AR dan VR, dua akronim ini banyak menghiasi headline media publikasi dalam dua dua tahun terakhir. Keduanya sebenarnya sudah eksis sejak cukup lama, namun baru belakangan ini kembali menjadi sorotan. Yang mungkin menjadi pertanyaan, manakah dari keduanya yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap pengguna?
Secara umum, keduanya sama-sama memiliki dampak yang cukup besar terhadap cara kita berinteraksi dengan dunia digital. Kendati demikian, AR sepertinya punya masa depan yang lebih cerah jika mengamati tren terkini.
Apa itu AR?
AR atau augmented reality, dapat diterjemahkan secara harfiah menjadi realitas tertambah. Tidak seperti virtual reality yang benar-benar menyuguhkan sebuah realitas baru di hadapan pengguna, augmented reality mencoba meleburkan dunia nyata dengan dunia virtual.
Game Pokemon Go yang dirilis tahun lalu merupakan cara terbaik untuk menjelaskan konsep AR. Dengan mata telanjang, mustahil kita bisa menemukan seekor Pikachu di sebuah taman kota. Namun ketika dilihat melalui kamera smartphone, akan muncul sejumlah Pokemon yang berkeliaran.
Lingkungannya (taman kota) nyata, tapi objeknya (Pokemon) hanyalah ilusi belaka yang cuma bisa dilihat melalui smartphone, kira-kira seperti itu deskripsi sederhana AR. Sejauh ini kesannya AR mungkin hanya bermanfaat di bidang hiburan, tapi kenyataannya tidak demikian.
Manfaat AR
Selain memunculkan genre baru di bidang gaming, AR menyimpan banyak potensi di dunia pekerjaan. Contoh yang terbaru adalah Ford, yang memanfaatkan HoloLens untuk mempercepat proses desain mobil, memungkinkan tim desainernya untuk bereksperimen dan berkolaborasi dengan mudah dan cepat.
Contoh lain adalah Google Glass, yang belum lama ini dirilis kembali tapi khusus untuk kalangan enterprise saja. Tidak main-main, klien Google Glass mencakup nama-nama besar seperti Boeing, Volkswagen, General Electric dan DHL.
Di tangan para profesional ini, AR memungkinkan mereka untuk, misalnya, memproyeksikan desain baru moncong depan mobil di atas sebuah model fisik, lalu mengamati apa saja kekurangannya dan langsung mengerjakan revisinya tanpa harus membuat ulang model fisiknya.
Dalam konteks lain, pekerja pabrik yang menggunakan Google Glass jadi tidak perlu lagi membawa-bawa buku petunjuk selagi kedua tangannya disibukkan dengan sesuatu, sebab penerapan teknologi AR dalam Glass memungkinkan semua informasi yang dibutuhkan untuk ditampilkan langsung di hadapan mereka.
AR juga perlahan menunjukkan tajinya dalam keperluan marketing. Salah satu yang paling baru adalah Supercell, yang memanfaatkan platform AR milik Facebook untuk mempromosikan salah satu game terlarisnya, Clash of Clans.
Manfaat lain AR yang tidak kalah penting adalah di bidang pendidikan, dan ini sudah mulai meluas perkembangannya di tanah air. Startup asal Bandung, Octagon Studio, sudah cukup lama memasarkan flashcard berbasis AR yang dirancang untuk mengajarkan alfabet, bahasa maupun beragam pengetahuan umum lainnya secara interaktif.
Masih seputar pendidikan, ada aplikasi edukatif bernama Kartu Muslim yang digarap oleh sejumlah karyawan dari studio game lokal Touchten bersama Ustad Wijayanto. Ke depannya tren penerapan AR dalam bidang pendidikan dipastikan bakal terus berkembang, apalagi dengan adanya eksposur dari event seperti Jakarta XR Meetup.
Naik-turunnya tren AR
Manfaat-manfaat yang telah saya jabarkan di atas sebenarnya sudah bisa menggambarkan masa depan AR yang cukup cerah. Namun demikian, masih ada alasan lain mengapa AR punya peran yang sangat penting terhadap konsumen, bahkan lebih penting ketimbang VR.
Utamanya adalah bagaimana AR dapat mengubah cara kita berinteraksi dengan smartphone atau tablet, dan di saat yang sama masih melibatkan sejumlah objek fisik di sekitar. Saya ambil contoh Osmo Pizza Co., yang pada dasarnya merupakan perpaduan board game dan video game, dengan elemen edukatif yang tersisipkan secara elegan.
Dalam permainan ini, anak-anak berusia 5 – 12 tahun akan diajak belajar untuk menjalankan bisnis pizza-nya sendiri. Namun tidak seperti game simulasi pada umumnya, interaksi dalam Osmo Pizza Co. mengandalkan sejumlah objek fisik, mulai dari uang-uangan sampai adonan pizza palsu beserta topping-nya.
Sistem permainan seperti ini menurut saya dapat menyajikan porsi yang pas antara interaksi digital dan fisik; anak-anak yang bermain tidak hanya menikmati konten yang ditampilkan di layar secara pasif, tapi juga aktif mengutak-atik beragam alat bantu yang ada di sekitarnya tadi.
Pertanyaannya, mengapa baru sekarang AR kembali menjadi buah bibir? Padahal kalau Anda ingat, Nokia sempat meluncurkan aplikasi bernama City Lens di tahun 2012, yang memudahkan pengguna mencari lokasi menarik di sekitarnya hanya dengan mengarahkan kamera.
Ok, saya akui Nokia City Lens adalah contoh yang buruk, sebab aplikasi tersebut hanya tersedia untuk platform Windows Phone yang terbukti tidak laku. Namun poin yang ingin saya tekankan adalah, AR sudah menunjukkan potensinya sejak lama, tapi kemudian ia sempat hilang dari pembicaraan dan akhirnya bangkit kembali bersama dengan VR.
Lalu jika melihat perkembangannya, AR bisa dikatakan lebih maju dibanding VR. Kok bisa? Salah satu alasannya merujuk pada keterlibatan Apple dan Google. Dua perusahaan yang bertanggung jawab atas dua sistem operasi mobile terlaris itu belum lama memutuskan untuk serius memaksimalkan potensi AR.
ARKit dan ARCore
Buah pemikiran mereka adalah ARKit dan ARCore, yang sederhananya memungkinkan iOS dan Android untuk mendukung teknologi augmented reality secara native, tanpa memerlukan komponen ekstra maupun perangkat khusus.
Sebelum ARKit dan ARCore, Pokemon Go memang sudah bisa berjalan dengan lancar di iOS dan Android. Namun dengan ARKit dan ARCore, penerapan AR dapat lebih dimaksimalkan karena developer aplikasi dan game dapat mengakses beragam fungsinya secara mendalam.
ARKit pada dasarnya memungkinkan peningkatan kualitas grafik objek virtual yang ditampilkan. Hal ini dikarenakan hampir semua pemrosesan yang dibutuhkan dilakukan oleh prosesor, sehingga pada akhirnya GPU yang tidak tersentuh tersebut bisa dimaksimalkan oleh developer.
ARKit sejatinya memungkinkan developer untuk berfokus pada penyajian konten tanpa perlu memusingkan aspek krusial lain macam tracking, sebab semuanya sudah ditangani oleh ARKit. Ini juga yang menjadi alasan mengapa kursi dan sofa virtual yang disuguhkan aplikasi Ikea Place tampak cukup mendekati aslinya.
ARKit juga menjadi alasan di balik kemunculan game yang sepenuhnya bergantung pada teknologi augmented reality seperti The Machines, atau menjadi pengganti efek animasi rotoscoping secara instan.
ARCore di sisi lain bisa disebut sebagai ARKit versi Android. Google sebelumnya memang sudah punya inisiatif sendiri untuk AR, yakni melalui Project Tango. Namun karena membutuhkan perangkat yang dilengkapi komponen khusus, Tango belum mampu mengatrol popularitas AR.
Lain halnya dengan ARCore, yang dirancang agar bisa berjalan di banyak smartphone yang menjalankan OS Android versi 7.0 Nougat. Premisnya hampir sama seperti ARKit, dimana kapabilitas tracking akan ditangani oleh sistem, dan developer tinggal berkonsentrasi pada konten.
Banyak yang memprediksi ARKit dan ARCore bakal menggerakkan popularitas tren AR ke depannya. Alasannya sederhana saja: keduanya sudah langsung tersedia di jutaan perangkat, sehingga status mainstream yang bakal melekat pada AR sebenarnya hanya tinggal menunggu waktu sesaat saja. VR di sisi lain sulit mengalami nasib yang sama karena konsumen diharuskan membeli perangkat baru.
Masa depan AR
Dari segi software, AR sebenarnya sudah tergolong sangat matang berkat kehadiran ARKit dan ARCore. Namun dari segi hardware, AR mungkin masih belum menemukan medium yang tepat; memegang smartphone dan mengarahkan kameranya bukan cara yang praktis untuk menikmati AR.
Kacamata atau headset merupakan salah satu solusi yang tengah dikejar banyak pihak. Salah satunya adalah sebuah startup bernama Mira, yang menawarkan AR headset berbasis mobile – macam Gear VR, tapi untuk AR. Tak hanya startup kecil, nama besar seperti Intel pun juga mulai berfokus ke AR, meski sejauh ini apa yang dikerjakannya masih misteri.
Di tempat lain, ada Disney yang percaya AR lebih ideal ketimbang VR dalam konteks taman hiburan. Disney bahkan telah bekerja sama dengan Lenovo untuk mengembangkan AR headset spesial yang dirancang untuk para pencinta Star Wars, lengkap dengan motion controller berwujud Lightsaber.
Semua ini bisa mengindikasikan masa depan AR yang cerah. Saya tidak bilang VR bermasa depan suram, hanya saja perkembangannya mungkin tidak akan secepat AR yang lebih mudah diterima dan diadopsi oleh konsumen secara luas berkat akses yang jauh lebih gampang.