Akhir Maret lalu, Menkominfo menerbitkan Surat Edaran Menkominfo No. 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui Internet (Over The Top) yang bermaksud memberikan para penyedia layanan OTT waktu untuk bersiap-siap menyambut rancangan peraturan Menkominfo mengenai layanan OTT di Indonesia.
Rancangan Peraturan Menkominfo tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui Internet (RPM Menkominfo) telah tersedia untuk uji publik akhir April lalu. Pada kesempatan ini, kita selaku penyedia atau penikmat layanan OTT dapat mengkritisi RPM Menkominfo dan memberikan masukan. Sayangnya, masa uji publik ini sangat terbatas dan jadwalnya bakal berakhir 12 Mei besok.
Melalui artikel ini, kami bermaksud untuk menerangkan isi RPM Menkominfo tersebut. Dalam RPM Menkominfo, dinyatakan bahwa dokumen ini diperlukan supaya:
a. tercipta iklim usaha yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi;
b. mengembangkan industri kreatif dalam negeri di tengah iklim usaha global;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. menciptakan kompetisi yang sehat.
Lebih lanjut, RPM Menkominfo ini juga menyatakan bertujuan melindungi kepentingan masyarakat, penyelenggara telekomunikasi, dan kepentingan nasional. Apa benar demikian?
Kewajiban Layanan OTT sesuai dengan RPM Menkominfo
Dalam RPM Menkominfo tersebut, Layanan Aplikasi adalah penggunaan perangkat lunak yang memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik, dan chatting/instang messaging, serta layanan transaksi finansial, transaksi komersial, penyimpanan dan pengambilan data, mesin pencari, game, jejaring dan media sosial, termasuk turunannya dengan memanfaatkan akses internet.
Sementara Layanan Konten adalah penyediaan informasi digital yang dapat berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, game atau kombinasi darinya, termasuk dalam bentuk yang streaming atau download dengan memanfaatkan akses internet.
Yang disebut sebagai Layanan OTT adalah Layanan Aplikasi dan/atau Layanan Konten, jadi baik pembuat aplikasi maupun pembuat konten bisa dikategorikan sebagai layanan OTT.
Penyedia Layanan OTT lokal dapat berbentuk perorangan atau badan usaha. Sementara penyedia Layanan OTT asing wajib berbentuk setidaknya Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sebelumnya, kami sudah pernah membahas soal BUT terkait dengan usaha OTT.
Bagaimana kewajiban layanan OTT di Indonesia? Layanan OTT disebutkan wajib melakukan perlindungan dan kerahasiaan data. Kemudian, Layanan OTT juga wajib menggunakan nomor protokol internet Indonesia dan menempatkan sebagian server dalam data center di Indonesia. Data rekaman transaksi dan trafik juga harus disimpan selama minimal 3 bulan. Jika data rekaman tersebut digunakan dalam proses peradilan, maka harus disimpan hingga terdapat putusan pengadilan berkekuatan tetap.
Dalam kegiatannya, Layanan OTT wajib melakukan filter konten dan mekanisme sensor sesuai dengan peraturan di Indonesia. Selain itu, Layanan OTT dapat dilakukan dengan meminta pembayaran atau tidak. Apabila berbayar, Layanan OTT wajib menggunakan payment gateway nasional yang berbadan hukum Indonesia.
Selanjutnya, segala informasi dan/atau petunjuk penggunaan Layanan OTT harus ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Dalam rangka melindungi kepentingan konsumen, Layanan OTT juga harus menyediakan pusat kontak informasi, dan setiap pertanyaan dan/atau pengaduan harus ditanggapi dalam 1 x 24 jam.
Terdapat beberapa hal yang dilarang disediakan dalam muatan Layanan OTT, di antaranya muatan yang mengandung hate speech, menimbulkan konflik SARA, bertentangan dengan peraturan, menodai agama, kekerasan, penyalahgunaan narkoba, pornografi, dan lain-lain.
Layanan OTT juga wajib menjamin akses penyadapan informasi secara sah dan pengambilan alat bukti dalam rangka keperluan perkara pidana oleh aparat penegak hukum. Kemudian, penyedia Layanan OTT juga wajib menyampaikan laporan tahunan ke BRTI yang setidaknya memuat informasi jumlah pelanggan dan statistik trafik layanan.
Sehubungan dengan fungsi telekomunikasi Layanan OTT, RPM Menkominfo belum dapat mengambil keputusan dan memiliki beberapa opsi:
a. Penyedia Layanan OTT dapat bekerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi.
b. Dalam hal Layanan OTT memiliki fungsi sama atau substitutif dengan layanan jasa telekomunikasi, penyedia Layanan OTT wajib bekerja sama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi.
c. Dalam hal Layanan OTT memiliki fungsi sama atau substitutif dengan layanan jasa telekomunikasi, penyedia Layanan OTT wajib menjadi penyelenggara jasa telekomunikasi.
Tidak dijelaskan seluas apa lingkup dari kerja sama yang dimaksud. Apakah termasuk penentuan profit sharing dan penentuan tarif? Bagaimana jika layanan OTT tersebut tidak memungut biaya, seperti yang ditawarkan oleh layanan messaging saat ini?
Jika RPM Menkominfo disahkan menjadi peraturan yang berlaku secara nasional, Layanan OTT yang sudah ada diberikan waktu 9 bulan untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan baru ini. Pendirian badan usaha atau BUT di Indonesia tentunya melibatkan instansi pemerintah selain Kementerian Komunikasi dan Informatika. Alangkah baiknya apabila seluruh instansi tersebut dapat bekerja sama supaya kewajiban penyesuaian di atas dapat selesai dalam 9 bulan saja.
RPM Menkominfo ini masih berstatus uji publik dan kita berhak untuk menyampaikan kritik serta saran kepada Menkominfo. Masukan dan tanggapan kita dapat dilayangkan ke [email protected] atau telepon 0815-1898881 hingga 12 Mei 2016.
Komentar
Menurut kami, berdasarkan kajian hukum dan teknologi, apa yang diminta oleh Pemerintah cukup tidak masuk akal. Bayangkan sebuah layanan OTT, misalnya WhatsApp yang merupakan layanan messaging terpopuler di Indonesia saat ini, harus mengakomodasi semua hal yang dicetak tebal di atas. Mereka harus menyediakan data center di Indonesia, membuka akses ke pemerintah ketika dibutuhkan, dan bekerja sama dengan operator seluler lokal karena memiliki fitur menyerupai layanan telekomunikasi. Sesuatu hal yang kemungkinan besar sulit dipenuhi secara keseluruhan oleh WhatsApp sekalipun.
Mungkin yang dimaksud oleh Pemerintah adalah kehadiran aplikasi lokal, yang bisa menyaingi WhatsApp, dan bisa digdaya di negeri sendiri. Jika ternyata WhatsApp tidak mampu, atau tidak mau mengakomodasi semua yang disyaratkan Pemerintah tersebut, apakah WhatsApp akan diblokir? Apakah pengembang lokal, dalam waktu 9 bulan ke depan, mampu menghasilkan sebuah platform messaging dengan kualitas sekelas WhatsApp?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harusnya disampaikan ke pihak pemerintah sebelum masa uji publik berakhir besok.
–
Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.
Amir Karimuddin berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.