Seperti kebanyakan perusahaan teknologi lainnya, Grab juga memanfaatkan big data yang telah dihimpun untuk meningkatkan pelayanannya agar tetap relevan di setiap negara di mana dia beroperasi, termasuk Indonesia.
Perkembangan teknologi yang cepat turut memperkaya big data Grab seiring waktunya. Tiga tahun lalu, Grab mengaku baru diunduh oleh satu juta perangkat, satu booking per dua detik, 100 perangkat CPU, satu database, dengan beberapa gigabyte data dan logs.
Hingga kini Grab telah diunduh hingga 63 juta perangkat, ribuan booking per detik, puluhan ribu CPU, ratusan database, dengan ratusan terabyte data dan logs. Data-data tersebut di antaranya berisi kebiasaaan pengguna dan pengemudi dengan identitas anonim.
Data yang dikumpulkan dimanfaatkan Grab untuk mencari solusi dan inovasi baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka pendek, Grab berupaya mengoptimalkan jumlah permintaan dengan persediaan pengemudi.
Misalnya memberi notifikasi kepada pengemudi tentang prediksi lokasi yang akan ramai dengan pesanan dalam beberapa menit mendatang.
“Banyak data yang dikumpulkan berarti ada banyak insight buat kami. Dalam seharinya kami menerima 10 terabyte data. Bila ditotal sama dengan multi-petabyte data. Ini yang menjadikan kami sebagai layanan transportasi online yang paling banyak diminta di Asia Tenggara,” terang Head of Engineering Grab Ditesh Gathani, kemarin (25/10).
Sementara untuk rencana jangka panjang, Grab ingin mengubah sistem transportasi ke arah yang lebih baik. Semisal, cara mengurangi jumlah kendaraan di jalan, menyediakan transportasi lebih aman, dan mengurangi polusi.
Salah satu contoh inovasi yang dilakukan lewat memanfaatkan big data adalah kehadiran GrabShare dan GrabNow. GrabShare adalah layanan berbagi tumpangan bersama orang lain, dengan titik tujuan searah.
Sementara GrabNow adalah cara mendapatkan pengemudi tercepat dengan langsung menghampiri pengemudi terdekat yang tidak dalam status pemesanan.
“Karena ingin mengubah sistem transportasi yang lebih baik, kami juga membuka data dengan pemerintah setempat. Salah satu yang sudah kami lakukan adalah dengan pemerintah Singapura. Kami berbagi data untuk menyelesaikan kemacetan jalan atau pembangunan infrastruktur.”
Ditesh mengungkapkan, untuk menyelesaikan masalah pihaknya menerapkan pendekatan secara hyperlocal. Misalnya, pihaknya mengirimkan 15 orang tim Grab untuk menghabiskan waktu selama enam bulan di Jakarta. Mereka akhirnya menemukan bahwa warga Jakarta ternyata akan lebih mudah memesan Grab yang ada di depan matanya.
Rutin upgrade platform
Ditesh juga menuturkan, banyaknya data yang melimpah di satu sisi memaksa Grab untuk me-rewrite sistem setiap dua tahun sekali. Maka dari itu, tim engineer Grab bekerja hanya untuk menyediakan solusi yang berlaku dalam jangka waktu dua tahun.
Tentunya, memprediksi apa yang terjadi dalam dua tahun itu bukan perkara mudah. Namun dengan bekal pengalaman yang terdahulu, ditambah kemampuan tim engineer yang mumpuni, Grab dapat mereka-reka. Setidaknya apa kemungkinan yang terjadi dalam dua tahun mendatang.
“Ini jadi tantangan tersendiri karena kita sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi dua tahun ke depan. Tapi kita dapat pengalaman terdahulu, sehingga bisa mereka-reka. Kami juga cukup terkejut dengan kemampuan tim engineer yang mampu meng-upgrade platform Grab jadi lebih scalable dalam dua tahun ke depan.”
Ditesh mengaku sejak lima tahun lalu, Grab telah melakukan rewrite sistem hingga tiga kali. Tahun ini telah mamasuki masa keempat.
Kolaborasi antar engineer di setiap negara
Berlimpahnya data, membuat perusahaan rela berinvestasi besar-besaran membangun research and development center (R&D center) di berbagai lokasi. Total R&D Grab ada enam titik, Seattle (AS), Ho Chi Minh (Vietnam), Singapura, Beijing (Tiongkok), Bangalore (India), dan Jakarta (Indonesia).
Pemilihan lokasi ini, tutur Ditesh, juga tidak sembarang. Pihaknya mempertimbangkan ketersediaan engineer lokal yang mumpuni untuk membantu bisnis Grab. Untuk lokasi yang tidak ada dalam wilayah bisnis Grab, seperti Seattle, Beijing dan Bangalore, dipilih lantaran di negara tersebut memiliki engineer bertalenta baik karena hadirnya berbagai perusahaan teknologi kelas triple A.
Bentuk kolaborasi antar engineer di setiap negara pun juga cukup intens, mereka dapat belajar dari satu sama lain. Tim engineer di luar ASEAN bertugas untuk membantu seluruh tim engineer Grab yang ada dalam menyelesaikan masalah.
Sementara tim engineer lokal karena paham dengan pasar di negara sendiri akan fokus memberi solusi yang bisa mereka lakukan.
Ambil contoh, tim Bangalore bekerja untuk fitur GrabPay. Mereka akan bekerja sama dengan tim Kudo untuk mengintegrasikan GrabPay dalam aplikasi Kudo. Sedangkan tim engineer di Indonesia fokus mempermudah proses penerimaan pengemudi baru dalam aplikasi Kudo.
“Pada intinya, tim engineer akan fokus pada nilai apa yang bisa mereka tawarkan untuk menguntungkan masing-masing negara. tim Vietnam akan bekerja untuk market mereka. Sedangkan tim Singapura mereka mampu membantu seluruh tim di Asia Tenggara.”
Dampak penunjukkan CTO baru
Selain membahas big data, Ditesh juga mengungkapkan bahwa pihak cukup senang dengan kehadiran Theo Vassilakis sebagai CTO Grab. Vassilakis akan membawahi seluruh tim R&D, termasuk Ditesh sendiri.
Pengalaman yang sudah dihimpun Vassilakis tentang big data dari perusahaan sebelumnya diharapkan dapat membantu Grab untuk scale up lebih kencang. Pasalnya, Grab kini tidak hanya sebagai perusahaan transportasi on demand, tapi kini sudah masuk ke sistem pembayaran.
“Kami harap Vassilakis dapat membantu Grab untuk scale up dalam dua hal tersebut,” pungkas Ditesh.