Kata agile semakin dikenal sejak startup digital menggeliat. Namun kata ini mengalami difusi semantik karena pemahaman yang kurang. Celakanya, sering di-abuse untuk tujuan yang salah oleh kalangan tertentu. Agile sebetulnya bisa diterapkan dengan utuh apabila menggunakan teknik, dikenal dengan design sprint.
Teknik kerja ini ditemukan oleh Jake Knapp, Design Partner GV (dulu bernama Google Ventures). Sejak itu, gerilya Google, lalu diikuti perusahaan teknologi besar lainnya, sukses dalam meluncurkan produk yang bisa diterima masyarakat luas dalam waktu yang relatif singkat.
Kepada DailySocial, Head of Department Digital Growth Asset Telkomsel Wisnu Ario Supadmono memaparkan design sprint adalah suatu cara teknik kerja untuk menjawab pertanyaan kritikal dalam bisnis dan inovasi melalui desain, prototyping dan menguji ide ke pengguna agar langsung mendapatkan masukan.
Tujuan melakukan design sprint adalah mempercepat proses kerja saat menemukan ideation yang biasa dipakai dalam metode kerja tradisional. Inilah penyebab dari cara kerja tradisional, membuat pengembangan produk di berjalan lambat, sebab harus dipelajari. Tidak bisa langsung di tes ke pengguna.
Design sprint memungkinkan hal tersebut. Produk bisa langsung di coba oleh pengguna dalam jumlah terbatas, melalui prototipe yang menyerupai produk asli. Setelah diuji, produk akan dapat masukan dan bisa langsung segera diperbaiki karena sudah menemukan titik masalahnya ada di mana. Di sini istilah “success fast or fail fast” dapat langsung dibuktikan.
“Inilah mengapa Google bisa bergerak cepat dan produknya bisa langsung diterima di masyarakat, sebab mereka pakai teknik ini,” kata Wisnu.
Perusahaan yang menerapkan cara kerja tradisional biasanya butuh waktu berbulan-bulan untuk mengembangkan sebuah produk dan mengujinya ke pasar. Kisarannya antara enam bulan sampai setahun, tergantung kompleksitasnya. Akan tetapi, jika menerapkan design sprint, perusahaan hanya butuh maksimal satu minggu untuk langsung tes ke pasar.
Tentunya bagi perusahaan ini sangat efisien karena tidak perlu mengeluarkan ongkos pengembangan lebih. Bahkan dalam kurun waktu tersebut, prototipe (menyerupai produk asli) bisa langsung diuji ke pengguna guna mengetahui apakah mereka suka atau tidak.
Syarat design sprint
Sebelum terjun ke design sprint, ada persyaratan yang harus dipahami. Perlu diikuti antara tujuh sampai sembilan orang dalam satu tim, dengan latar belakang yang berbeda-beda, memerlukan designer, engineer, pebisnis, decision maker dan terpenting dipandu oleh fasilitator (sprint master).
Sprint master adalah sosok yang memfasilitasi supaya proses design sprint itu terjadi. Ia pulalah yang menentukan butuh waktu berapa lama design sprint dilakukan karena melihat dari kebutuhan berbagai stakeholder. Sprint master juga dituntut punya pengalaman mengenai user experience yang paham saat memberikan suatu produk sebaiknya harus seperti apa. Ia juga perlu memiliki sertifikasi resmi.
Setidaknya, anggota yang masuk dalam design sprint adalah orang-orang yang sudah terlibat dalam proyek sebelumnya atau punya pemahaman yang sama.
“Sprint master yang disertifikasi dengan yang tidak ada perbedaannya. Sebaiknya perlu disertifikasi karena dia akan running dari nol sampai ada prototipe, dari ide besar sampai bisa diujicoba ke pelanggan. Itu semua di-running dalam design sprint dan difasilitasi oleh sprint master.”
Wisnu sendiri sudah mengantongi sertifikat sprint master dari Sprint Creator di Berlin, Jerman.
Rangkaian fase design sprint
Ada lima tahap yang terjadi dalam satu siklus design sprint. Pada hari pertama, masuk ke fase perkenalan (introducing). Dalam hari tersebut, semua orang harus berkenalan dan menyepakati bersama apa gol ingin yang didapat dari design sprint ini.
Masalah besar apa yang mau mereka selesaikan? Bila sudah, lalu apa hambatan yang akan timbul apabila mengambil gol tersebut. Itu semua dirumuskan secara bersama-sama agar semua orang ada di jalur yang sama.
Selanjutnya, masuk ke fase pemahaman (understanding) ditandai dengan mengundang orang ahli yang mampu menjelaskan seputar masalah besar yang ingin dipecahkan. Dari sini diharapkan semua anggota sudah memiliki pemahaman yang sama soal gol, tantangan, memasang KPI dan target kapan produk dirilis.
Masuk ke hari kedua, disebut fase ideation. Di sini semua anggota wajib mengeluarkan seluruh ide, mulai dari ide kecil sampai besar. Menariknya, ada teknik bagaimana mengeluarkan banyak 70 ide dalam waktu satu jam, disebut Crazy 8.
Artinya, tiap orang memberikan delapan ide dalam 15 menit atau paling lama satu jam. Misalnya ada delapan anggota dalam satu tim, maka dalam kurun waktu satu jam akan mengumpulkan 64 ide.
“Dari semua ide yang keluar akan timbul ide besarnya seperti apa. Semua orang harus kasih ide sebab tidak ada ide yang tidak baik.”
Hari ketiga berlanjut dengan fase pemilihan ide yang didapat kemarin. Semua anggota boleh memilih ide asalkan sesuai dengan gol yang sudah disepakati bersama. Dari sini akan keluar ide besar yang akan dikerjakan.
Bila diperhatikan, tahap munculnya ideation ini justru tidak dilakukan di hari pertama. Di sinilah perbedaaan yang paling mencolok antara design sprint dengan cara kerja tradisional. Jika ideation dilakukan pertama kali pertemuan, justru akan menjadi liar karena pemahaman gol yang berbeda.
“Kalau ideation duluan, jadinya [ide yang keluar] liar karena belum satu pemahaman. Sementara design sprint, sebelum dimulai, semuanya harus sama-sama memahami apa yang akan dibuat. Semua orang dalam tim harus memiliki pemahaman yang sama.”
Berikutnya di hari keempat, adalah fase prototyping membuat mock up produk yang akan diujicoba ke pengguna. Apabila prototipe yang dibuat adalah aplikasi, ada tools yang bisa dimanfaatkan dan bisa selesai dalam satu hari. Di antaranya memakai Marvel, Figma dan Principle.
Akhirnya masuk ke hari terakhir, hari kelima. Inilah saatnya mock up produk diujicoba langsung ke pengguna dalam jumlah terbatas. Ketika ada masukan, entah itu positif atau negatif, bisa langsung diperbaiki pada saat itu juga.
Dalam rangkaian lima hari, tim sudah dapat mendapat pembelajaran, sudah punya prototipe, ide berikutnya yang bisa dilakukan, dapat tahu di titik mana konsumen tidak suka atau suka dan sebagainya. Seluruh informasi ini tidak bisa didapat sama sekali ketika memakai cara tradisional.
Design sprint 2.0
Dalam upgrade dari design sprint ini, tidak ada perbedaan mencolok. Hanya waktu penyelesaian design sprint yang lebih singkat menjadi empat dari. Tidak ada fase yang dihilangkan, tapi justru dirapatkan tanpa mengurangi kualitasnya.
Fase ideation dan pemilihan ide digabung menjadi satu hari. Sementara di design sprint 1.0, keduanya dipisah ke dua hari yang berbeda. Sisanya tidak ada yang berbeda. Istilah 2.0 ini adalah resmi yang dipakai secara global. Sementara apabila ditemukan versi di atas itu, hanya sebatas modifikasi secara personal saja.
Apakah ada pertanda kapan versi 2.0 sebaiknya ini dilakukan? Tergantung dari kesiapan waktu dari anggota tim. Pun, bagaimana sprint master mengatur alokasi waktu, bila sudah sertifikasi ini akan lebih mudah karena sudah punya pengalaman sehingga lebih fleksibel.
“Saya sendiri pernah jalanin design sprint dari 1 hari, 2 hari, 4 hari, bahkan ada yang dua jam. Kalau sprint master sudah pengalaman, dia akan lihat kuncinya dulu, apa yang bisa dirombak dan mengestimasi waktunya.”
Serba serbi manfaat design sprint
1. Menumbuhkan budaya inovasi
Banyak perusahaan yang mencari inovasi dan bagaimana menyediakan struktur dan alat yang akan memungkinkan tim menemukan hal besar berikutnya. Ini semua dapat difasilitasi sepenuhnya oleh design sprint. Sebagian besar karena kesederhanaannya dan hasil kerja yang berdampak pada kualitas tim.
Selain itu, membantu Anda mengetahui kapasitas anggota tim karena di dalam tim akan dipacu untuk mengeluarkan ide dengan tepat dan terarah.
2. Bisa diterapkan untuk semua kebutuhan
Design sprint dapat diterapkan oleh perusahaan konvensional, tidak hanya melulu buat perusahaan atau startup digital saja yang ingin berinovasi. Bahkan di luar inovasi sekalipun misalnya untuk perumusan kebijakan hukum dan beriklan.
Wisnu memberi contoh salah satu produk dari Telkomsel yang dibuat dengan design sprint adalah aplikasi Loopkita dan fitur daily check-in di dalam aplikasi MyTelkomsel.
3. Visibilitas dan alignment
Saat design sprint berlangsung, para anggota tim dengan keahlian dan latar belakang berbeda, duduk bersama menghadapi tantangan hingga memecah batas hierarki di organisasi perusahaan. Kebersamaan itu dimulai dari hari pertama, saat menggali wawasan pelanggan dan penelitian mendalam.
Dengan membongkar semua informasi secara kolektif, seluruh tim akan mempunyai visibilitas ke titik data yang sama. Wawasan tersebut sangat penting untuk menyelaraskan tim pada gol bersama.
4. Minim risiko, mendapat masukan pengguna sebelum terlambat
Design sprint membantu perusahaan membangun produk yang benar-benar digunakan orang. Dalam waktu singkat, dia akan mengarahkan tim ke pembuatan prototipe yang dapat diuji ke pengguna dan langsung mendapat masukan.
Kalau respons tidak memuaskan, tim masih punya banyak waktu untuk mengambil keputusan lebih tepat lewat sprint selanjutnya. Bila pada akhirnya memutuskan untuk ditutup, juga tidak ada ruginya karena perusahaan belum mengeluarkan ongkos yang besar untuk pengembangan.
Jika harga dari potensi kegagalan atau keberhasilan tinggi, mungkin ada baiknya bereksperimen dengan design sprint. Hipotesis Anda akan divalidasi, sehingga pada akhirnya Anda dan tim akan tahu harus berputar ke arah mana.
5. Tidak perlu tools mahal
Perlu diketahui, saat melakukan design sprint, peralatan yang dibutuhkan cukup simpel. Cukup menyiapkan kertas tempel warna warni, pulpen sharpie, kertas A4, gunting, sticker berbentuk dot, selotip dan sebagainya. Seluruhnya dibutuhkan untuk hari pertama sampai hari ketiga.
Apabila produk yang ingin dibuat berbentuk aplikasi, baru memakai laptop dengan tools prototipe yang mudah diakses. Tentunya, ini akan membuat ongkos perusahaan dalam pengembangan produk jauh lebih efisien.
6. Waktu kerja delapan jam sehari
Jangan dibayangkan bila masuk ke dalam tim design sprint harus kerja 24 jam setiap hari atau seperti ikut hackathon. Sangat jauh dari itu karena ini mengutamakan kolaborasi tim. Justru jam kerjanya tergolong normal, delapan jam setiap harinya. Meski singkat, pekerjaan ini sangat menguras otak.
Secara ilmiah, delapan jam adalah waktu maksimal otak dapat bekerja. Maka dari itu, anggota butuh diberi nutrisi makanan yang sehat agar tetap bugar. Tak heran, bila di kantor Google disediakan kantin karyawan dengan menu makanan sehat.
7. Tips: Perhatikan sweet spot
Hal ini dilakukan sebelum design sprint dimulai pada hari pertama. Sweet spot merupakan posisi untuk menjaga agar anggota tidak kebablasan membuat ide tidak terlalu menitikberatkan pada salah satu pihak saja. Bila ini terjadi, maka rentan akan ditolak mentah-mentah oleh perusahaan.
Oleh karenanya, sprint master harus memikirkan irisan dari apa yang diinginkan pelanggan, apa yang diinginkan perusahaan, dan sejauh mana kemampuan teknologi untuk menyanggupinya. Ketika ketemu benang merahnya, maka gol yang didapat akan jauh lebih realistis.
Hasil dari design print pada akhirnya bisa diimplementasikan, bukan hanya sebagai dokumen saja.