Google kembali menjadi pusat perhatian industri game dunia saat mereka mengumumkan Stadia di GDC 2019. Google Stadia adalah layanan game streaming yang mungkin punya tujuan mulia: memberikan akses gaming ke lebih banyak orang, kapan pun dan di mana pun mereka berada.
Sayangnya, ada sejumlah kontroversi tentang Stadia ini yang sudah diutarakan berbagai pemerhati dan pelaku industri game. Kali ini, saya ingin mencoba menjabarkan sejumlah kelebihan dan kekurangan dari Stadia menurut pandangan saya pribadi.
Keunggulan Google Stadia
Satu hal yang jadi ‘jualan’ Google tentang Stadia adalah mengijinkan lebih banyak orang untuk merasakan game berkualitas (AAA) di berbagai perangkat, mulai dari desktop, laptop, tablet, ponsel, ataupun TV (pakai Chromecast dongle).
Selain itu, berhubung game-game yang dijalankan akan menggunakan resource hardware dari data center Google, para penggunanya sudah tak perlu lagi merogoh kocek untuk membeli console ataupun mengalokasikan anggaran beberapa tahun sekali untuk mengupgrade hardware PC nya masing-masing.
Dari dua fitur tadi, sebenarnya ada solusi dari sejumlah masalah yang ditawarkan oleh Stadia.
1. Memungkinkan peningkatan kualitas game pada umumnya
Pertama, Stadia memungkinkan para gamer mobile untuk merasakan game-game yang benar-benar dibuat untuk memuaskan para pemainnya; tidak seperti kebanyakan game-game mobile saat ini yang dibuat untuk menyedot uang dan perhatian para penggunanya sebanyak mungkin.
https://www.youtube.com/watch?v=k-BbW6zAjL0
Saat dirilis, sudah ada sejumlah game AAA yang akan tersedia untuk Google Stadia. Berikut adalah daftar yang kami temukan dari video Stadia Connect tanggal 6 Juni 2019.
- Assassin’s Creed: Odyssey
- Baldur’s Gate 3
- Borderlands 3
- The Crew 2
- Darksiders Genesis
- Destiny 2
- The Division 2
- DOOM Eternal
- Dragon Ball Xenoverse 2
- The Elder Scrolls Online
- Farming Simulator 19
- Final Fantasy 15
- Football Manager 2020
- Get Packed
- Ghost Recon Breakpoint
- Grid
- Gylt (Google Stadia exclusive)
- Just Dance 2020
- Metro Exodus
- Mortal Kombat 11
- NBA 2K
- Power Rangers: Battle for the Grid
- Rage 2
- Samurai Showdown
- Thumper
- Tomb Raider Trilogy
- Trials Rising
- Wolfenstein: Youngblood
Dari daftar di atas, ada banyak game–game berkualitas yang memang kastanya di atas game-game mobile saat ini, seperti Baldur’s Gate 3, Rage 2, Borderlands 3, Destiny 2, Division 2, dan masih banyak lagi (setidaknya menurut saya pribadi).
Kenapa akses lebih luas ke game-game berkualitas ini penting? Karena standar ekspektasi kebanyakan pengguna bisa meningkat, yang akhirnya berimbas pada peningkatan kualitas buat para developer dan publisher (khususnya untuk platform mobile).
Tanpa Stadia, para gamer mobile mungkin masih harus menunggu lama sebelum mereka benar-benar bisa merasakan bagaimana sebuah game seharusnya diciptakan.
2. Menghemat pengeluaran untuk kebutuhan gaming
Selain itu, buat gamer console ataupun PC, mereka bisa menghemat pengeluaran untuk kebutuhan gaming mereka. Gamer console tak perlu lagi mengganti mesin gaming mereka setiap kali generasi baru keluar. Gamer PC pun tak perlu lagi mengganti jeroan setiap beberapa tahun sekali untuk memastikan game-nya tetap mampu berjalan minimal 60 fps.
Sayangnya, penghematan ini akan sangat relatif daya tariknya untuk masing-masing pengguna. Kenapa? Karena, meski kebutuhan atas komponen ataupun mesin gaming menurun, kebutuhan untuk koneksi internet yang sungguh dapat diandalkan (bukan yang hanya sekadar slogan) jadi meningkat drastis. Padahal ketersediaan produk komponen ataupun mesin gaming (console) di Indonesia jauh lebih baik ketimbang jaringan internet yang berkualitas.
Nanti kita akan bahas lebih detail lagi soal koneksi internet di bagian kelemahan dari Google Stadia.
Selain soal 2 hal tadi, berhubung kita tak lagi dapat mengakses file game nya, ada 2 keunggulan lagi yang bisa ditawarkan oleh Stadia. Absennya akses pengguna ke file game nya mungkin memang kedengarannya lebih menguntungkan untuk para publisher ataupun developer karena bisa menurunkan angka pembajakan dan meminimalisir penggunaan cheat.
3. Menekan angka pembajakan game
Mari kita bahas soal pembajakan lebih dahulu. Hal ini mungkin sekilas hanya menguntungkan para publisher ataupun developer. Namun jika para pembuat game berkualitas mampu meraup keuntungan yang lebih besar lagi, gamers juga yang pada akhirnya berbahagia karena mungkin kisah tragis developer legendaris (seperti BioWare) yang menjual dirinya tak akan lagi terulang untuk yang lainnya.
Plus, para publisher game pun mungkin tak perlu lagi memaksakan untuk menekankan sistem bisnis Game as a Service (GaaS) ke produk-produk mereka. Kenapa sistem bisnis GaaS itu tidak baik untuk konsumen (setidaknya menurut saya pribadi)? Silakan googling sendiri ya sistem bisnis tersebut karena akan terlalu panjang dijelaskan di sini.
4. Memberantas cheat?
Nah, keunggulan ini mungkin akan sangat relatif juga tergantung siapa gamer-nya. Buat saya pribadi, selama itu game singleplayer, Anda bebas menentukan bagaimana cara Anda memainkannya. Namun jika Anda bermain game multiplayer, Anda wajib bermain mengikuti aturan yang telah disepakati bersama.
Kenapa Stadia bisa mengurangi cheat? Karena akses ke game file yang akan jauh lebih terbatas itu tadi. Penjelasan sederhananya, cheating adalah manipulasi sistem permainan demi kemenangan yang biasanya dilakukan dengan memodifikasi file-file yang digunakan (seringnya seperti .exe dan .dll, atau .apk kalau di platform Android) ataupun proses yang sedang berjalan. Sedangkan dengan Stadia, file–file tersebut harusnya tersimpan di data center milik Google; demikian juga dengan proses yang berjalan.
Menurunkan angka cheater mungkin memang tak akan jadi kelebihan yang berarti bagi gamer singleplayer. Namun, buat gamer multiplayer, bermain game yang tidak ada cheat-nya adalah sebuah utopia.
5. Sentimen positif terakhir dari Stadia adalah karena ia produk Google.
Satu aspek penting dari teknologi game streaming adalah lokasi server dan data center tempat memproses game yang dijalankan. Semakin jauh lokasi server dengan pengguna, semakin besar pula latency-nya. Padahal, latency tinggi adalah musuh utama para gamer untuk bermain online.
Jadi, memang hanya raksasa-raksasa teknologi dunia sekelas Google yang punya kapasitas menaruh server-server di berbagai belahan dunia. Meski begitu, Google sendiri juga punya serentetan produk gagal yang sudah tak lagi beroperasi, seperti Google Plus.
Itu tadi adalah salah satu kekurangan yang patut dicatat juga dari Stadia, yang akan kita bahas lebih lengkap di bagian selanjutnya.
Kelemahan Google Stadia
Meski Stadia punya peluang untuk meningkatkan kualitas game secara keseluruhan yang punya nilai positif penting; ada satu rintangan besar yang harus diselesaikan sebelum Stadia bisa meraih kesuksesan di Indonesia atau negara-negara lainnya.
1. Kebutuhan kualitas jaringan internet yang tak mudah dipenuhi
Tantangan besar pertama yang harus coba dijawab adalah soal latency dan bandwidth. Menurut Google, Stadia butuh koneksi sebesar 10Mbps untuk streaming game di resolusi 720p dan 20Mbps untuk 1080p. Padahal di Indonesia, kecepatan rata-rata internet kita ada di 10.4Mbps untuk mobile dan 17Mbps untuk broadband (menurut data dari Speedtest.net saat artikel ini ditulis).
Itu tadi masih soal bandwidth belum soal latency. Latency akan menjadi tantangan yang lebih berat juga ketimbang bandwidth karena game-game bertempo cepat semacam FPS dan fighting butuh response time serendah mungkin, bahkan di bawah genre RPG ataupun MOBA.
Dari pengalaman yang dirasakan oleh PC Gamer saat mencoba Stadia di GDC 2019 di San Fransisco, Amerika Serikat, mereka tak mampu bermain DOOM di latency yang optimal sehingga kesulitan bermain dengan nyaman. Itu cerita dari mereka yang menggunakan koneksi internet di sana. Saya sungguh tak berani membayangkan seperti apa ceritanya jika menggunakan koneksi internet di Indonesia.
Menurut pengujian yang dilakukan oleh Digital Foundry (videonya bisa Anda lihat di atas), Stadia punya latency sebesar 166ms; bandingkan dengan bermain di PC sendiri yang hanya menyentuh angka 79ms. Hal ini berarti Stadia punya response time 2x lebih lambat dibanding bermain di PC sendiri. Jangan lupakan juga, Digital Foundry menggunakan koneksi internet di UK (setahu saya), yang kemungkinan besar lebih baik dari koneksi di Indonesia.
Selain soal bandwidth dan latency, persoalan juga datang dari kuota data yang dibutuhkan. Jika requirements yang ditunjukkan oleh Google memang benar adanya, 20Mbps untuk 1080p dan 10Mbps untuk 720p, Anda berarti butuh kuota 9GB per jam untuk streaming game di 1080p dan 4,5GB per jam untuk 720p.
Buat yang tinggal di Jakarta dan punya akses ke provider internet kabel sekelas CBN, Biznet, My Republic, ataupun First Media, Anda memang tak perlu khawatir soal kuota karena memang benar-benar unlimited. Namun jika Anda tinggal di luar Jakarta dan (atau) hanya punya akses ke ISP yang jangkauannya paling luas di Indonesia (yang tak perlu lagi saya sebutkan namanya), istilah unlimited-nya ada tanda bintangnya alias tidak sepenuhnya jujur karena ada aturan FUP (Fair Usage Policy).
Kebutuhan internet ini mungkin sekilas lebih sederhana dan bisa jadi lebih murah ketimbang membeli seperangkat console ataupun PC gaming. Namun faktanya, sebagian besar penduduk Indonesia tak bisa memilih provider internet (khususnya kabel) yang mereka inginkan.
Padahal, varian kartu grafis yang tersedia di Indonesia itu sangat beragam. Anda juga bisa mendapatkan Nintendo Switch ataupun PlayStation 4 dengan mudah di Indonesia. Jadi, kebutuhan atas mesin gaming yang ideal itu lebih mudah didapatkan karena hanya soal seberapa besar anggaran yang Anda miliki. Sedangkan koneksi internet yang ideal? Bisa jadi, berapapun jumlahnya, kekayaan Anda tetap tak bisa membeli koneksi internet yang ideal jika Anda bersikeras tinggal di satu lokasi.
2. Penghematan anggaran yang masih sebatas teori?
Untuk bisa bermain game di Stadia, Anda tetap harus membeli game-nya dan juga membayar biaya berlangganan. Hal ini mungkin sama juga sistemnya dengan console generasi sekarang (PS4, Switch, Xbox One) jika ingin mendapatkan fitur online-nya. Namun setidaknya, di console, Anda tetap bisa memilih untuk tidak menggunakan fitur tersebut.
Di PC, Anda bahkan tak perlu membayar biaya langganan apapun untuk bermain online meski mungkin PC bisa jadi lebih boros juga pengeluarannya dibanding console jika ingin mendapatkan mesin gaming yang ideal.
Selain masih harus membeli game-nya, jangan lupa dengan kecepatan koneksi rata-rata Indonesia yang masih di bawah 20Mpbs. Hal ini berarti Anda hanya bisa mendapatkan kualitas 720p 60fps dengan Google Stadia. Padahal PC gaming generasi sekarang (2019) yang mampu memberikan kualitas gaming 720p 60fps itu sudah sangat terjangkau. Jadi, membeli PC gaming tadi justru jadi solusi yang lebih ideal untuk bermain game di 720p 60fps dibandingkan Stadia yang masih punya problematika soal latency.
Penghematan anggaran memang akan jauh lebih terasa jika Anda ingin mengejar kualitas 4K gaming namun, mengingat kondisi jaringan internet di Indonesia, hal ini berarti Anda harus pindah tempat tinggal yang memiliki akses internet 35Mbps ke atas dengan harga terjangkau dan tanpa kuota sama sekali.
3. Berkurangnya taman bermain untuk para game modder
Absennya akses pengguna ke file game mungkin memang bisa menekan angka pembajakan dan cheater, namun kekurangannya juga tak bisa dipandang sebelah mata; setidaknya bagi saya pribadi yang memang suka bermain-main dengan game modding.
Dari namanya, game modding adalah modifikasi file game untuk berbagai tujuan. Aspek krusial yang membedakan modding dengan cheating adalah tujuannya karena tujuan modding bisa sangat beragam; sedangkan tujuan cheating hanya satu. Modding ini bisa berarti mengganti texture, model 3D, scripting, ataupun animasi tertentu di sebuah game.
Modding mungkin dipandang tidak penting buat kebanyakan gamer namun, faktanya, modding adalah faktor terbesar yang memungkinkan game-game singleplayer masih terus eksis dan dimainkan selama bertahun-tahun. Salah satu contohnya adalah Skyrim.
Buat yang paham sejarah, modding sendiri juga berperan besar atas perkembangan industri game ataupun esports sampai hari ini. Kenapa? Karena tanpa yang namanya modding, tidak ada yang namanya Counter Strike dan DotA. Cari sendiri soal sejarah Counter Strike dan DotA ya, kalau belum tahu.
4. Sentimen negatif terakhir dari Stadia juga karena ia adalah produk Google
Di satu sisi, mungkin memang hanya segelintir raksasa teknologi sekelas Google yang punya kapasitas untuk membuat layanan game streaming berhasil. Namun di sisi lain, bagi saya, Google pun punya rekam jejak negatif untuk sejumlah produk mereka.
Seperti yang saya tuliskan tadi di atas, Google punya sejumlah produk yang sudah masuk kuburan (seperti Google Plus, Google URL Shortener, dan masih banyak lagi yang bisa Anda temukan daftarnya di tautan ini). Nah berhubung game–game yang Anda mainkan di Stadia semuanya tersimpan di data center, bukan tidak mungkin juga Anda akan kehilangan semuanya andaikan satu saat layanan ini tidak laku dan masuk peti.
Di sisi lainnya, jika berbicara soal Google, ada satu produk mereka yang mungkin memang populer tapi sangat tidak saya sukai; yaitu Google Play. Kenapa? Karena Google Play lebih mengandalkan mesin untuk memberikan rekomendasi. Padahal, game adalah sebuah karya kreatif yang membutuhkan kemampuan kognitif manusia untuk menilainya.
Google Play lebih mengutamakan jumlah download dan penilaian berbasis kuantitatif sebagai landasan penilaian mereka. Bagi saya pribadi, Anda tidak bisa melakukan hal tersebut atas sebuah hasil kreatifitas. Karena, jumlah download itu mudah dikejar jika punya anggaran iklan yang besar; tanpa memedulikan kualitas.
Popularitas itu juga malah biasanya berbanding terbalik dengan kualitas. Tak sedikit game-game yang populer di Google Play justru rendah nilai originalitasnya; entah soal aset-aset kreatif ataupun gameplay yang terang-terangan meniru yang lain.
Sebenarnya memang ada game–game di Google Play yang istimewa kualitasnya namun sistem yang digunakan sekarang justru membuat mereka tenggelam, terhimpit oleh yang picisan. Seberapa banyak dari Anda yang tahu Battleheart Legacy, Implosion, Evoland 2, The Room, DEEMO, ataupun game-game underrated yang lainnya?
Tenggelamnya banyak game berkualitas itu juga saya kira disebabkan karena standar penilaian yang mungkin terlalu rendah untuk bisa masuk ke Google Play, sehingga terlalu banyak dan justru menyulitkan pengguna. Menemukan game–game berkualitas di Google Play bahkan, bagi saya, seperti ibarat menemukan harta karun di antara timbunan sampah…
Menurut data Statista, ada 3,5 juta aplikasi di Google Play di Desember 2017. Di sisi lain, Google sendiri yang mengumumkan bahwa mereka menemukan 700 ribu aplikasi yang menyalahi aturan main Google Play di 2017 juga. Hitung-hitungannya berarti 1 dari 5 aplikasi yang ada saat itu bermasalah. Memang Google Play juga sudah mencoba memperbaiki semua masalah yang ada di sini, termasuk mencoba memberikan kurasi game dan aplikasi yang berbasis penilaian manusia.
Namun, untuk sebuah produk yang jadi sumber utama sistem operasi mendapatkan aplikasi dan ada di semua produk Android, saya kira usaha Google masih jauh dari maksimal… Itu tadi Google Play yang dipakai oleh semua pengguna Android. Pertanyaannya, bagaimana dengan Stadia yang mungkin akan jauh lebih sulit untuk meraih popularitas? Andaikan nanti Stadia juga akan memiliki marketplace, suram saja membayangkan jika semua permasalahan Google Play juga ada di sana.
https://www.youtube.com/watch?v=vsaenNSjclY
Penutup
Akhirnya, mungkin memang Stadia belum akan tersedia untuk kawasan Asia (termasuk Indonesia) saat dirilis nanti. Kita juga belum tahu apakah memang Google punya rencana membawa Stadia ke Indonesia di masa depan. Meski begitu, saya kira artikel ini menjadi penting karena dua hal.
Saya rasa teknologi game streaming memang cukup masuk akal untuk berjalan bersama ataupun malah menggantikan ekosistem dan industri gaming yang ada sekarang (asalkan infrastruktur jaringan internetnya sudah mumpuni) dan Google sendiri pun punya kapasitas untuk mendisrupsi status quo. Ditambah lagi, saya juga jadi bisa menyematkan banyak kritik di artikel ini… Nyahahaha…