Untuk orang-orang yang merintis suatu usaha, kata “gagal” adalah kata yang menakutkan. Kehilangan mata pencarian, kehilangan penghasilan, kehilangan kebanggaan; mungkin hal itu yang bakal terasosiasi dengan kata gagal. Seperti orang-orang muda lainnya yang hidup di jaman sekarang yang sudah “teracuni” oleh virus entrepreneur, selain sebagai penulis saya juga memiliki bisnis jualan barang kecil-kecilan. Saya harus akui bahwa sampai sekarang usaha tersebut tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Indikator yang ada belum mencapai suatu kondisi yang disebut sebagai “kesuksesan”.
Mark Pincus, CEO Zynga membuat sebuah tulisan berjudul “How to Fail” di Business Week. Dia bercerita soal kegagalan yang dihadapi olehnya (berkali-kali) hingga akhirnya sukses bersama Zynga menjadi salah satu penyedia permainan online terbesar di dunia. Di situ dia menuliskan penutup yang cukup memorable buat saya. Quote-nya adalah sebagai berikut:
I think failing is the best way to keep you grounded, curious, and humble. Success is dangerous because often you don’t understand why you succeeded. You almost always know why you’ve failed. You have a lot of time to think about it.
Sepertinya pernyataan Pincus ini ada benarnya. Jika kita sukses, yang kita pikirkan mungkin kita memang hebat, keberuntungan sedang berpihak ataupun hal-hal positif lainnya yang bisa jadi melenakan. Tak terlintas di pikiran kita untuk melakukan analisis yang mendalam tentang kenapa kita sukses dan apakah dengan metode yang sama kita akan mengalami kesuksesan secara terus-menerus di masa datang.
Sebaliknya, jika kita gagal pasti kita akan tahu (atau setidaknya mencari tahu) kenapa kita gagal. Orang yang gagal dan melakukan analisis terhadap kegagalannya pasti akan belajar dari kesalahannya dan tidak mengulanginya di masa mendatang, setidaknya jika memang dia pantang menyerah untuk mencapai label “kesuksesan”.
Di dunia startup teknologi, hal ini bukanlah omong kosong. Rovio (pembuat Angry Birds) dan OMGPOP (pembuat Draw Something) adalah dua contoh nyata bagaimana kegagalan demi kegagalan (akhirnya) dapat menghasilkan suatu produk yang bagus dan diterima pasar. Rovio seperti Anda ketahui gagal hingga 50 kali sebelum akhirnya menghasilkan permainan fenomenal yang ada di hampir setiap smartphone modern.
Saya pun sering membaca bahwa para investor (VC) di Silicon Valley sana lebih memilih untuk mendanai proyek orang/perusahaan yang pernah gagal ketimbang yang belum pernah mencoba sama sekali, semata-mata karena prinsip lesson learned ini. Orang yang pernah gagal tentunya akan lebih berhati-hati untuk menentukan setiap langkah berikutnya. Ada prinsip entrepreneur yang mengatakan “jalankan baru pikirkan”, saya coba menginterpretasinya menjadi “gagal dahulu, pikirkan kenapa, raihlah kesuksesan berikutnya”.
Kembali ke cerita saya di awal, berdasarkan “kegagalan” yang saya hadapi tentu saja analisis sudah dilakukan. Semua “kenapa” dan “mengapa” coba dicermati. Apakah saya akan mempertahankan brand saya dengan produk yang serupa ataupun melakukan pivot ke metode yang berbeda adalah hal yang saat ini sedang dipikirkan. Setidaknya saya tahu ada yang salah dengan metode yang sebelumnya saya lakukan dan tidak akan saya ulangi. Apapun hasil pembelajaran yang kita dapatkan, kita pasti berusaha agar langkah berikutnya tidak berujung pada kegagalan (serupa).
Pelajaran yang diambil dari kegagalan mungkin adalah “investasi” yang paling berharga untuk mencapai kesuksesan. Mungkin lebih berharga dari dana yang disuntikkan oleh investor manapun.
Terus Belajar dah pokoknya
Setuju Pak, orang yang “jatuh” tapi memilih “berdiri” lagi.. baik oleh diri sendiri maupun tidak gengsi mengambil uluran tangan yang bersimpati akan memiliki mental yang berbeda.
Dan ya…. kehati-hatian akan menjadi prioritas utama. Think twice (or more) but still action is the mental state you will find on them.