Lima tahun lalu, pemerintah Indonesia pernah menargetkan penerapan jaringan 5G di 2020. Sekarang sudah memasuki 2020, tapi komersialisasi ini belum juga terjadi. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, layanan 5G kini sudah mengudara.
Jangankan komersialisasi, regulasinya pun belum ada. Yang publik tahu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saat ini masih menggodok aturan dan turunannya. 5G diestimasi meluncur lima tahun dari sekarang.
Salah satu yang masih digodok adalah frekuensi yang akan digunakan untuk mengimplementasi jaringan 5G. Pita 700MHz yang digadang menjadi spektrum kunci, belum terbebas dari TV analog. Sementara, migrasi TV analog ke digital baru akan dilaksanakan di 2024.
Secara timeline, rencana ini terdengar cukup realistis. Pasalnya, ekosistem untuk mendukung pengembangan teknologi 5G di Indonesia belum ada. Intinya, masih sangat panjang perjalanan untuk menuju ke sana.
Menkominfo Johnny G. Plate bahkan meminta agar kita tidak usah terburu-buru meminta 5G untuk segera dikomersialisasikan. “Trial-nya saja belum selesai,” begitu katanya sebagaimana dikutip Detik.
Sudah perlukah kita 5G?
Tapi bisa jadi lima tahun bukan waktu yang lama di era persaingan global dan masifnya perkembangan teknologi. Belum lagi bicara revolusi Industri 4.0. Jika kita lengah sedikit, kita akan jauh tertinggal–setidaknya dari negara tetangga.
Lagipula, 5G bukan lagi bicara soal bagaimana kita bisa streaming tanpa buffering atau mengunduh film tanpa perlu ditinggal pulang seharian. Teknologi seluler generasi kelima ini dapat menjadi game changer bagi kehidupan manusia, industri dan perekonomian negara.
5G menjanjikan kecepatan luar biasa–meski belum terbukti–yang salah satunya adalah melakukan transfer data sebesar 800 Gbps. 5G juga dapat menangani ribuan perangkat dan sensor secara bersamaan. Maka tak heran 5G disebut sebagai protokol telekomunikasi tercepat.
Yang paling diuntungkan dengan implementasi 5G bukanlah kita pelanggan data dan seluler, melainkan industri. Lebih lagi, sektor manufaktur sebagai penopang utama ekonomi negara.
Pemanfaatan Internet of Things (IoT), automasi, big data hingga analisis secara real time pada industri manufaktur disebut dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi yang besar. Berlapis-lapis proses bisnis yang biasanya dilakukan secara manual dapat sepenuhnya dijalankan dengan automasi.
Firma konsultan A T Kearney, seperti dikutip dari Business Times, memprediksi bahwa penerapan 5G membawa dampak dahsyat terhadap sektor industri di Asia tenggara sebesar US$147 miliar pada 2025.
Dari angka tersebut, senilai US$81 miliar bakal disumbang oleh industri perdagangan, transportasi dan keuangan. Kemudian nilai tersebut bakal bertambah lagi US$59 miliar jika sektor manufaktur memanfaatkan Internet of Things (IoT).
Secara realistis, Indonesia memang belum membutuhkan 5G. Pertama, penyebaran infrastruktur telekomunikasi kita masih belum merata. Penetrasi internet saja belum 100 persen. Masih banyak yang sampai sekarang menggunakan ponsel 2G.
Kedua, ekosistem pendukung, seperti pabrik perakit dan perangkatnya, belum siap. Kalau memang ingin membangkitkan industri dalam negeri, kita harus pikirkan siapa yang akan mengembangkannya–tak mungkin bergantung pada luar negeri.
Ketiga, kita belum memiliki contoh kasus atau use case yang tepat untuk diimplementasikan. Jadi buat apa repot implementasi yang biaya switching teknologinya saja sudah mahal.
Belum lagi soal literasi dan adopsi teknologi. Yang patut menjadi concern–kalau memang sasarannya sektor industri–adalah bagaimana mereka memandang pentingnya implementasi teknologi dalam proses bisnis.
Pemerintah bahkan belum dapat memastikan kapan idealnya 5G diterapkan di Indonesia. Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo Ismail mengungkapkan ada banyak masalah teknis yang perlu dibahas lebih dalam.
Menurut Ismail, implementasi 5G bukan hanya masalah ketersediaan frekuensi, tetapi juga kesiapan ekosistem dan monetisasi infrastruktur 5G yang dibangun. “Jadi saat ini kita masih fokus pada uji coba bersama para operator,” tuturnya kepada DailySocial.
Ledakan konsumsi data
Sebagaimana disampaikan di awal, 5G merupakan investasi untuk bersaing di pasar global. Kita tidak perlu mengulang ketika 3G masuk Indonesia dan butuh waktu lebih dari 10 tahun untuk mendorong penetrasinya.
Pembangunan ekosistem sebagai langkah awal layak menjadi prioritas pemerintah jika ingin tetap konsisten dengan visi ekonomi digitalnya. Dan sektor industri dapat dilibatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital, tak hanya startup dan korporat saja.
Di sisi lain, urgensi untuk menerapkan 5G semakin tak terelakkan mengingat konsumsi data internet di Indonesia terus meningkat. Dengan populasi mencapai lebih dari 250 juta, ledakan data dapat terjadi sejalan dengan semakin masifnya tren penggunaan layanan berbasis video.
Di era di mana konten bergerak menjadi primadona, ratusan juta orang streaming video dan musik secara bersamaan. Peningkatan konsumsi data yang sangat masih disebut dapat mengganggu pita spektrum yang semakin padat.
Hal ini diamini oleh Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia Teguh Prasetya saat menyoroti urgensi implementasi 5G. Menurutnya, permintaan pengguna terhadap aplikasi yang membutuhkan bandwidth tinggi, latensi rendah dan kecepatan tinggi akan meningkat dalam tiga tahun ke depan. Ini tak hanya di lingkungan perumahan saja, tetapi juga kawasan industri dan kota besar.
Hal lain yang disoroti adalah kesiapan dari ekosistem terkait, mulai dari penyedia perangkat, jaringan, aplikasi, maupun konten. Kesiapan ini berkaitan dari sisi investasi, baik dari belanja modal, biaya operasional dan SDM.
Maka itu, lanjut Teguh, pemerintah perlu mempertimbangkan penumbuhan ekosistem pendukung dalam negeri, mulai dari penyedia teknologi, sistem integrator, komunitas dan produsen dalam negeri yang dapat berperan dalam pengembangan 5G di Tanah Air.
“Menilik dari tiga hal di atas, saat ini tentunya konsentrasi dan prioritas utama kita adalah penyebarluasan broadband hingga semua lapisan masyarakat di Indonesia dengan mengoptimalkan teknologi 4G yang sudah ada di samping juga fixed broadband lainnya,” ungkapnya.
Optimalisasi use case
Sementara itu, Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li menyoroti pentingnya use case yang tepat pada implementasi 5G. Ia menekankan penciptaan use case yang tidak mudah digantikan 4G atau teknologi pendahulunya.
Sebagai contoh, aktivitas streaming. Teknologi 3G dikembangkan untuk bisa menjalankan streaming, sedangkan teknologi 2G hampir tidak untuk melakukan hal ini.
Namun, dalam konteks pengembangan IoT, ia menilai masih banyak developer yang menganut konsep pengembangan produk yang teknologinya dapat tersubtitusi.
“Mereka masih menerapkan konsep ‘best with 5G but work over 4G or 3G‘. Karena apabila mereka cuma memikirkan menciptakan teknologi yang dapat digunakan 5G, maka penetrasi pasar akan sangat lambat,” ucap Kenneth kepada DailySocial.
Konsep di atas yang menurutnya dinilai dapat memperlambat pertumbuhan 5G, terutama yang use case-nya berkaitan dengan IoT. Maka itu, ia menekankan untuk mengembangkan use case sesuai dengan kegunaan teknologi pada zamannya.
“Dengan semakin banyak use case primary seperti tadi, ke depannya [pengembangan use case] saya rasa akan baik,” tambahnya.