Nama Bitcoin dan blockchain sangat santer belakangan diperbicarakan di Indonesia. Keduanya seringkali dianggap sama, padahal sejatinya berbeda. Blockchain adalah operating system yang berdiri di atas Bitcoin yang merupakan salah satu jenis mata uang digital (cryptocurrency).
Selayaknya teknologi yang terus menerus berkembang, blockchain dan cryptocurrency pun juga demikian membuat Pang Xue Kai mendirikan Tokocrypto. Melalui Tokocrypto, Kai ingin membentuk ekosistem cryptocurrency jadi lebih terstruktur, sehingga orang-orang pun pada akhirnya bisa merasakan dampaknya di kemudian hari.
Dalam #SelasaStartup edisi pekan pertama Juli 2018, Kai akan banyak menceritakan mulai dari sejarah awal blockchain, apa kelebihan dan kekurangan dari blockchain, hingga revolusi selanjutnya dari blockchain dengan cryptocurrency.
Revolusi perjalanan blockchain
Konsep Bitcoin muncul saat krisis keuangan global di 2008, saat banyak orang kehilangan kepercayaan pada bank dan otoritas pusat. Berteknologi blockchain, Bitcoin dapat menghilangkan ketergantungan pada otoritas pusat, alias tidak ada titik pusat kegagalan, serta memecahkan inefisiensi di dunia nyata.
Satoshi Nakamoto melihat kontrol mata uang terlalu penting untuk diserahkan sepenuhnya kepada bankir dan lembaga keuangan. Hasil karyanya diterbitkan pada 2008 ke dalam milis kriptografi metzdowd.com. Setelah itu, membuat harga Bitcoin melambung tinggi hingga mencapai Rp200 juta per 1 BTC di Desember 2017. Lalu turun drastis jadi Rp60 juta.
Volatilitas harga Bitcoin yang terus berubah-ubah, sebab ide dasarnya adalah kita tidak bisa mencetak lebih banyak dari jumlah yang sudah ditetapkan yakni 21 juta BTC. Sementara sudah ada lebih dari 17 juta BTC yang beredar dan setiap harinya para penambang bersaing satu sama lain mendapatkan imbalan dari Bitcoin baru ketika transaksi berhasil diselesaikan.
Disinilah mulai terjadinya blockchain 1.0, akan tetapi kelebihan dan kekurangan. Akhirnya mendorong terjadinya pembaruan sistem ke versi 1.5 (2009-2015). Dalam versi ini ada beberapa cryptocurrency yang muncul setiap hari untuk bertarung dengan Bitcoin. Hingga kini ada sekitar 1.565 cryptocurrency yang tersedia melalui internet dan jumlah terus bertambah. Diantaranya Litecoin, Dash, Ripple, dan sebagainya.
Kemudian muncul blockchain 2.0 (2015). Sebelumnya cryptocurrency dianggap sebagai mata uang saja, blockchain digunakan untuk mencatat sejarah transaksi. Di versi ini lahir Ethereum pada 2015, ini lebih dari sekadar mata uang. Juga memungkinkan pembuatan aplikasi yang terdesentralisasi pada blockchain.
Lahir blockchain 2.5 (2015-2017) dikenal sebagai blockchain baru yang dapat diprogram dengan teknologi yang berbeda dan solusi khusus dikembangkan. Di sini lahir cryptocurrency baru seperti Vechain, Neo, Nem, Waltonchain, Vechain, dan Komodo.
Versi ini punya kekurangan, ada masalah kemacetan jaringan karena jumlah pengguna yang terus meningkat. Ini menyebabkan biaya tinggi dan waktu validasi panjang misal Ethereum butuh 15 transactions per second (TPS). Disamping itu dari sisi interoperabilitas, setiap blockchain terisolasi dan tidak dapat berkomunikasi satu sama lain. Konsumsi listrik juga tinggi setiap kali menambang cryptocurrency.
Terakhir adalah blockchain 3.0 (2017-2018) hadir untuk menyelesaikan masalah di versi sebelumnya. Seperti, dalam mengatasi skalabilitas ada Ziliqa & Ethereum (Sharding), IOTA (Tangle), Bitcoin (Lighting Network), dan Nano (Directed Acylic Graph). Interoperabilitas ada Icon & Aion (Cross-chain) dan Bitcoin (Atomic Swap). Masalah lingkungan dengan Ethereum & EOS (Proof-of-Stake).
Teknologi berikutnya
Apakah selanjutnya akan ada blockchain 4.0? Pembaruan apa yang akan terjadi? Namun yang pasti cryptocurrency akan semakin berkembang karena sangat luas, sulit untuk digabungkan, namun, justru bisa diklasifikasikan sebagai komoditas, keamanan, dan aset. Di Indonesia, menurut Kai, diklasifikasikan sebagai komoditas dan harus diatur sebagai komoditas.
Kebanyakan decentralized applications (DApps) masih terbelakang dan cryptocurrency menghadapi skeptisisme. Padahal sebenarnya masih butuh waktu untuk diterima publik dan mendapatkan momentum agar bisa diadopsi secara masal. Seperti saat telepon dan internet, dalam kurang dari 30 tahun internet berkembang dari sekadar mengirim email jadi sesuatu yang tidak bisa tergantikan.
“Demikian pula bagi blockchain dan cryptocurrency yang telah datang jauh sejak munculnya Bitcoin pada 2009 sebagai mata uang terdesentralisasi,” terang Kai.
Kendati, harga Bitcoin yang menerus turun saat ini, banyak pihak yang menantikan perkembangan industri cryptocurrency secara keseluruhan. Hal ini mendorong Kai untuk mendirikan Tokocrypto pada Juni 2017. Tokocrypto adalah wadah untuk investasi aset digital dengan tampilan yang sederhana, mudah, dan aman.
Selain menyediakan Exchange, pihaknya menyediakan ekosistem yang menghubungkan unit bisnis satu sama lain. Ada Tokocrypto Launchpad sebagai inisiatif baru untuk memberikan penggunanya kesempatan untuk berinvestasi dalam proyek global blockchain yang berkualitas. Sebab, selama ini Kai melihat selama ini karena kurangnya peraturan untuk ICO, banyak investor cryptocurrency yang menjadi target penipuan ICO.
“Ke depannya cryptocurrency akan semakin berkembang dan tidak sekadar jadi currency saja, dengan segala kelebihan dari teknologi blockchain, aset digital dari cryptocurrency akan jadi the next big thing. Untuk itu lewat Tokocrypto kami ingin edukasi pasar,” pungkasnya.