Suka atau tidak, popularitas platform streaming seperti Spotify telah mengubah kondisi industri musik. Statistik dan data kini jadi semakin berarti, dan software macam Chartmetric eksis untuk membantu label rekaman menemukan artis-artis berbakat.
Masalahnya, kalau menurut Ankit Desai yang pernah bekerja di Universal Music Group, mayoritas label masih menganut cara lama. Cara lama yang dimaksud adalah mencari artis berdasarkan rekomendasi manusia, bukan rekomendasi mesin seperti yang ditawarkan Chartmetric.
Alhasil, seandainya ada musisi berbakat dari Indonesia, kecil kemungkinan dunia bisa mengenalnya karena ia tidak terikat dengan label manapun, demikian Ankit mencontohkan. Dari situ dia memutuskan untuk mendirikan labelnya sendiri, Snafu Records. Apa yang membuat Snafu Records berbeda? Mereka memadukan kecanggihan mesin dan sumber daya manusia sekaligus.
Senjata utama Snafu pada dasarnya merupakan algoritma berbasis AI. Setiap minggunya, algoritma tersebut menganalisis sekitar 150.000 lagu dari artis-artis tak berlabel di platform seperti SoundCloud, YouTube dan Instagram. Lagu-lagu tersebut kemudian dievaluasi berdasarkan engagement dan sentimen para pendengarnya, serta kemiripannya dengan lagu-lagu yang populer di Spotify.
Hasil analisisnya kemudian dikerucutkan lagi menjadi 15 – 20 lagu setiap minggunya. Di titik itu, giliran tim manusia yang turun tangan langsung. Artis-artis yang terpilih pada akhirnya akan dihubungi dan ditawari kontrak yang durasinya lebih singkat ketimbang kontrak label rekaman pada umumnya.
Snafu memang baru saja diresmikan, namun mereka sejauh ini sudah mengamankan total pendanaan sebesar $2,9 juta dari sejumlah investor. Snafu juga sudah menggaet 16 musisi; salah satunya Mishcatt, musisi jazz yang salah satu lagunya yang berjudul “Fades Away” telah di-stream sebanyak 5 juta kali hanya dalam kurun waktu lima minggu sejak dirilis.
Sumber: TechCrunch. Gambar header: Fixelgraphy via Unsplash.