Perhatian publik beberapa bulan belakangan ini banyak tertuju pada industri smartphone di Tiongkok. Bagaimana tidak, sejumlah pabrikan asal Negeri Tirai Bambu itu terkesan lebih berani berinovasi ketimbang pemain-pemain besar macam Apple dan Samsung.
Salah satu pabrikan yang dimaksud adalah Vivo, yang bisa dibilang memulai tren inovasi besar-besaran ini lewat ponsel dengan sensor sidik jari di bawah layar, yakni Vivo X20 Plus UD. Selanjutnya, lewat Vivo NEX, mereka memelopori tren anyar kamera bertipe slider yang semestinya dapat mewujudkan era baru smartphone tanpa notch.
Sekarang, bertepatan dengan perhelatan event Mobile World Congress Shanghai 2018, Vivo mengumumkan senjata barunya untuk lagi-lagi menantang dedengkot industri smartphone, yaitu teknologi pengenal wajahnya sendiri, yang diklaim lebih akurat ketimbang Face ID milik iPhone X.
Face ID, seperti yang kita tahu, bekerja dengan menganalisa 30.000 titik inframerah yang diproyeksikan ke wajah. Angkanya bertambah 10 kali lipat di sistem buatan Vivo, dengan total 300.000 titik dan kemampuan mendeteksi wajah (maupun objek lainnya) dari jarak hingga sejauh 3 meter.
Vivo menyebut sistem ini dengan istilah TOF 3D Sensing, di mana TOF merupakan singkatan dari “time of flight”, yang merujuk pada cara kerja sistem itu sendiri: cahaya diproyeksikan ke wajah, lalu sistem akan mengalkulasi waktu yang dihabiskan usai cahaya tersebut memantul dan kembali ke sensor.
Secara fisik sistem TOF 3D Sensing ini diklaim lebih ringkas dan simpel konfigurasinya, sehingga mungkin notch yang diperlukan juga bisa ikut diperkecil. Lebih lanjut, Vivo bilang bahwa teknologi ini bukan lagi sebatas konsep dan siap diimplementasikan dalam waktu dekat.
Vivo sebenarnya bukan yang pertama berani melawan Apple dalam konteks ini, Huawei sebelumnya juga sempat memamerkan teknologi Face ID-nya sendiri, yang juga diklaim lebih akurat. Yang mungkin sedikit berbeda adalah rencana Vivo untuk memaksimalkan teknologi ini di luar keperluan pengamanan biometrik, semisal untuk menyempurnakan fitur beautification maupun menjadi pelengkap augmented reality.
Sumber: The Verge dan PR Newswire.