Kesuksesan Asian Games 2018 yang baru saja berakhir beberapa waktu lalu adalah kebanggaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Di dunia esports, perhelatan tersebut juga merupakan langkah besar untuk membawa bidang ini ke panggung yang lebih tinggi. Beberapa game seperti Clash Royale dan Arena of Valor telah turut dilombakan, meski status kompetisinya masih uji coba.
Target berikutnya, menurut Presiden Asian Electronic Sports Federation (AESF) Kenneth Fok, adalah mempertandingkan esports di ajang Olimpiade Tokyo 2020. Sebagaimana dilaporkan oleh Tempo, Fok cukup optimis usulan ini bisa diterima mesti tantangannya berat. AESF juga sedang mengusahakan agar esports bisa masuk ke dalam rangkaian kompetisi SEA Games 2019 di Manila, Filipina.
Sayangnya, optimisme Fok tidak sejalan dengan pandangan Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC), Thomas Bach. Bukan berarti esports sama sekali tak mungkin muncul di Olimpiade. Hanya saja, kata Bach, ada beberapa kondisi penting yang harus diperhatikan. Terutama tentang jenis game yang ditandingkan nantinya.
“Kita tidak bisa menerima game yang mempromosikan kekerasan atau diskriminasi ke dalam program Olimpiade,” demikian ujar Bach dalam wawancara dengan The Associated Press. Game bertema bunuh-membunuh, menurut Bach, bertentangan dengan nilai-nilai Olimpiade dan tidak bisa diterima.
“Tentu saja setiap olahraga beladiri memiliki akar dari pertarungan sungguhan. Tapi olahraga adalah bentuk beradab dari pertarungan itu. Bila Anda memiliki permainan yang isinya tentang membunuh orang lain, itu tidak selaras dengan nilai-nilai Olimpiade.” Thomas Bach sendiri dulunya merupakan peraih medali emas Olimpiade di cabang olahraga anggar.
Isu tentang kekerasan memang sudah lama bersinggungan dengan dunia video game. Sementara kita tenggelam dalam ingar-bingar Asian Games, warga kota Jacksonville di Amerika Serikat sedang berduka akibat kasus penembakan masal. Penembakan tersebut terjadi di tengah turnamen Madden NFL 19, tepatnya pada 26 Agustus 2018.
World Health Organization (WHO) baru-baru ini juga telah mengkategorikan gaming disorder sebagai salah satu kondisi kelainan mental. Kondisi ini memiliki tiga unsur, yaitu bila seseorang:
- Tidak bisa mengontrol perilaku bermain game
- Memprioritaskan game daripada aktivitas atau minat hidup lainnya
- Terus bermain meskipun dampak negatifnya terlihat jelas
Bila tiga perilaku di atas berlangsung terus selama setahun lebih, maka ia dapat didiagnosa sebagai pengidap gaming disorder.
Keberadaan esports di Olimpiade sendiri sebetulnya bukan suatu hal yang benar-benar baru. Meski belum di Olimpiade utama, video game sudah muncul dalam Special Olympics USA Games 2018 pada bulan Juli lalu. Game yang dipertandingkan saat itu adalah Forza Motorsports 7 besutan Microsoft.
Presiden Special Olympics USA Games 2018, Beth Knox, berkata, “Banyak dari atlet kita adalah penggemar berat game, dan berbagai riset menunjukkan bahwa bermain video game dapat meningkatkan kemampian kognitif serta motorik orang-orang dengan disabilitas intelektual.”
Hubungan antara video game dan hal-hal negatif seperti kekerasan tentu saja masih dapat diperdebatkan. Banyak faktor dan kondisi di luar game sendiri yang mempengarui suatu kejadian. Peristiwa di Jacksonville pun disinyalir terjadi lebih dikarenakan kondisi hukum pemilikan senjata bukan game. Namun perhelatan Olimpiade sendiri memang memiliki prinsip atas penyelenggaraan acara. Dari enam game yang dipertandingkan dalam Asian Games 2018, tiga di antaranya memang mengandung unsur kekerasan (Starcraft II, Arena of Valor, dan League of Legends).
Bila AESF ingin mengusung esports ke Olimpiade, pemilihan game ini harus mendapat perhatian khusus. Game kompetitif tanpa kekerasan seperti Forza Motorsports 7 bisa menjadi solusi penengah yang baik, meski itu mungkin berarti audiens yang dijangkau akan lebih kecil dibanding game bertipe MOBA. Di Asian Games 2018 sendiri, ada satu cabang esports bertema sepakbola yang dipertandingkan dalam format eksebisi.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa video game telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup banyak orang. Begitu juga dengan besarnya potensi positif yang ada di dalam dunia esports, baik dari segi industri maupun kehidupan masyarakat. Adalah tugas bagi para pegiat esports untuk menonjolkan sisi positif video game dan membangun ekosistem yang positif bila ingin olahraga elektronik ini bekembang pesat dan sejajar dengan olahraga konvensional.
Sumber: The Associated Press dan Variety.