Kamis (28/4), Indonesia E-Commerce Summit & Expo (IESE) 2016 yang digelar pertama kalinya oleh Indonesia E-Commerce Associaton (idEA) bekerja sama dengan Dyandra memasuki hari kedua. Di hari keduanya, sesi Summit IESE 2016 membahas mengenai lanskap mobile commerce, pendanaan, logistik, hingga perlindungan konsumen di lanskap e-commerce Indonesia.
Dinamika pendanaan startup di Indonesia
Industri digital di Indonesia kini sedang tumbuh dan e-commerce mencuat menjadi salah satu sektor yang paling dilirik. Potensi pasar yang besar, membuat Indonesia seolah-olah menjadi tambang emas baru bagi para stakeholder di industri digital. Pelaku startup digital mulai menjamur, investor mulai menanam modal, dan pemerintah pun dibuat sibuk menata semua perubahan yang terjadi begitu cepat.
Indonesia masih belum beranjak jauh dari garis mulai. Untuk mendorong agar bisa melaju lebih jauh, ekosistem yang sehat perlu dibentuk. Salah satu elemen ekosistem yang selalu disuarakan adalah pendanaan atau penanaman modal, baik itu dari asing maupun dalam negeri.
Bisnis menanam modal sendiri bukan bisnis jangka pendek, butuh waktu untuk mendapatkan keuntungan. Strategi exit pun biasanya sudah direncanakan ketika menanam modal di startup, seperti Merger & Acquisition (M&A) atau penawaran saham publik (IPO).
[Baca juga: Masa Depan “Exit” Startup di Asia Tenggara adalah Merger dan Akuisisi, Bukan IPO]
Di Indonesia sendiri diprediksikan akan lebih banyak terjadi M&A dalam dua atau tiga tahun ke depan dibanding IPO. Pun demikian, Managing Partner TAS – Ernst & Young David Rimbo dalam sesi panel diskusinya di IESE 2016 menyebutkan bahwa IPO adalah penilaian sesungguhnya sebuah startup dalam hal menciptakan ‘gangguan’ dan nilai.
David mengatakan:
“Penakaran sebenarnya nilai [startup] itu munculnya dari saat IPO. In between, seperti fundraising, itu hanya intangible valuation play istilah teknisnya. Tapi benar-benar real value add daripada [startup] teknologi, diri sisi disruption dan value creation, itu divalidasi saat investor publik percaya nilainya sebesar itu. Itu menurut saya acuan [exit] yang seharunya ke sana.”
“Tahun ini, […] kalau dari sudut pandang aktivitas VC, itu agak melambat […] karena tahun ini kita [Indonesia] belum lihat ada tech listing yang carry the value. Kalau dilihat pada masa awal, di saat perusahaan-perusahaan ini tumbuh dan masih ‘merah’, dari sisi persepsi investor publik khususnya di capital market konvensional itu tidak menarik. Makanya hanya menarik bagi VC yang melihat masih ada delta yang bisa di-capture. Tujuannya tetap ada exit di IPO, atau trade sale dengan strategic” lanjut David.
[Baca juga: Moxy dan Bilna Merger Membentuk MoxyBilna (Sekarang Orami)]
Menurut Partner Convergence Ventures Donald Wihardja, ada alasannya sendiri untuk masing-masing industri dalam melakukan trade sale. Memang market acquisition itu mahal tetapi di Indonesia, khususnya industri e-commerce, sudah kelihatan ke depannya mengarah ke arah sana. M&A ini akan menurut Donald akan rapid dalam 2-3 tahun ke depan, sehingga saat ini adalah waktu yang tepat untuk berinvestasi.
Startup yang ingin mendapatkan modal dari VC pun terkadang memiliki keraguan untuk pitching. Alasannya berbagai macam hal, salah satunya takut ide startup-nya kurang menarik. Dalam hal ini, Managing Partner Ideosource Andi S. Boediman mengingatkan bahwa eksekusi idelah yang paling penting.
“Jangan khawatir dengan ide Anda [para pelaku startup]. Your idea is cheap. Setiap orang dalam ruangan [Summit] ini punya banyak ide. Masalah sebenarnya adalah bagaimana mengeksekusi itu. Jangan datang ke VC dan meminta menandatangani ‘my non disclosure agreement’, mereka akan bilang ‘I don’t care about your idea’. Jangan berlaku seperti punya mimpi besar. Your dream is not that valuable [di mata VC],” ujar Andy.
Lanskap mobile commerce dan dinamika hambatan e-commerce lainnya di Indonesia
Selain pendanaan, hari kedua IESE 2016 juga membawakan topik-topik menarik lainnya. Seperti state of mobile commerce di Indonesia, solving logistic, national payment gateway, perpajakan, hingga perlindungan konsumen.
Indonesia saat ini sering disebut sebagai negara mobile first, namun ini masih berada di tahap awal. Menurut CEO Shopee Chris Feng, konteksnya di Indonesia saat ini adalah mengenai maturity of market. Sangat bijak bila pilihan yang ada disederhanakan, bukan memberikan banyak pilihan. Seiring dengan waktu, pasar akan belajar, dari sana pilihan akan bisa ditambah lebih banyak.
CEO Indosat Alexander Rusli, CEO Alfaonline Cathrine Hindra Sutjahyo, dan Head of Indonesian Market UC Web Donald Ru yang turut hadir dalam sesi State of Mobile Commerce di Indonesia percaya bahwa meski tren mobile first di Indonesia masih berkembang, namun arahnya pasti ke sana.
Kualitas aplikasi mobile akan semakin dioptimalkan berbagai industi, beriringan dengan kualitas telekomunikasi dan infrastruktur dan penyedia konten yang turut membaik. Selanjutnya, Indonesia akan menjadi negara mobile first yang sesungguhnya.
Dengan lebih dari 17 ribu pulau, menjadikan Indonesia sebagai negara yang unik untuk industri e-commerce, khusunya dari sektor logistik. Tak ada yang memungkiri bahwa butuh kolaborasi dari berbaagai provider logistik di Indonesia untuk memecahkan masalah ini.
Tapi, itupun akan butuh waktu karena masing-masing provider logistik memiliki standarisasi pengiriman, first dan last mile, yang berbeda-beda. Sistem standar seperti kode pos yang sudah sangat baik disusun pun dirasa harus dioptimalkan kembali agar para pelaku terkait dapat memanfaatkannya secara optimal. Itu adalah kesimpulan yang bisa ditarik dalam sesi Solving Logistik in Indonesia.
Di sesi tersebut, ada CEO aCommerce Indonesia Hadi Kuncoro yang hadir sebagai moderator. Selain itu Interim CEO PT Pos Logistics Indonesia Yan Hendry Jauwena, VP Marketing elevenia Madeline Ong de Guzman, dan Presiden Direktur JNE Mohamad Feriadi juga turut hadir sebagi pembicara.
Pembicara lain yang turut hadir di hari kedua ini adalah, CEO Redmart Roger Egan yang berbagi kisahnya mendirikan dan menjalankan Redmart dengan strategy O2O dan Assistant Minister of Finance for Tax Oversight Puspita Wulandari yang kembali menekankan kembali bahwa aturan pajak untuk e-commerce tak berbeda dengan bisnis konvensional perdangan.
Di samping itu masih ada Founder dan Principal Doku Budi Syahbudin, Director Digital Banking & Teknologi Mandiri Rico Usthavia Frans, Busines Director Artajasa Anthoni Morris dan Ketua Tim Bidang National Payment Gateway Bank Indonesia Dananto dalam sesi yang membahas mengenai National Payment Gateway (NPG). Saat ini NPG sendiri masih dalam digodok oleh BI dari sisi regulasi.
IESE 2016 hari kedua dibuka oleh Chairman Inacham Liky Sutikno yang menyebutkan bahwa ada peluang besar bagi UKM untuk memasarkan produknya ke China. Kemudian ditutup dengan diskusi mengenai perlindungan konsumen yang dibawakan oleh Head of Legal & Government Relation Lazada Sari Kacaribu dan Sekjen Kemendag Srie Agustina.
IESE 2016 akan berlangsung tiga hari, dari 27 April – 29 April 2016 dengan mengambil tempat di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD City, Tangerang.