Minggu lalu, SweetEscape, platform marketplace yang menghubungkan konsumen dengan fotografer profesional, mengumumkan perolehan pendanaan seri A hampir 85 miliar Rupiah. Hian Goh selaku perwakilan dari Openspace Ventures, investor yang memimpin pendanaan, mengatakan keyakinannya mengenai pangsa pasar yang terus meningkat. Saat ini dianggap terjadi pergeseran kebiasaan yang signifikan di kalangan konsumen terkait kebutuhan mengabadikan momen spesial, baik saat berlibur, mengadakan perayaan, atau mengabadikan capaian.
Menurut data yang dirilis We Are Social per Januari 2018 lalu, ada lebih dari 150 juta pengguna aktif media sosial–setara dengan 54% dari total populasi. YouTube (88%), Facebook (81%), dan Instagram (80%) menjadi kanal yang paling laris digunakan. Kaitannya dengan tren yang disebutkan Goh, platform media sosial yang disebutkan erat kaitannya dengan kebutuhan konten visual, berupa foto atau video. Media sosial juga telah menjadi “galeri digital” yang digunakan untuk mengarsipkan banyak momen yang dianggap spesial oleh masyarakat.
Tak hanya SweetEscape, startup lokal lain yang turut hadir memfasilitasi kebutuhan fotografi berkualitas adalah Frame a Trip. Kedua startup sama-sama efektif beroperasi sejak tahun 2017, dengan pendekatan bisnis yang unik. Alih-alih melakukan fundraising untuk melakukan penetrasi pasar seluas-luasnya, mereka memilih menggunakan “gaya bisnis konvensional”.
Kepada DailySocial, Co-founder & CEO Frame a Trip Endra Marsudi bercerita, “Frame A Trip sejak berdiri hingga saat ini masih memilih opsi bootstrapping dan belum menggunakan kapital dari luar. Oleh karenanya, pendekatan operasional dituntut untuk jadi bisnis konvensional yang mengutamakan profit (EBITDA) positif setiap bulannya agar runway-nya bisa panjang dalam bersaing di pasar. Strategi yang diterapkan juga dituntut untuk lebih efektif dan efisien dalam menghasilkan penjualan dibanding menyebarkan awareness semata.”
Kendati demikian, startup yang memiliki brand dengan warna khas biru muda tersebut mengaku telah menjangkau lebih dari 300 kota dan mengakomodasi lebih dari 700 fotografer profesional terkurasi. Endra menyebutkan, rata-rata kenaikan penjualan per bulan mencapai 30% dan sudah bisa EBITDA positif sejak Q4 2018.
“SweetEscape adalah gabungan antara marketplace dan platform. Di marketplace murni, konsumen dan pembeli berkomunikasi secara langsung. Kami lebih cocok disebut jaringan pasar. Kami memperkerjakan fotografer sembari membangun komunitas untuk berkolaborasi serta mengembangkan bisnis mereka melalui teknologi,” ujar Co-Founder & COO SweetEscape Emile Etienne mendefinisikan bisnisnya.
Dua startup, satu tipe layanan dan target pasar, dengan pendekatan bisnis berbeda.
Dituntut go global sejak lahir
Salah satu permasalahan orang ketika bepergian ke destinasi wisata atau luar negeri adalah menemukan fotografer yang tepat dan terjangkau. Opsinya mereka bisa membawa dari kota asal yang sudah diketahui kualitasnya, tapi harus menanggung akomodasi, atau mencari secara mandiri di sekitar lokasi agar lebih hemat. Yang terakhir ini prosesnya tidak mudah, harus bertanya dan bernegosiasi. Frame A Trip dan SweetEscape melihat kondisi itu sebagai sebuah peluang.
Layanan mereka memungkinkan orang menemukan fotografer profesional di lokasi yang diinginkan dengan jaminan kualitas hasil jepretan. Cara kerjanya, platform merekrut para juru foto untuk bekerja secara freelance berdasarkan permintaan. Mereka melakukan seleksi berdasarkan track record studio foto dan/atau portofolio hasil karyanya. Pun para fotografer bisa mendaftarkan secara mandiri untuk selanjutnya diseleksi tim internal. Dari sisi konsumen, mereka hanya perlu memasukkan informasi sesuai kebutuhan, seperti destinasi dan layanan fotografi yang dibutuhkan.
“Kami tidak menggunakan mekanisme bagi hasil, melainkan membeli jasa kerja fotografer profesional sesuai rate yang mereka tawarkan dengan satuan per jam. Lalu kami akan mengambil keuntungan dari selisih harga jual (publish rate) ke konsumen dan harga beli jasa ke fotografer,” ujar Endra menjelaskan mekanisme kerja sama dengan mitranya.
Mekanisme serupa juga dimiliki SweetEscape. Fotografer akan dibayar per sesi menyesuaikan harga tawar yang diberikan, biasanya bergantung kota dan jenis layanan mengenai nominal harganya. Mereka juga menyediakan dasbor web dan aplikasi khusus untuk fotografer, untuk berkomunikasi dengan tim operasional, calon konsumen, juga mengatur ketersediaan.
Tantangan layanan tersebut adalah harus memiliki cakupan seluas-luasnya ketika debut di pasar. Sebagai contoh Frame A Trip, di awal kemunculannya mereka langsung tersedia di 45 tujuan wisata dunia. Perekrutan mitra untuk ketersediaan memang jadi hal yang benar-benar dipersiapkan sebelum dirilis ke publik. Namun demikian hadir di pasar global bukan tanpa masalah.
Endra mengatakan, isu paling krusial adalah proses kurasi fotografer berkualitas dan profesional. Frame A Trip menghadirkan 5 juri untuk menyetujui calon mitra yang ingin bergabung di platformnya, 3 berasal dari internal dan 2 dari eksternal.
Sementara Emile punya cerita tersendiri terkait ekspansi layanan, “Dalam banyak hal, kami menghadapi tantangan yang sama seperti Airbnb di masa awal. Karena kami meluncurkan vertikal fotografi liburan, kami harus segera go-global. Memiliki ribuan fotografer lokal di ratusan kota menjadi bagian terbesar dari unique selling proposition kami.”
“Seandainya kami membangun model seperti Uber, kami akan hadir ke kota demi kota tanpa terlebih dulu memiliki fotografer. Tapi karena kami go-global terlebih dulu, tantangannya adalah meningkatkan jaringan fotografer profesional dengan cepat. Tidak hanya di Indonesia, tapi di ratusan kota di seluruh dunia. Sehingga turut membawa serta berbagai tantangan yang harus dipikirkan seperti bahasa, budaya, harga, zona waktu, dukungan pelanggan dan lainnya,” lanjut Emile.
Sejauh ini tidak ada permasalahan terkait regulasi, misalnya perpajakan atau sejenisnya.
Pangsa marketplace juru foto profesional
Sejak 2,5 tahun beroperasi, Frame A Trip menangkap demografi konsumen yang kerap menggunakan layanannya. Segmentasi pasar terbesarnya adalah generasi milenial, didominasi gender perempuan dan berstatus “baru berkeluarga dengan anak satu (masih kecil)”.
“Milenial” jadi kata kunci penting dalam kaitannya dengan potensi pasar. Endra memaparkan berdasarkan data BPS, kurang lebih 33% dari populasi Indonesia ada di kalangan tersebut. Mereka merupakan early adopter teknologi, sebagian native adopter sehingga relatif cepat merespons konsep baru seperti layanan sewa fotografer profesional. Di satu sisi, terdapat kultur social media savvy dan social climber yang peduli akan jumlah “likes” sebagai “social currency”.
“Pola tersebut turut mengubah travel journey menjadi momen mikro, yakni dreaming > planning > booking > experiencing > sharing. Dari sini dapat terlihat generasi milenial saat jalan-jalan tidak hanya mementingkan proses experiencing jalan-jalannya saja tapi juga sudah lebih mewajibkan sharing ke sosial media serta mencari inspirasi jalan-jalan (dreaming) dari sosial media,” ujar Endra.
Pasalnya zaman sekarang kamera ponsel sudah semakin canggih, pun kamera profesional harganya juga banyak yang terjangkau. Emile memiliki jawaban yang cukup logis mengenai ancaman disrupsi tersebut.
“Banyak dari kita yang memiliki dapur indah dan masih memesan makanan. Banyak klien kami yang memiliki kamera profesional, tapi lebih suka memesan jasa di SweetEscape. Dengan menggunakan seorang fotografer, konsumen dapat menikmati momen tersebut, apakah liburan, pesta ulang tahun, pernikahan , kelulusan dan lain-lain. Kami mengurus proses pasca produksi, termasuk menyortir hasil jepretan terbaik dan menyuntingnya. Kamera smartphone akan terus menjadi lebih baik dan memainkan peran penting dalam kehidupan kita, tetapi itu tidak akan menggantikan kebutuhan fotografer.”
Mengabadikan momen penting secara profesional
Mengutip apa yang diketik Emile kepada kami mengenai cita-cita besar yang ingin diraih bersama SweetEscape, “When I think of getting an ojek in Jakarta, I think Gojek. Today, when I think of getting a taxi in NYC I think UBER. In 5 years when people think photography they think SweetEscape.”
Kebutuhan fotografi memang tidak terbatas saat momen liburan saja. SweetEscape sudah memulai dengan memberikan beragam jasa fotografi di luar liburan. Sementara Frame a Trip juga segera meluncurkan variasi layanan serupa.
“Frame A Trip akan menawarkan jasa mengabadikan life moments. Diharapkan dengan produk baru tersebut konsumen akan menggunakan jasa Frame A Trip tidak hanya dengan alasan liburan, tapi juga dengan tujuan ingin mengabadikan momen terbaik keseharian (arisan, acara keluarga, hangout, dst) dan/atau siklus hidup (baby born, birthday, graduation, wedding, dst). Akan di-launch dalam waktu dekat,” terang Endra.
Terkait persaingan bisnis, baik Emile maupun Endra meyakini, inovasi akan memainkan peran penting untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen.
“Kami melihat pesaing dengan model bisnis yang sama sebagai faktor penyeimbang. Dengan adanya pesaing maka kita akan terus berinovasi dan bekerja cerdas agar bisa lebih unggul di pasar. Terkait dengan hal ini, maka kami memang lebih fokus menawarkan value yang lebih banyak untuk konsumen dibanding para pesaing yang ada, yakni: better rate, more photos, easy booking worldwide, freedom to choose the photographer, dan giving more in editing,” ungkap Endra.
“Kami fokus pada kebutuhan klien, fotografer dan peningkatan layanan. Selama 6 bulan terakhir kami telah belajar banyak tentang apa yang dituntut pasar dan dalam beberapa bulan mendatang kami akan meluncurkan solusi untuk kebutuhan acara-acara dan bisnis. Nilai unik kami adalah pemesanan yang mudah dalam waktu kurang dari 2 menit, mengobrol dengan fotografer dalam 24 jam untuk merencanakan pemotretan, terjangkau, tersedia di banyak tempat, dan (proses penyampaian) foto yang cepat dalam 48 jam,” pungkas Emile.