Sejak mulai booming awal tahun 2010, industri startup dan e-commerce telah menjadi salah satu vertikal bisnis primadona di mata investor, founder bahkan ke talenta-talenta teknologi. Dimulai dari Rocket Internet yang memulai Zalora dan Lazada yang mengklaim akan merevolusi online shopping menjadi pengalaman berbelanja model baru, hingga e-commerce niche seperti Tororo dan SaleStock (kini Sorabel) yang menyasar market khusus.
Namun sejak beberapa tahun silam, banyak pemain industri yang sudah mencari jalan pintas untuk menjustifikasi “growth”. Sayapun sempat mengeluhkan praktik bisnis e-commerce yang kurang bertanggung jawab dan tidak sustainable. Mulai dari terlalu fokus kepada metrik-metrik kosmetik seperti Gross Merchandise Value yang sama sekali tidak mencerminkan kesehatan maupun pencapaian sebuah perusahaan e-commerce.
Di kalangan pemain industri e-commerce, praktik “membeli GMV” merupakan rahasia umum yang dilakukan mayoritas (kalau tidak semua) pemain e-commerce. Ingin membukukan GMV Rp. 1 triliun bulan ini? Tinggal pilih “konsultan” yang siap membantu mencapainya, cukup dengan komisi sebesar 2-5%. Kenapa hal ini dilakukan? Untuk memberikan ilusi pertumbuhan cepat (hypergrowth) yang dibayangkan investor, calon investor, calon karyawan, market dan sebagainya.
Ilusi “growth” untuk kebanyakan perusahaan teknologi belakangan ini sedikit berubah ke omset/GMV dan jumlah karyawan, yang akan selalu terdengar manis di media-media mainstream. Jarang sekali yang menyinggung profitability, revenue per employee, net profit per customer, EBITDA, Customer Acquisition Cost (CAC) dan Customer Lifetime Value (LTV). Kenapa?
Semua pendanaan yang didapatkan oleh startup didasarkan pada valuasi, dan valuasi ini hampir mutlak menjadi patokan kesuksesan sebuah startup. Semakin tinggi valuasi, semakin banyak modal yang bisa didapatkan. Namun ketika pendanaan didapatkan, founder seringkali justru fokus ke hal-hal seperti GMV dan jumlah karyawan yang nantinya akan menjadi justifikasi untuk pendanaan lanjutan dengan valuasi yang pastinya lebih besar. Untuk investor, permainannya sederhana. Siapapun yang masuk terlebih dahulu, menang. Siapa yang masuk belakangan, kalah. Siapapun yang masuk terakhir, biggest loser. Ini dengan asumsi, startup-nya tidak memiliki bisnis yang sustainable.
Memang industri ini masih dalam tahap remaja, tahap pencarian jati diri dan eksperimental, tidak hanya di Indonesia tapi secara global. Saya setuju. Dan kasus PHK di Bukalapak merupakan salah satu bentuk koreksi market yang menurut saya cenderung positif untuk industri di Indonesia. Investor sudah harus mulai lebih hati-hati, lebih pintar melihat peluang dan valuasi. Founder juga mulai harus fokus ke metrik-metrik yang memang responsible dan sustainable baik untuk perusahaan, untuk shareholder, untuk konsumen dan tentunya untuk industri secara keseluruhan.
Kasus Bukalapak ini baru ronde pembuka dari koreksi pasar di industri teknologi di Indonesia. Ke depannya proses ini akan terus berlanjut, dan meskipun terdengar cenderung negatif, namun sebenarnya proses ini diperlukan bagi Indonesia untuk bisa menelurkan unicorn-unicorn yang responsible dan sustainable.