yang jauh lebih akurat dan sesuai dengan hasil yang diinginkan.
Secara garis besar hal-hal yang krusial untuk diukur dalam sebuah aktivitas pada social media terbagi dalam dua faktor, yaitu:
- Buzz atau dalam bahasa yang sederhana adalah seberapa banyak aktivitas ini dibicarakan. Dalam konteks ke-PR-an hal ini sangatlah penting.
- Sentimen, jika jumlah pengikut sudah terukur, jumlah buzz juga sudah bisa terlihat maka percakapan dengan konteks aktivitas yang sedang diukur pun jadi hal yang penting. Bayangkan jika jumlah pengikut membludak, jumlah buzz terhadap kata kunci tertentu melonjak tinggi, namun ketika diukur 70% dari percakapan tersebut justru isinya menggugat, mencela dan menjelekkan campaign Anda. Apakah bisa dikatakan sebuah pencapaian yang baik?
Turunan dari dua poin di atas masih ada beberapa lagi, dan saya yakin ini bisa terus berkembang dengan kemampuan kita untuk meramu sebuah konklusi agar bisa didapat hasil yang akurat. Dan pada akhirnya memang KPI pada social media bukanlah sesederhana mengejar target jumlah follower, walaupun ada argumentasi yang menyebutkan semakin banyak follower maka persentasi probabilitas sebuah campaign untuk dilihat jadi lebih besar. Well, kita butuh sesuatu yang lebih konkrit dibandingkan hanya jumlah follower, yang ujung-ujungnya bisa didapatkan dengan membelinya dari provider-provider follower yang muncul bagai jamur. 🙂
Abang Edwin adalah seorang praktisi online community management sejak tahun 1998 jauh sebelum istilah social media/social network muncul di dunia internet. Ia memulai perjalanan eksperimentasinya dengan beberapa komunitas online yang akhirnya berkembang sukses pada saat itu, sampai saat ini ia pun masih memberikan konsultasi-konsultasi mengenal karakter dan membina komunitas online bagi brand/agency maupun perseorangan.
Ia sempat bekerja di Yahoo! selama lebih dari 4 tahun sebagai community manager. Dan kini posisi terakhir yang dijabatnya adalah Country Manager – Indonesia untuk Thoughtbuzz.net, sebuah perusahaan social media monitoring.
[Gambar]