Dark
Light

Strategi Exit Startup Bisa Dipikirkan Sejak Awal

3 mins read
June 20, 2016
Echelon Asia Summit 2016 menghadirkan sejumlah diskusi menarik, salah satunya soal strategi exit startup

Ada banyak diskusi seru ketika membicarakan strategi exit untuk para startup. Ada beberapa ‘aliran’ exit yang bisa dipilih dalam menjalankan startup. Ada yang bertujuan untuk exit dengan IPO, ada yang exit dengan M&A (merger and acquisition), dan ada pula yang memiliki pandangan tidak akan exit dan mengembangkan terus startup yang dijalaninya.

Seharusnya tidak ada yang salah dengan beberapa pandangan yang disebutkan di atas selama dijalani dengan profesional. Exit bagi startup seharusnya dijalankan atau dipilih bukan tanpa alasan. Memilih exit juga bukan berarti keluar dari medan perang dan lari dari tanggung jawab. Semua dijalankan sesuai strategi yang dibutuhkan startup.

Salah satu topik yang menarik untuk disimak di ajang Echelon Asia Summit 2016 yang diadakan di Singapura beberapa waktu lalu adalah soal exit untuk startup. Panelis yang hadir adalah Head of Media & Technology Asia Tenggara Goldman Sachs Andy Tai dan Executive Director North Ridge Partners Chris Tran. Founder & CEO, Detecq Wong Zi En menjadi moderator diskusi ini.

Kapan harus memikirkan exit

Dua pembicara ini secara garis besar memiliki pandangan yang sama bahwa strategi exit bisa dipikirkan sedini mungkin.

Andy memberikan pendapat bahwa rencana apakah akan exit atau tidak harus dipikirkan early possible ketika menyusun bisnis plan. Ia berpendapat bahwa startup yang kini bermunculan banyak yang tidak memikirkan hal ini karena lebih condong pada passion mereka dalam menjalankan startup, padahal di banyak sisi rencana exit bukan hanya bisa baik bagi founders tetapi juga bagi investor.

Sedangkan Chris memiliki pendapat bahwa startup yang sukses adalah yang para founders-nya memiliki tujuan akhir yang jelas. Pertumbuhan seperti apa yang ingin dicapai saat mengembangkan startup. Selain itu startup juga harus memperhatikan beberapa hal, termasuk growth, innovation dan talent.

Seperti yang dibahas di awal artikel, exit tak melulu berarti founders keluar dari perusahaannya dan melepaskan ke pemilik baru. Dalam proses M&A biasanya founders stay di perusahaan meski terkadang ada jangka waktu tertentu (lock).

Faktor yang harus diperhatikan dalam proses M&A

Berbicara tentang M&A, ada beberapa faktor (pandangan VC) yang bisa diperhatikan oleh para founders. Andy menyebutkan setidaknya ada beberapa hal yang bisa diperhatikan. Faktor penting untuk proses M&A adalah strategi revenue yang dimiliki startup, apakah startup itu men-disrupt kondisi yang telah ada atau tidak. Sisi talent di sini pun memegang peranan penting.

Faktor lain terkait proses ‘paper works’ adalah governance right atas perusahaan tempat investor menanamkan modal. Investor memperhatikan faktor ini dalam proses M&A. Contohnya hak veto untuk menolak keputusan founders.

Andy juga menyebutkan hal menarik tentang mindset yang bisa ada di para founders. Ekspektasi mereka atas angka (harga) startup mereka biasanya lebih tinggi sedangkan biasanya investor lebih skeptis pada proyeksi keuangan dari startup. Perbedaan mindset ini tentunya perlu diperhatikan saat founder menargetkan M&A, karena ketidaksamaan persepsi bisa membuat proses gagal.

Pendapat lain yang senada disampaikan Chris. Menurutnya founders harus bisa memperhatikan future promises yaitu kondisi-kondisi di masa depan yang akan dihadapi oleh startup mereka. Para founders juga harus bisa memikirkan bagaimana meningkatkan valuasi saat negosiasi untuk proses M&A. Salah satu saran yang diungkapkan Chris adalah menggunakan jasa advisor atau penasihat. Ia berpendapat bahwa advisor ini bisa memberikan bantuan untuk menunjukkan valuasi yang tepat untuk startup.

Pilih IPO atau M&A

Pertanyaan di atas standar tetapi jawabannya bisa bermacam-macam. Menurut dua investor panelis ini ketika ditanya tentang memilih mana IPO atau M&A menjawab secara logika tentu saja semua tergantung kondisi dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.

Chris mengatakan bahwa M&A memiliki keuntungan salah satunya adalah prosesnya yang relatif lebih ‘mudah’ dari IPO, misalnya jangka waktu tunggu proses dan pengurusan dokumen. Dalam proses menjalaninya, M&A juga bisa dibilang lebih ‘mudah’ karena IPO berarti investor akan bertambah dari publik.

Bagaimana dengan kondisi di kawasan Asia Tenggara? Andy memberikan pendapat bahwa IPO akan lebih menantang untuk startup di kawasan ini, sedangkan M&A akan lebih masuk akal. Beberapa faktor yang yang mendukung pendapat ini adalah M&A akan menjadi sinergi agar startup bisa lebih berkembang dan proses M&A berlangsung lebih cepat.

Andy juga menambahkan bahwa penting bagi para founders untuk memikirkan skala perusahaan saat menjalani startup mereka, apakah mereka akan menargetkat untuk IPO, M&A, atau tetap menjadi perusahaan tertutup.

Big Exit

Cara yang tepat dalam menjalankan startup adalah dengan memecahkan masalah. Demikian juga dengan proses M&A. Bagi founders yang memang berencana untuk menempuh jalan ini, Chris memberikan saran bahwa founders harus melihat sisi konsumen dan mencari pemecahan masalah. Untuk proses M&A bisa juga melihat pesaing dan memberikan pemecahan masalah yang lebih baik.

Startup yang bisa diakuisisi juga bukan hanya yang bisa mendapatkan user baru dan lebih besar dari pesaing, tetapi bisa pula mencuri dari layanan yang lebih besar dan sudah ada terlebih dahulu. Akusisi bisa ditempuh oleh perusahaan besar atas perusahaan yang ‘disruptive’ ini untuk mempercepat pertumbuhan pasar.

Saran lain yang diberikan oleh Chris adalah start with end mind, menentukan secara tepat dari awal siapa konsumen dari layanan startup serta bekerja sama dengan advisor.

Memikirkan exit bukan berarti ‘menyerah’ sebelum bertanding. Founders yang memikirkan strategi akan seperti apa perusahaannya di masa depan adalah mereka yang memiliki visi dan tahu apa yang ingin dicapai dengan startup-nya.

Beberapa startup membutuhkan exit (biasanya berupa M&A) untuk urusan strategis. Perusahaan yang mengakuisisi biasanya memiliki dana, cakupan akses pasar yang lebih luas, dan bisa membawa startup tersebut untuk berkembang lebih besar lagi.

Dalam perkembangan dunia digital yang serba cepat ini, ada banyak cara yang bisa ditempuh oleh startup, apakah stay private, IPO atau M&A. Bisa jadi, menjadi exit agnostic dan selalu melihat para perkembangan internal (pertumbuhan pengguna, laporan keuangan, burn rate) dan memperhatikan perkembangan eksternal (konsisi pasar, tren, persaingan) adalah cara yang tepat. Tidak ada formula yang sama untuk setiap kondisi tetapi cerdas membaca pola dan menelaah informasi adalah kunci.

Previous Story

Meski Tidak Dipamerkan di E3 2016, PlayStation ‘Neo’ Akan Dirilis Tahun Ini?

Next Story

Bukalapak dan Kaskus Klarifikasi Rumor IPO (UPDATED)

Latest from Blog

Don't Miss

Berbicara tentang exit, investor masih memilih jalur IPO, namun kebanyakan startup belum siap melantai di bursa

Potensi “Exit” di Tahun 2021 di Mata Pendiri Startup dan Investor

Di Indonesia, strategi exit yang memungkinkan investor dan founder untuk mencairkan
Investor punya andil mengarahkan "exit" bagi portofolio startup-ya. Fokus pendiri startup biasanya adalah mengurusi bisnis dan membuatnya berkelanjutan / DepositPhotos

Perlukah Strategi “Exit” Startup Dipersiapkan Sejak Awal

Antara merger, akuisisi, dan IPO, mana strategi exit yang tepat