Go-Jek Tech Valley (GTV) atau markas pengembangan Go-Jek di Yogyakarta ditutup menjelang akhir tahun lalu. Public Relation Manager Go-Jek Rindu Ragilia dalam keterangan resminya mengatakan bahwa pihaknya tidak menutup kantor di Yogyakarta, tetapi mengintegrasikan dan mengkonsolidasikan pusat pengembangan dan engineering Go-Jek ke Jakarta. Pihak Go-Jek memberikan opsi kepada para pengembang untuk pindah ke Jakarta dan sejumlah pengembang akhirnya memilih keluar dan memutuskan tetap di Yogyakarta dengan alasan pribadinya masing-masing.
Di awal tahun, kabar penghentian operasional juga muncul dari startup pengembang game yang berbasis di Yogyakarta, Agate Jogja. CEO Agate Studio Arief Widhiyasa, induk brand Agate Jogja, mengatakan bahwa pasca penghentian operasional tersebut mereka berharap pengembang yang mau direlokasi bisa pindah ke Bandung supaya koordinasinya terpusat.
Bagi Arief. dengan stage yang (menurutnya) masih kecil, memusatkan tim produksi dirasa menjadi keputusan yang paling ideal.
Urgensi memusatkan tim produksi di satu tempat
Dibuatnya tim produksi di luar Jakarta seperti di Yogyakarta dilandasi beberapa alasan. Pertama, sebagai kota pelajar dengan ratusan kampus dengan berbagai jurusan, Yogyakarta dinilai sebagai supply sumber daya manusia unggul, terutama untuk tahap early stage. Alasan kedua terkait biaya operasional yang tergolong lebih “hemat” jika dibandingkan di Jakarta, Bandung atau Surabaya.
Kedua hal di atas menjadi sangat relevan sebagai strategi penguatan dan akselerasi bagi startup di tahap early stage. Ketika sudah menjadi besar dengan kepemilikan traksi pengguna yang sangat besar, biaya operasional tidak menjadi isu lagi. Kebutuhan gerak cepat dan kolaborasi yang lebih sigap kini menjadi kebutuhan yang lebih mendesak. Untuk Agate Studio, mereka merasa masih membutuhkan koordinasi terpusat untuk efektivitas.
Benang merahnya adalah kemudahan komunikasi dan kolaborasi. Produk Go-Jek dan Agate sangat bergantung tentang bagaimana stack teknologi yang disusun mampu bekerja dengan baik.
Go-Jek, dengan sebuah aplikasi tunggal, harus merangkum segala bentuk kebutuhan konsumen. Penempatan tim yang berjauhan akan menjadi tantangan tersendiri, kendati komunikasi sudah dapat dijembatani dengan perangkat lunak. Diakui atau tidak, bertatapan secara langsung menguatkan berbagai unsur pendorong kolaborasi.
Bentuk ekspansi dengan keperluan berbeda
Tiket.com pada pertengahan tahun lalu, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-5, merayakannya dengan membuka kantor perwakilan di Yogyakarta. Seperti yang diungkapkan Co-Founder Gaery Undarsa, kantor barunya ini bukan digunakan sebagai tempat bertransaksi, melainkan pemenuhan kebutuhan perusahaan untuk memiliki representasi. Mereka butuh meningkatkan kerja sama dengan agen travel, hotel dan komponen bisnis lainnya. Peningkatan jangkauan layanan sebuah produk startup memaksa perusahaan pengusungnya untuk bisa berekspansi.
Kembali ke cerita penutupan operasional Agate Jogja, menurut co-founder-nya Frida Dwi, saat ini brand Agate Jogja belum benar-benar ditutup dan masih dipegang oleh Agate Studio. Ada kemungkinan brand tersebut digunakan kembali dalam formasi dan bentuk yang berbeda. Hal serupa juga pernah dituturkan oleh Go-Jek, bahwa GTV tidak benar-benar ditutup, hanya saja merelokasi tim pengembang ke Jakarta. Dari sisi operasional tempat singgah yang dimiliki akan digunakan untuk keperluan proses bisnis yang lain.
Skarang modelnya mulai dibalik, tim produk akan dipusatkan di satu tempat, sedangkan tim pengembang bisnis yang harus berekspansi ke berbagai daerah tempat konsumen bernaung untuk memperkuat produk dan memperluas pangsa pasar.