Berbeda dari banyak produsen lain yang baru mulai bermain di bidang penyediaan gaming gear karena meningkatnya permintaan konsumen, Asus telah menekuni bidang itu tak lama setelah mengenalkan brand Republic of Gamers. Dan di lini mouse, ROG GX1000 Eagle Eye merupakan senjata andalan Asus yang diklaim dapat membantu Anda unggul dalam permainan.
Lewat GX1000, Asus menjanjikan banyak hal: sensor laser presisi, performa respons tinggi, serta nyaman digunakan dalam sesi gaming berdurasi lama. Device mengusung desain ambidextrous, dipadu layout tombol yang familier. Pemilihan materialnya juga tidak sembarangan, Asus ingin menunjukkan bahwa perangkat ini merupakan gaming gear premium. Maksud dari kata ‘eagle eye‘ sendiri bisa segera Anda lihat begitu mouse disambungkan ke PC.
Sebagai penikmat game action dan first-person shooter, saya lebih memilih mouse dengan tubuh simpel dan rancangan simetris ketimbang tipe yang mengedepankan faktor ergonomis. Saya selalu meminimalisir input via mouse kecuali jika betul-betul mendesak, karena hal itu bisa memengaruhi bidikan, apalagi saya biasanya menggunakan setting sensitivitas tinggi. Dan kesederhaan desain juga membuat peluang rusak jadi lebih kecil.
Menakar dari faktor-faktor tersebut, arahan GX1000 boleh dibilang sudah tepat bagi gamer seperti saya. Namun tentu saja kualitas sesungguhnya dari produk ini baru tersingkap setelah sering digunakan. Dan lewat artikel ini, saya akan menjabarkan itu semua kepada Anda.
Packaging
GX1000 dikemas di dalam bungkus yang stylish dengan konten sederhana. Selain unit mouse, Anda bisa menemukan lembar panduan, mouse pad, dan kotak berisi pemberat. Area glossy di samping dan di bawah tombol utama dilapis oleh plastik, mungkin dimaksudkan untuk melindunginya dari baret hingga produk tiba di tangan Anda.
Design
Seperti yang sempat dibahas di atas, ROG GX1000 Eagle Eye memanfaatkan kiblat desain simetris dan bersudut. Periferal ini akan terlihat serasi saat dijajarkan bersama PC dekstop atau notebook gaming ROG berkat kombinasi pelat aluminium brushed abu-abu di bagian punggung dan tombol, serta chassis plastik dengan permukaan glossy dan matte. Bagian tengah tubuhnya dibuat ramping dan sedikit menjorok ke dalam, mungkin dimaksudkan supaya jari Anda mudah menguncinya.
‘Eagle Eye’ mengacu pada dua lampu LED mirip mata elang yang diposisikan di zona bawah-belakang. Saat menyala, lampu akan menyinari mouse mat Anda dengan cahaya bercorak segitiga berkat lapisan plastik berpola. LED bukan sekedar pemanis penampilan, tapi juga berfungsi sebagai indikator profile. Profile bisa diganti secara on-the-fly cukup dengan menekan tombol bulat di bawah mouse (sebelah sensor), dan secara otomatis juga akan mengubah warna-nya – yakni merah, hijau, jingga atau non-aktif.
Penempatan tombol GX1000 tak jauh berbeda dari mouse ambidextrous lain: ada dua tombol utama dari aluminium mengapit scroll wheel dan switch DPI. Switch DPI tersebut dibekali lampu indikator, level DPI ditandai garis merah. Material aluminium di sana terpisah jadi tiga bagian, dan salah satunya melapisi punggung mouse. Asus tidak membubuhkan tombol di bagian kanan, melainkan menaruh tiga tombol thumb programmable di sisi kiri.
ROG GX1000 mempunyai tubuh selebar 128,5×65,5-milimeter dan berdiri setinggi 43,5-milimeter. Bobotnya sendiri berada di batasan nyaman, sekitar 140-gram. Jika menurut Anda terlalu ringan, silakan tambahkan tablet pemberat dengan membuka panel di bawah (tinggal ditekan). ROG GX1000 bisa memuat lima tablet pemberat, masing-masing berbobot 5-gram.
Mouse terkoneksi ke PC lewat kabel braided berbahan nilon USB sepanjang 1,7-meter.
Build quality
Bahan plastik dan aluminium ROG GX1000 terpadu optimal. Struktur mouse terasa kokoh dan tidak ada bagian-bagian empuk. Saat area dekat tombol samping ditekan, sama sekali tidak ada registrasi input (terjadi di ThermalTake Talon yang saya gunakan). Satu kekurangan kecil yang saya lihat ialah adanya gap antara pelat tombol dan lapisan aluminium dengan plastik hitam.
Saya pribadi menyukai sistem penutup slot pemberat dengan mekanisme pernya. Melalui metode ini, tidak ada bagian yang perlu ditarik dan memastikannya gampang dibuka tutup.
Comfort
Sebagai referensi, saya adalah seorang pengguna mouse dengan postur claw atau seperti mencakar. Itu artinya, saya menempelkan sedikit telapak tangan di punggung bawah mouse dan mengandalkan ruas jari paling ujung untuk menekan tombol. Saya sudah lama memakai Razer Diamondback hingga akhirnya harus pindah ke MSI Clutch GM40. Jadi seharusnya proses adaptasi ke ROG GX1000 tidaklah sulit.
Kendalanya, body ROG GX1000 yang bersudut memang memengaruhi faktor kenyamanan. Sudut lampu eagle eye-nya terlalu menonjol dan menekan bagian dalam jari kelingking, jadi kurang nyaman seandainya saya mencengkeram mouse secara erat. Kabar gembiranya, dua tombol utama dengan switch OMRON D2FC-F-FN terasa empuk dengan resistensi yang pas dan konsisten. Lalu putaran scroll wheel juga seimbang – tidak kaku, dan tidak pula terlalu bebas.
Punggung mouse yang cembung juga menyebabkan jangkauan jari jadi lebih pendek. Jempol saya hanya bisa meraih satu tombol samping secara sempurna (fungsi previous page di Windows), sedangkan tombol di sebelahnya cuma bisa tersentuh ujung jempol. Tombol ketiga di bawahnya sama sekali tidak dapat dicapai dari posisi normal, mengharuskan saya menggerakkan seluruh telapak tangan ke depan. Tapi setidaknya, switch DPI tak sulit dijangkau.
Performance & using experience
Di atas mouse mat Roccat Sense Desert Strike 2mm, ROG GX1000 meluncur lebih mulus dari MSI Clutch GM40 berkat kaki teflon yang tipis dan memanjang. Dari sedikit riset di internet, Asus memanfaatkan sensor AVAGO ADNS-9800, dan karakteristiknya tak jauh berbeda dari mouse bersensor laser lain. Selama menggunakannya, kinerja GX1000 terbilang baik, meskipun saya mendengar beberapa orang mengeluhkan kurang memuaskannya aspek konsistensi akselerasi dari ADNS-9800.
Dari pengalaman saya memakainya selama beberapa minggu ini, ROG GX1000 memang terasa sedikit lebih ‘licin’ dibanding GM40 atau ThermalTake Talon, terkadang menggelincir lebih jauh dari perkiraan. Boleh jadi inilah yang dimaksud dengan ketidakkonsistensian sensor tadi. Efeknya terasa ketika saya menggunakan GX1000 untuk menikmati game kompetitif bertempo cepat yang juga menuntut akurasi – seperti Titanfall 2. Beberapa kali, bidikan saya luput 0,5-1cm dari target.
Problem ini sendiri tidak begitu terekspos di game single-player maupun RPG. ROG GX1000 sanggup menangani Watch Dogs 2, Deus Ex: Mankind Divided, Resident Evil 7 Biohazard, serta Conan Exiles tanpa kendala.
Via aplikasi companion, Anda dipersilakan mengutak atik kecepatan/sensitivitas mouse serta memprogram ulang fungsi tombolnya. Pengguna juga bisa mengakses advance setting seperti fungsi angle snapping, mengaktifkan light height, menentukan polling rate USB, memindahkan slider DPI ke level tertinggi di 8.200, serta men-setup macro. Jika sudah puas, setting tersebut bisa disimpan ke empat slot profile yang tersedia.
ROG GX1000 menyajikan rentang DPI (dots per inch) yang luas, dari 50 sampai 8.200DPI, dibagi dalam empat level (default-nya adalah 800, 1.600, 3.200 dan 5.600). Walaupun terlihat mengesankan, hanya di skenario ekstrem saja 8.200DPI betul-betul berguna. Bagi saya, faktor terpenting adalah presisi dan sayangnya AVAGO 9800 belum bisa dikatakan sempurna. Namun setidaknya, periferal siap menemani Anda menikmati judul-judul permainan yang lebih santai dan casual.
Verdict
Selain dari pertimbangan pada aspek kenyamanan dan keakuratan, faktor penting yang boleh jadi menghalangi gamer mengadopsi Asus ROG GX1000 terletak pada harganya. Dijual seharga Rp 1,1 juta, memang tidak sulit menemukan produk lebih terjangkau. Namun sebagai salah satu gaming gear flagship Asus, ROG GX1000 menghidangkan build quality jempolan serta luasnya opsi kustomisasi, ditambah fitur macro ekstensif via software companion.
Lalu apakah mouse gaming ini layak dibeli? Sejujurnya, semua bergantung dari apa yang sedang Anda cari. Desainnya memang tidak begitu ergonomis, tapi jika kebetulan Anda merupakan seorang penggemar berat brand Republic of Gamers dan menginginkan periferal yang serasi dengan mesin gaming kebanggaan di rumah, tidak sulit untuk memaklumi kekurang-kekurangan ROG GX1000 tadi.
Sedikit masukan untuk Asus: ROG GX1000 bukanlah produk yang betul-betul baru. Bagaimana jika harganya diturunkan sedikit?