Team Ninja, pengembang game Dead or Alive 6 (DoA 6), mengumumkan kehadiran DoA 6 World Championship tahun ini. Menghadirkan total hadiah US$90 ribu (sekitar Rp12 milyar), kompetisi ini menjanjikan akan memiliki regional qualifier dan gelaran Grand Final di Jepang.
Bagi Anda yang mungkin masih cukup awam dengan ragam game fighting, mari saya jelaskan terlebih dahulu apa itu Dead or Alive secara singkat. Game ini merupakan game fighting besutan Tecmo dan Team Ninja. Seri ini pertama kali rilis tahun 1996, dan muncul dengan ciri khas sebagai game fighting 3D bertempo cepat. Seiring perkembangan, entah kenapa Dead or Alive mengalami pergeseran, dan kini lebih terkenal sebagai game fighting dengan jejeran petarung perempuan yang super seksi.
Kualifikasi internasional DoA 6 World Championship pertama kali dimulai pada 20 April 2019 dalam event THE MIXUP di Lyon, Perancis. Tentunya kualifikasi tidak hanya diadakan di Perancis saja. Akan ada serangkaian turnamen lain sepanjang 2019, untuk melengkapi 16 petarung terbaik yang akan bertarung dalam pertandingan Grand Final di Jepang nanti.
Mengutip laman resmi Team Ninja baru ada 3 kompetisi untuk regional Asia. Kompetisi tersebut adalah Asia Qualifier di Taiwan yang dijadwalkan musim panas 2019 ini (Antara Juni – September), Fatal Match di Jepang yang dijadwalkan musim gugur 2019 (Antara September – Desember), dan Asia Online Qualifier yang masih bertandakan TBD.
Lebih lanjut soal kualifikasi, kabarnya juga DoA World Championship akan menggunakan sistem poin, sistem kualifikasi yang kerap digunakan dalam ragam esports game fighting. Regional Amerika Serikat, Asia, dan Eropa akan memiliki leaderboard poin masing-masing. Nantinya top 5 dari Amerika Serikat, top 3 dari Asia dan Eropa akan lolos untuk bertanding di babak Grand Final. Lima spot lain akan diberikan kepada pemenang gelaran kompetisi offline Fatal Match, dan DEAD OR ALIVE Festival.
Walaupun insiatif esports dari Team Ninja sebenarnya cukup baik, namun kenyataannya adalah, keseriusan game DOA selama ini kerap dipertanyakan oleh komunitas FGC. Membicarakan hal ini, Bram Arman, Founder dari Advance Guard, yang juga bisa dibilang sesepuh komunitas FGC, turut angkat bicara. “Bicara soal kompetisinya sendiri, sebenarnya nggak jauh beda dari game fighting world tour lainnya, yang bersifat open tournament. Lalu kalau bicara soal kesempatan Indonesia dalam kompetisi ini, sejauh yang saya tahu anak anak FGC Indonesia jarang ada yang betul-betul serius main game ini.” ujar Bram.
Lalu, apakah dengan insiatif esports dari Team Ninja akan meningkatkan perhatian komunitas FGC Indonesia terhadap game yang satu ini? Bram menambahkan, menurutnya hal ini tidak berpengaruh besar. “Nggak ngaruh kalau komunitas lokalnya nggak ada. Ini terbukti dengan Injustice dan Killer Instinct yang punya world tour, tapi tetap tidak ada orang Indonesia yang main dengan serius.” jawab Bram.
Apakah dengan inisiasi esports dari Team Ninja ini, kesuksesan DOA sebagai game fighting bisa meningkat? Siapa yang tahu, kalau ternyata konten game yang “menghibur”, dipadukan dengan esports, menjadi sebuah kunci kesuksesan sebuah game.