Kesuksesan Silicon Valley tidak terlepas dari pola pikir yang mengusung sifat paranoia, bahkan mantan CEO Intel, Andry Grove menerbitkan sebuah buku tentang hal ini pada tahun 1996. Berbagai perusahaan sering kali membeli perusahaan lain bukan karena tujuan memajukan perusahaan mereaka sendiri atau untuk menambah aset tetapi untuk mencegah kompetitor mendapatkan keuntungan jika mereka yang mengakuisisinya. Kondisi ini memang terjadi diberbagai industri lain, tidak hanya di Silicon Valley tetapi tampaknya lebih terasa di dunia teknologi di mana inovasi jauh lebih cepat terjadi.
Ketika Mark Zuckerberg mengumumkan pembelian Instagram, dia mengatakan bahwa Facebook tidak akan mengubah hal-hal mendasar dari Instagram dan menjamin keberadaan apapun yang membuat Instagram populer. Tentu saja, Facebook masih mencoba untuk menemukan cara bagaimana bisa memonetisasi mobile sedangkan tim di Instagram telah bekerja secara eksklusif di platfom mobile, maka jelas masuk akal bagi Facebook untuk memiliki perusahaan ini, tetapi sejujurnya, satu miliar dollar dikeluarkan untuk membeli jejaring sosial berbasis foto yang sebenarnya bisa dikembangkan oleh Facebook sendiri tampak konyol bagaimana pun Anda memandangnya.
Apa yang membuatnya lebih masuk akal bagi saya waktu itu dan sekarang agak dikonfirmasi oleh Jennifer van Grove di Venture Beat adalah bahwa Facebook sama sekali tidak ingin Instagram jatuh ke tangan Twitter.
Instagram memiliki banyak kesamaan dengan Twitter dan perbedaan nyatanya hanyalah bahwa Instagram untuk gambar atau foto sedangkan Twitter untuk teks. Jika Anda melihat lebih detail pada elemen di Instagram, Anda akan menemukan fitur paralel, seperti arus konten (sudah jelas), stream aktivitas untuk melihat kegiatan orang-orang yang Anda ikuti di jaringan Anda, arus kegiatan terhadap konten Anda sendiri yang menampilkan siapa yang menyukai foto Anda dan siapa yang baru saja mengikuti Anda, serta sebuah area untuk konten popular. Yang terakhir ini sebenarnya agak berbeda di Twitter tetapi tetap ada dalam format yang lain. Fasilitas Like dan komentar jelas adalah fitur standar dari layanan jejaring sosial saat ini.
Dengan berbagai fitur paralel ini, pembelian Instagram menjadi lebih masuk akal jika dilakukan oleh Twitter daripada Facebook. Memonetisasi Instagram hanya membutuhkan sedikit modifikasi dari fasilitas promosi konten di Twitter terutama sejak orang mulai lebih toleran dengan brand yang tampil dalam gambar daripada dalam bentuk teks. Lagipula, hampir tiada hari di Instagram yang dilalui tanpa konten yang memunculkan merek yang dikirimkan oleh akun yang Anda ikuti, dengan kemungkinan ribuan orang akan menyukainya. Tagar yang ada di Instagram juga menjadi peluang untuk kegiatan sponsorship.
Tentu saja, kini setelah Instagram dimiliki Facebook, tim yang ada tidak perlu terlalu khawatir tentang monetisasi, meskipun bukan berarti itu tidak akan terjadi. Bahkan saya mengharapkan itu akan terjadi dan akan kecewa jika tidak, meski mempertahankan Instagram yang sekarang mungkin lebih disukai oleh banyak pengguna.
Akuisisi Instagram merupakan kesepakatan yang dilakukan secara terburu-buru. Mungkin bisa dibilang hampir tidak ada keputusan senilai satu miliar dollar yang dibuat hanya dalam 3 hari, tetapi Mark Zuckerberg melakukannya dan tanpa sepengetahuan pihak lain di perusahaan. Dewan di Facebook pun baru mengetahui hal ini setelah kesepakatan terjadi. Mark melakukan langkah klasik di dunia startup teknologi, yaitu melakukan sesuatu terlebih dahulu, sebelum memikirkan konsekuensinya.
Ketika berurusan dengan Twitter, Mark selalu tegang sejak ia gagal membelinya tahun 2008. Sejak penawaran tersebut gagal, apapun yang Twitter lakukan, Facebook akan menirunya beberapa minggu atau bulan kemudian tetapi kali ini mereka bisa mendahului perusahaan milik Jack Dorsey ini dan langsung membeli Instagram. Meskipun Ia harus membayar sebesar satu miliar dollar.
[Gambar]