Perkembangan teknologi yang pesat menjadi suatu keniscayaan yang tidak bisa hentikan. Tak ayal, bila kini berbagai industri mulai berlomba-lomba memakai teknologi terbaru untuk meningkatkan bisnisnya membawa Indonesia dalam masa transisi.
Salah satu teknologi terkini yang mulai dilirik adalah kecerdasan buatan (AI). Bisa dilihat dari berbagai perbankan yang kini memiliki AI, seperti BCA (Vira), BRI (Sabrina), Bank Mandiri (Mita), dan BNI (Cinta). Tidak hanya bank, tapi juga sudah merambah ke sektor ritel, misalnya Alfamart.
Di salah satu sesi diskusi panel bertajuk “Consumer in Focus” yang diadakan Capillary Technologies, perusahaan Singapura penyedia solusi CRM (Customer Relationship Management) dan e-commerce omnichannel, dibicarakan soal bagaimana AI akan memberdayakan commerce.
Sesi tersebut menghadirkan President & Managing Director Global Accounts & APAC Capillary Technologies Abhijeet Vijayvergiya, Director APAC Retail Pro Nicholas Ho, dan GM E-Commerce and Marketing RPX Albert Palit.
Sebelum memulai diskusi Nicholas membawa Tiongkok sebagai contoh nyata implementasi AI yang sukses dan sudah merata di masyarakat, berkat kehadiran WeChat, Alipay, dan HEMA (supermarket pintar milik Alibaba). Dari ketiga perusahaan ini, dia menyimpulkan bahwa AI itu adalah sistem back end yang bertugas memotong rutinitas manusia jadi lebih simpel.
“Semua data digital yang ada di smartphone diserap oleh sistem untuk dipelajari, termasuk oleh mesin pintar dan CRM. Yang mana hasil tersebut dipakai untuk kebutuhan sales, finance, customer service, dan sebagainya, memberikan rekomendasi apa yang sebaiknya dilakukan,” terangnya, Rabu (15/8).
Pertimbangan saat hendak implementasi AI
Dalam kenyataannya, masih banyak pihak yang masih ragu-ragu kapan waktu yang tepat untuk implementasi AI. Apakah harus menunggu perusahaan menjadi besar, sehingga data yang bisa didapat jadi lebih banyak, atau sedari dini saja?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Albert berpendapat bahwa sebenarnya perlu dilakukan sejak dini untuk hal-hal yang simpel. Dia mencontohkan untuk pebisnis yang punya toko online, bisa dimulai dari kebutuhan customer service (CS) dengan memakai chatbot/memberikan rekomendasi berteknologi AI untuk otomasi layanan.
Dampaknya adalah perusahaan bisa melayani konsumen dalam 24 jam, tanpa harus menambah sumber daya manusia tambahan. Di satu sisi bisnis akan jadi lebih efisien karena semua pesanan diterima oleh robot, namun di sisi lain terjadi isu efisiensi tenaga kerja karena sudah diambil alih.
“Sehingga ini jadi isu tersendiri di Indonesia. Bisnis jadi lebih efisien karena tidak perlu nambah orang untuk menangani pesanan yang masuk sebab sudah ditangani oleh robot.”
Selain chatbot, AI dapat dimanfaatkan untuk memberikan rekomendasi, inilah yang sudah dimanfaatkan banyak layanan e-commerce. AI memberikan rekomendasi berdasarkan data profiling yang dimiliki dari histori pengguna, sehingga lebih tepat sasaran dan memberikan konversi penjualan yang lebih baik.
Di sisi lain, masih ada tantangan lain yakni mendapatkan data yang berkualitas dan terpercaya itu masih susah di Indonesia. Buat perusahaan skala kecil, yang mana data konsumen belum banyak bisa terkumpul biasanya akan kesulitan saat ingin memanfaatkan AI.
Padahal data yang baik itu keberadaannya sangat dibutuhkan oleh bisnis, apalagi bagi AI saat mengolah data jadi lebih berkualias. Akan rugi besar bila AI terlanjur memproses data yang tidak berkualitas.
“Menggunakan AI saat ini adalah suatu hal yang harus dilakukan perusahaan sekarang juga bila dinanti-nanti akan cepat ketinggalan. Mulailah dari hal yang tersimpel untuk memulai AI,” pungkas Albert.