Dark
Light

[Dailyssimo] E-commerce di Indonesia, Kami Hanya Butuh Layanan yang Membuat Kami Bisa Dipercaya

2 mins read
April 14, 2012

Membuka toko online memang jauh lebih mudah dibandingkan membuka toko ‘reguler’, setidaknya bisa diukur dari faktor biaya. Namun mengajak pembeli untuk datang, membeli dan menjadi pelanggan sebuah toko jauh lebih kompleks dari hanya membuka toko. Mari saya ajak menelaah dari berbagai sudut pandang.

Bagi seorang pembeli, uang adalah sesuatu yang sangat sensitif. Pembeli tidak akan pernah mau memberikan uangnya untuk ditukarkan dengan sebuah barang jika barang tersebut tidak ia inginkan ataupun ada sesuatu yang membuatnya susah mendapatkan barang tersebut setelah ia melakukan pembayaran.

Coba bayangkan jika Anda ingin membeli sebuah CD musik, pilihannya adalah membeli di toko CD terdekat dan di sebuah toko online, apa kira-kira yang jadi bahan pertimbangan?

  1. Ketersediaan barang. Ini adalah faktor pertama yang akan dicek.
  2. Harga akan jadi bahan pertimbangan kedua. Pada fase ini pembeli akan membandingkan harga. Ini seperti permainan tambahan yaitu secara psikologis berlipatnya kepuasan yang didapat jika pembeli bisa mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah.
  3. Cara mendapatkannya menjadi faktor berikutnya, dimana di dalamnya termasuk dari mekanisme pembayaran, kemudahan proses dan lain sebagainya.
  4. Waktu mendapatkannya.

Empat poin di atas biasanya akan jadi bahan pertimbangan bagi para calon pembeli pada saat memutuskan untuk membeli sebuah barang. Keempat poin tersebut akan jadi pondasi kepercayaan pembeli pada sebuah toko, terlepas toko tersebut online ataupun tidak. Yak betul…. Trust adalah pondasi utama keberhasilan sebuah toko membangun reputasi.

Semenjak tahun 2011 kita kebanjiran perusahaan-perusahaan online yang memfokuskan dirinya pada e-commerce. Majalah The Markeeters edisi Juni 2011 yang kebetulan menjadikan fenomena menjamurnya situs-situs penyedia toko online dengan memunculkan istilah social shopper, sebagai julukan bagi para pembeli toko-toko yang dijalankan dengan menggunakan platform social media yang sedang naik daun seperti Facebook. Bahkan Multiply yang dulunya dikenal sebagai blog platform pun mengubah positioning mereka menjadi penyedia toko online dengan menggabungkan fungsi internal networking antar pengguna dengan fasilitas online store yang akhirnya mereka sebut dengan social commerce.

Saya tidak memungkiri dan juga ikut merasakan bagaimana atmosfir e-commerce ini mulai naik dan mulai tidak bisa dibendung lagi. Walaupun Plasa.com bisa dikatakan tidak bisa memenuhi ekspektasi pasar (ini bisa jadi studi kasus yang menarik), kita bisa lihat Kaskus, forum yang akhirnya menjadi besar dan dikenal luas karena nilai perputaran uang di dalamnya sangat fenomenal, dan ini terjadi karena penggunaan forum tersebut sebagai ajang jual-beli yang memang diwadahi oleh pihak pengelola Kaskus. Hal serupa pulalah yang membuat Multiply merubah diri mereka dari blog platform menjadi penyedia toko online. Pemain-pemain lainnya antara lain TokoBagus, BliBli.com, DinoMarket, Rakuten dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, apakah perusahaan-perusahaan e-commerce tersebut sudah bisa meraih popularitas? Well, terus terang saya tidak terlalu yakin. Mengapa? Karena sepengamatan saya banyak perusahaan-perusahaan e-commerce yang masih memiliki masalah dalam membangun trust terhadap layanan mereka di masyarakat. Beberapa layanan e-commerce yang memiliki backup keuangan yang kuat malah sibuk melakukan promosi gila-gilaan, padahal pondasi yang harus dibangun justru kepercayaan masyarakat (trust). Eksposur terlalu besar tanpa pondasi yang sudah siap akan mempercepat backfire terhadap brand layanan mereka. Namun sepertinya mereka tidak peduli (atau tidak mengerti).

Sebagai seseorang yang juga pernah punya usaha e-commerce (di ebay pada tahun 2004-2005) saya selalu berpandangan bahwa pembeli adalah nomer satu, namun jika platform yang kita gunakan tidak bisa menjadikan toko kita sebagai toko yang bisa menomer satukan pembeli, ya kita tahu ini akan berakhir dimana. 🙂

Dan seperti statement pada judul yang saya tujukan pada penyedia layanan e-commerce, we don’t need flashy features yet, we need platform that makes us trusted seller.

Abang Edwin adalah seorang praktisi online community management sejak tahun 1998 jauh sebelum istilah social media/social network muncul di dunia internet. Ia memulai perjalanan eksperimentasinya dengan beberapa komunitas online yang akhirnya berkembang sukses pada saat itu, sampai saat ini ia pun masih memberikan konsultasi-konsultasi mengenal karakter dan membina komunitas online bagi brand/agency maupun perseorangan.

Ia sempat bekerja di Yahoo! selama lebih dari 4 tahun sebagai community manager. Dan kini posisi terakhir yang dijabatnya adalah Country Manager – Indonesia untuk Thoughtbuzz.net, sebuah perusahaan social media monitoring.

5 Comments

  1. Jangan cmn pembeli nomor satu, penjual juga manusia :D. 
    Seperti kasus paypal yg menomorsatukan pembeli, sehingga penjual rentan terkena ban karena dibohongi pembeli.

  2. Anyhoo, kenapa startup ecommerce di Indonesia belum ada yg pakai affiliate marketing ya? Setau saya di US dan UK sana affiliate marketing sangat berkembang dan itu salah satu cara paling menguntungkan untuk mendapatkan sales.

    Atau kalau ada yang mau buat affiliate network di Indonesia, ditunggu banget lho 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Mindtalk Umumkan Pemenang AppsDay 2012 Chapter Yogyakarta

Next Story

[Dailyssimo] E-commerce in Indonesia, What We Need Is a Service That We Can Trust

Latest from Blog

Don't Miss

Blibli rayakan ulang tahun ke-12

Ulang Tahun ke-12, Blibli Hadirkan Program “Blibli Annive12sary”

Dengan persaingan yang semakin ketat, eksistensi sebuah e-commerce di Indonesia
TikTok Shop

TikTok Shop Tingkatkan Fitur dan Fasilitas Menjelang Tahun Ketiganya di Indonesia

TikTok merupakan salah satu media sosial yang paling digandrungi saat