Dark
Light

Memahami Pentingnya “Design Thinking” Saat Merintis Startup

1 min read
May 13, 2019
Belajar dari CEO Moselo Richard Fang tentang "design thinking" di #SelasaStartup
CEO Moselo Richard Fang / DailySocial

Desain itu bukan berbicara soal visual, baik dari bentuk, warna, tampilan, mood, atau sebagainya. Desain itu bagaimana sesuatu bekerja.

Ambil contoh misalnya bangku. Penamaan bangku itu bukan karena dari bentuknya yang memiliki empat kaki sebagai penyangga, sehingga disebut bangku, melainkan sengaja dirancang memiliki empat kaki sebagai penyangga untuk mencegah orang yang duduk di atasnya tidak terjatuh.

Hal ini berkaitan dengan bagaimana saat founder berencana untuk merintis startup. Seringkali founder salah kaprah saat membuat produk, lebih mengutamakan desain daripada fungsi.

Oleh karena itu, design thinking adalah proses memecahkan masalah yang menggunakan berbagai unsur dari toolkit perancang seperti empati dengan fokus pengguna dan percobaan untuk mendapatkan solusi baru.

“Empati itu bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Ketika buat bisnis, empati itu penting dan jadi elemen penting saat design thinking,” terang CEO Moselo Richard Fang.

Moselo sendiri adalah marketplace produk kreatif dan handmade.

Design thinking menjadi topik utama di #SelasaStartup edisi pekan pertama Mei 2019. Dia memberikan banyak masukan terkait design thinking, termasuk pentingnya empati. Berikut rangkumannya:

Ketahui siapa konsumen dan fokus ke masalahnya

Empati itu memiliki kesan emosional, berbeda dengan simpati. Empati bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Untuk itu, ketika mendirikan sebuah bisnis, empati itu adalah unsur penting dan jadi elemen terpenting dalam design thinking.

Agar bisa merasakan empati, sambung Richard, founder harus tahu siapa konsumennya. Cukup kontras dengan pola kerja dari makers yang umumnya kurang peduli dengan hal tersebut. Mereka biasanya lebih memikirkan tampilan, desain, tapi lupa siapa yang akan memakainya.

“Lalu fokus ke masalah mereka, bagian apa yang buat mereka ‘sakit’ selama ini. Nah itu yang kita desain untuk memecahkan masalahnya.”

Ciptakan ide dan solusi, lalu berani eksperimen

Berikutnya, founder dituntut untuk menerjemahkan masalah konsumen dengan menciptakan ide dan solusi. Keduanya harus berbasis analisis dan intuisi yang berimbang. Kebanyakan founder mengacuhkan intuisi, sehingga produk mereka jadi berat sebelah karena terlalu banyak basisdata yang dipakai sebagai landasannya.

Banyak dari mereka yang harus berkali-kali mengubah bisnis karena kesalahan tersebut. Padahal, menurutnya, data itu sejatinya hanya sebuah bukti, sehingga tidak bisa benar-benar menjadi solusi. Ketika produk sudah jadi, founder harus berani bereksperimen dan berani menerima kegagalan berkali-kali.

“Salah itu enggak apa-apa, asal habis itu langsung bangkit lagi. Yang jadi masalah itu baru sekali salah berasumsi di awal, sehabis itu langsung down. Kalau salah cari di mana titik kesalahannya, dan tes berulang kali.”

Jangan sampai founder sibuk bereksperimen sampai akhirnya startup tutup karena belum bisa menghasilkan uang. Menurut Richard, sedari awal founder harus mencari revenue. Tak masalah apabila sembari tes pasar founder bisa melakukan pekerjaan sampingan agar tetap hidup sehingga tidak harus bergantung pada uang investor saja.

Previous Story

Team Secret Juarai Major Kedua di MDL Disneyland Paris Major 2019!

Next Story

Google Podcasts Kini Tersedia untuk Perangkat iOS dan Desktop via Web App

Latest from Blog

Don't Miss

Belajar Mobile Photography, Kiat Memotret dengan Kamera Smartphone

Belajar Mobile Photography, Kiat Memotret dengan Kamera Smartphone

Mobile photography adalah salah satu skill penting yang perlu dikuasai

Tips Streetphotography dengan Ponsel 

Kami berbincang dengan mentor dari acara workshop foto Hybrid tentang