Dark
Light

Mengkritik Facebook Adalah Cara Memelihara Dampak Positifnya

3 mins read
November 4, 2019
Facebook punya dampak sosial-ekonomi yang begitu besar, namun mereka juga punya pekerjaan rumah yang tak kalah besar yang harus diselesaikan
Facebook punya dampak sosial-ekonomi yang begitu besar, namun mereka juga punya pekerjaan rumah yang tak kalah besar yang harus diselesaikan / Pixabay

Dewasa ini sulit mencari pembanding yang sepadan dengan Facebook sebagai platform media sosial. Sebagai platform tunggal, belum ada yang sanggup menandingi jangkauan dan kegunaannya. Sebagian orang bahkan menganggap Facebook adalah internet itu sendiri

Pengaruh masif Facebook ini tentu juga terjadi di Indonesia. Dengan populasi mencapai ratusan juta jiwa, Indonesia adalah salah satu pasar yang paling “disayang”.

Sekitar dua pekan lalu, Facebook baru saja merilis studi yang menghitung dampak sosial dan ekonomi yang mereka hadirkan di Indonesia. PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia dan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sebagai penyusun studi merangkum dampak sosial-ekonomi kehadiran Facebook ke dalam empat kategori yakni individu, bisnis, komunitas organisasi, dan pemerintah.

Dalam spektrum individu studi itu menyebut Facebook berperan menjadi ruang menjalin silaturahmi dengan orang yang sudah dikenal (84%), juga jadi wadah bertemu orang-orang yang belum mereka kenal sebelumnya baik yang berada di kota yang berbeda (80%), luar negeri (69%), atau mereka yang punya hobi serupa (81%), atau yang punya hobi berbeda (63%).

Koneksi yang terjalin antar individu tersebut melahirkan sejumlah komunitas di Facebook yang perannya kian besar. Salah satu contoh terbaiknya adalah Masyarakat Indonesia Anti-Hoax (Mafindo) yang aktif melawan disinformasi, berita palsu, dan hoaks di jagat maya Indonesia. Maka tak heran studi ini mendapati dari 1.220 orang yang tercatat sebagai sampel, sebagian besar mengaku mendapat pengetahuan baru seperti kemampuan digital (79% persen), kemampuan bahasa (73%), vokasional (67%), literasi (75%), soft skill seperti komunikasi (69%).

Dari aspek bisnis, dampak Facebook tampak begitu menjanjikan. Studi tersebut mencatat bisnis UKM merasa terbantu terutama dalam hal pemasaran dan jangkauan pasar. Sebanyak dari 1.022 bisnis mengaku engagement dengan pelanggan mereka meningkat (92%), bisnis berhasil memotong ongkos pemasaran (75%), dan membantu usaha mendapat pelanggan lebih banyak (92%). Terakhir dari sektor pemerintahan, layanan Facebook membantu 410 kantor pemerintahan daerah dan pusat dengan rincian: terbantu dalam menginformasikan kebijakan (75%), menjalankan praktik transparansi dan keterbukaan (84%), serta memudahkan menerima masukan publik (95%).

Studi tersebut jelas memperlihatkan manfaat besar dari Facebook sebagai media sosial paling berpengaruh di dunia. Namun karena besarnya itu pula, kita tak bisa lagi melihat satu sisi saja. Dalam hal ini saya meyakini pemeo kekuatan yang besar mendatangkan tanggung jawab lebih besar. Tanpa mengesampingkan manfaat yang dibawa, Facebook punya pekerjaan rumah yang sampai saat ini belum selesai.

Contoh pertama adalah potensi penyalahgunaan data seperti yang terjadi dalam skandal Cambridge Analytica. Skandal ini mencuat ke publik pada awal 2018. Data dari 87 juta pengguna Facebook menjadi korban dalam kasus ini. Sekitar 1,1 juta akun di Indonesia terimbas skalndal itu.

Meskipun tidak ada hukuman yang dijatuhkan kepada Facebook di Indonesia, sejumlah negara bersikap lebih keras. Inggris misalnya menjatuhkan denda sebesar 500 ribu poundsterling atau sekitar Rp9 miliar terhadap Facebook karena lalai dalam melindungi data penggunanya. Sementara itu, FTC, sebuah badan regulasi di Amerika Serikat, menjatuhkan sanksi berupa denda US$5 miliar atau sekitar Rp70 triliun dan kewajiban membangun struktur privasi baru yang lebih baik bagi penggunanya. Dua negara itu menunjukkan bahwa Facebook bersalah dan punya tanggung jawab atas kelalaiannya.

Contoh buruk lainnya adalah misinformasi dan hoaks di Myanmar yang disebarkan melalui platform Facebook. Seperti di negara Asia Tenggara lainnya, Facebook adalah jejaring sosial terpopuler di sana. Popularitasnya jugalah yang membuatnya jadi alat bagi kaum ultranasionalis dan militer di sana untuk menyerang etnis Muslim Rohingya.

Persatuan Bangsa-Bangsa mencatat ada 700.000 warga Rohingya lari dari Myanmar untuk menghindari pembantaian akibat kobaran kebencian di sana. Sebuah kasus yang disebut PBB sebagai “contoh textbook pembersihan etnis”.

Masalahnya, berbeda dengan dampak sosial yang mereka banggakan, Facebook sebagai raksasa teknologi kerap lupa diri dan terkesan naif akan pengaruhnya dalam sejumlah konflik di dunia nyata. Dalam kasus Rohingya tadi, mereka mengaku lambat merespons insiden itu.

Kelambanan Facebook dalam menyikapi situasi genting seperti itu juga tercermin dari cara CEO Facebook Mark Zuckerberg saat dihujani kritik pascapemilu AS 2016. Kala itu berbagai pihak mencibir Facebook karena terkesan membiarkan misinformasi merajalela sehingga memengaruhi hasil pemilu AS yang akhirnya dimenangi Donald Trump.

“Setelah pemilu, saya membuat pernyataan yang saya pikir bahwa misinformasi di Facebook mengubah hasil pemilu itu sebagai ide gila. Menganggapnya sebagai hal yang gila itu meremehkan dan saya menyesalinya,” kata Zuckerberg dua tahun silam.

Harus terus dikritisi

Tak ada alasan untuk berpaling dari manfaat sosial-ekonomi yang dibawa oleh Facebook. Namun melihat sepak terjang mereka yang tak banyak berubah, rasa skeptis patut terus dipelihara.

Belum lama Zuckerberg menyatakan sikap bahwa iklan politik merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Ini adalah contoh kesekian kali bos Facebook ini seakan tutup mata bahwa iklan politik membawa bom waktu yang sifatnya memecah belah publik dengan misinformasi dan hoaks.

Kita sudah kenyang dengan polarisasi opini yang begitu tajam dari sekian kali pemilu di Indonesia. Kita juga tahu kontraktor politik macam Cambridge Analytica punya peran dan siap memanfaatkan “dukungan” oleh Facebook tersebut. Ini sebabnya kita perlu sadar dan kritis terhadap apa yang Facebook berikan kepada publik.

Facebook setidaknya perlu bersikap seperti Twitter yang sudah tegas menolak iklan politik di platformnya. Kita tidak ingin misinformasi, berita palsu, dan hoaks mengotori beranda media sosial yang digunakan oleh 120 juta akun di Indonesia ini, yang nantinya malah menutupi dampak positif yang mereka usung.

Gojek siap masuk ke Malaysia dan Filipina pada tahun depan demi mewujudkan rencana menuju perusahaan global dengan operasional di tujuh negara
Previous Story

Gojek Paparkan Strategi Jangka Panjang, Termasuk Ekspansi ke Malaysia dan Filipina

Next Story

Inilah Smartphone Pertama dari Pembuat TikTok, Smartisan Jianguo Pro 3

Latest from Blog

Don't Miss

Meta sedang siapkan chatbot AI untuk produk-produknya

Meta Segera Luncurkan Chatbot AI dengan Banyak Kepribadian

Sejak ChatGPT diluncurkan November tahun lalu, chatbot AI terus menjadi

Alasan Meta Rilis Threads, Pesaing Twitter

Elon Musk resmi membeli Twitter seharga US$44 miliar pada Oktober