Golden Gate Ventures (GGV) yang berbasis di Singapura merilis laporan kedua tentang pertumbuhan merger dan akuisisi (M&A) di kawasan Asia Tenggara. Mereka menyimpulkan bahwa masa depan “exit startup” di Asia Tenggara adalah M&A, bukan IPO (penawaran saham perdana) di bursa saham. GGV memprediksikan bakal terjadi pertumbuhan 500% untuk M&A di kawasan ini, sehingga diperkirakan sejak tahun 2020 bakal ada 250 proses M&A setiap tahunnya.
Pemetaan GGV menunjukkan hanya ada 11 IPO perusahaan teknologi di Asia Tenggara sejak tahun 2005, sementara di periode yang sama ada 127 akuisisi. 43% di antara proses M&A ini dilakukan oleh perusahaan non-Asia Tenggara.
Kebanyakan IPO yang dilakukan startup kawasan ini dilakukan di bursa saham Australia yang menawarkan posisi unik bagi perusahaan yang lebih kecil untuk berada di papan utama. Singapura mulai memasuki segmen ini dengan menawarkan papan saham The Catalist.
Indonesia sendiri sudah mempertimbangkan inisiatif kategori khusus di Bursa Efek Indonesia untuk UKM dan startup. Tercatat setidaknya 8 akuisisi terhadap startup terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2015 dan belum ada IPO yang terjadi. Bhinneka, dalam acara perayaan ulang tahunnya baru-baru ini, memberikan pernyataan berminat melakukan IPO dalam waktu dua tahun ke depan pasca perolehan pendanaan 300 miliar Rupiah dari Ideosource.
[Baca juga: BEI dan Kadin Akan Bangun Inkubator untuk Mempersiapkan IPO Startup]
Meskipun demikian, startup masih kesulitan mendapatkan return dengan melakukan IPO karena kebanyakan investor umum kesulitan memahami model bisnis dan bagaimana startup bertumbuh. Ujung-ujungnya lebih mudah bagi startup untuk melakukan exit dengan nilai tinggi melalui proses M&A. Dengan pemodelan statistik, GGV memprediksikan bakal terjadi pertumbuhan 500% untuk M&A startup Asia Tenggara dari tahun 2015 hingga tahun 2020, dengan setidaknya 250 M&A setahun mulai tahun 2020.
Managing Partner GGV Vincent Lauria menyatakan, “Di Amerika Serikat, ‘exit’ yang sukses melibatkan ‘go public’. [..] Di Asia Tenggara, [kondisinya] berkebalikan. Penjualan [startup] biasanya memberikan imbal balik finansial yang lebih besar ketimbang ‘go public’, terutama jika pengakuisisi memiliki ketertarikan strategis yang besar di kawasan [Asia Tenggara].”
Secara umum, GGV menyimpulkan startup yang didanai dengan modal besar, memiliki peluang diakuisisi lebih besar pula. Perolehan pendanaan biasanya digunakan startup untuk secara cepat membangun kemampuan pengembangan produk yang lebih cepat, merekrut talenta, dan meningkatkan operasi di seluruh kawasan. Startup yang sudah matang menarik perhatian berbagai calon pembeli prospektif yang ingin mengembangkan sayapnya di Asia Tenggara.
Dengan mengakuisisi perusahaan, pemain global dapat mengurangi sejumlah kesulitan untuk mengembangkan bisnis di pasar asing. Tahun 2015 saja GGV mencatat pendanaan yang dikeluarkan di kawasan Asia Tenggara mencapai nilai total hingga $2 miliar (26 triliun Rupiah).
“Dengan mengakuisisi perusahaan dengan tim yang kuat, basis konsumen yang sudah ada, dan fondasi operasional yang kuat, perusahaan global dapat berekspansi di Asia Tenggara dengan lebih efisien ketimbang melakukan semuanya sendiri [dari awal],” ujar Alexis Horowitz Burdick, pendiri startup kosmetik Luxola yang tahun lalu diakuisisi konglomerat fashion LVMH.