Anda bisa menemukan berbagai cara untuk menciptakan password anti-retas, dari mulai menggunakan kalimat atau serentetan kata. Masalahnya, semakin panjang, password jadi sulit diingat. Dan karena lebih ringkas, itu mengapa adopsi biometric scanner di perangkat bergerak jadi bertambah populer. Tapi tersedianya teknik baru juga membuka peluang munculnya celah keamanan baru.
Seorang pakar keamanan cyber dan data mining sekaligus asisten profesor di Texas Tech University bernama Abdul Serwadda memperkenalkan terobosan yang akan membuat Touch ID dan pemindai iris jadi ketinggalan zaman. Sang doktor mengajukan sebuah metode yang memungkinkan penggunaan gelombang otak sebagai password. Di sisi keamanan, gelombang otak akan sangat sulit ditembus.
Meski mengusung teknologi yang sudah ada, metodenya memang tidak sederhana. Serwadda memanfaatkan electroencephalogram atau EEG, sebuah cara memonitor aktivitas listrik di otak. Teknik ini sering digunakan di dunia kedokteran, terutama untuk memeriksa epilepsi, turut dipakai buat mendiagnosis gangguan tidur, koma, penyakit serta matinya fungsi otak; umumnya dipilih karena non-invasi, cukup dengan menempatkan elektroda di kulit kepala.
Seperti EEG, user perlu mengenakan headset. Setelah itu, sistem segera mencocokkan identitas pengguna. Dari sana terbuka banyak sekali potensi manfaatnya: device tidak hanya berfungsi saat identifikasi atau log-in saja, namun berguna untuk merekam aktivitas otak sewaktu kita bekerja di depan komputer. Mungkin sesekali, sistem akan mencoba mengecek apakah headset masih dikenakan oleh individu yang diizinkan mengakses konten.
Kemampuannya memang sangat menjanjikan, tapi Serwadda melihat terbukanya peluang eksploitasi terhadap data-data super-sensitif misalnya kondisi medis, emosi, konsumsi obat-obatan tertentu, dan lain-lain. Bukan hanya ancaman hacker, developer applikasi yang memiliki akses ke data juga dapat memakainya untuk kepentingan mereka sendiri. App tersebut bisa melakukan apapun, misalnya men-share info ke berbagai pihak, termasuk ke pencipta malware.
Pada Digital Trends, Serwadda menyampaikan bahwa proses otentikasi berbekal gelombang otak masih jauh dari kata rampung. Di sana, terdapat banyak tantangan lain, satu contohnya: kehadiran metode ini akan berdampak besar pada penyajian aplikasi. Sang asisten profesor berargumen, “Walaupun teknik pemindai gelombang otak belum diimplementasikan, tidak berarti tak ada ancaman.”
Keharusan memakai headset juga menjadi salah satu kendalanya. Mungkin jika teknologi ini sudah matang di masa depan, kita cuma tinggal menempelkan smartphone di dahi untuk meng-unlock-nya…
Gambar header: RedTail.