Dewasa ini teknologi Virtual Reality (VR) tengah menjadi perbincangan hangat karena mulai bisa digunakan oleh masyarakat luas melalui perangkat ponsel pintar. Indonesia, sebagai negara berkembang dan mobile first, mau tidak mau harus bisa dan siap untuk menerima kehadiran teknologi baru ini. Kami mendapat kesempatan berbincang dengan CEO Dicoding Narenda Wicaksono dan Country Manager Lenovo Smartphones Indonesia Adrie R. Suhadi untuk mengetahui jalan seperti apa yang akan dilalui teknologi VR di Indonesia.
Teknologi Virtual Reality (VR) sebenarnya sudah mulai dikembangkan sejak tahun 1990-an. Tapi, saat itu perangkat yang dibutuhkan masih berukuran besar dan mahal. Teknologi ini pun seolah menjadi eksklusif untuk digunakan oleh kalangan tertentu saja.
Seiring dengan waktu dan perkembangan teknologi yang pesat, VR menjadi lebih mudah diakses saat ini. Apalagi ketika Oculus mengumumkan kehadirannya, manfaat VR untuk digunakan dalam sektor kesehatan, edukasi, dan lainnya pun mulai menjadi pembicaraan hangat untuk dikembangkan sebagai sebuah bisnis.
Sekarang, dengan akses ke VR melalui perangkat ponsel pintar yang jauh lebih mudah, teknologi ini pun menjadi salah satu primadona dengan potensinya yang luas dan belum terjamah. Sebagai negara mobile first, Indonesia juga tidak ingin tertinggal dalam mengadopsi teknologi VR ini.
Tentang membangun sebuah ekosistem
Bicara mengenai sebuah teknologi, tidak akan lepas dari membicarakan sebuah ekosistem yang diperlukan untuk saling menopang dan mendorong pertumbuhannya. Begitu juga dengan VR. Berbagai elemen dalam ekosistemnya seperti teknologi dan juga developer harus mulai mendapat perhatian, terutama bila Indonesia tidak ingin tertinggal lagi dalam mengadopsi sebuah teknologi baru.
Country Manager Lenovo Smartphones Indonesia Adrie R. Suhadi mengatakan, “Kami melihat [untuk Indonesia] yang pertama itu dari sisi teknologinya dulu harus siap. […] Kami juga lihat dari sisi aktivasi, […] maka dari itu kami ada kerja sama dengan beberapa developer […] untuk mengembangkan konten-konten yang mendukung VR. Kami juga lihat vendor lain akan mulai bergabung mengembangkan VR, […] jadi kami tidak akan bekerja sendirian dalam mengedukasi pasar tentang VR.”
Dalam kesempatan berbeda, CEO Dicoding Narenda Wicaksono menyampaikan, “Semua [elemen dalam ekosistem] harusnya jalan bareng. Kalau bicara teknologi, semua sudah ada, tinggal mau coba atau tidak. Tapi, […] ada isu dari capability developer yang harus dibangun juga.”
“Hanya saja, itu juga akan mengikuti teknologi yang diadopsi. Dalam kasus ini [untuk pasar Indonesia] adalah teknologi yang affordable dan mudah diakses. VR ini sekarang sudah masif, buka lagi teknologi eksklusif [dan] itu harusnya jadi kesempatan bagi developer karena teknologi yang ada sekarang sudah bisa dilempar ke market yang lebih luas,” lanjutnya.
Isu lain dari pengembangan VR di Indonesia adalah kepekaan terhadap komersialisasi. Narenda menyebutkan bahwa di luar negeri sudah banyak pihak dari berbagai sektor yang memiliki visi komersial untuk memecahkan berbagai solusi melalui VR. Contohnya dari kedokteran dan juga arsitektur.
Narenda mengatakan, “Mostly [di Indonesia] thinking about game. Bukan berarti game tidak menarik, tetapi teknologi ini sebenarnya bisa digunakan untuk yang lain. […] Untuk develop ekosistem ini, harus ada capability developer yang dibangun. Satu, secara teknis. Kedua, secara bisnis, sehingga bisa lihat kesempatannya seperti apa. Ketiga, secara produk. Make sure produknya bisa mature enough to meet commercial aspect.”
“Kemudian, dari sisi perangkatnya juga. Teknologinya itu ada, bisa dipakai, tapi harus ada tujuannya. Lalu dari sisi vehicle-nya. Maksudnya, teknologinya ini running on top apa? […] Device-nya ini sudah ada, tinggal capability developer-nya. Harus ada program yang komprehensif yang dibikin mulai dari ide, capability, aspek bisnisnya seperti apa, commercial aspect-nya seperti apa, go to market-nya bagimana,” lanjut Narenda.
Jika semua elemen dari ekosistem virtual reality di Indonesia itu sudah mulai bisa berjalan atau tumbuh, baik Narenda maupun Adrie percaya bahwa di tahap awal sektor yang akan merasakan dampak virtual reality adalah game dan hiburan. Setelah itu, sektor pendidikan akan mengikuti karena perangkat yang beredar akan semakin terjangkau dan bisa menekan cost teknologi itu sendiri.