Pada dasarnya misi sebuah bisnis ialah untuk mengkonversi modal menjadi profit dan menggunakan profit tersebut untuk terus mengembangkan bisnisnya. Begitu pun seharusnya startup digital sebagai sebuah bisnis. Kendati demikian di atmosfer startup lokal masih sangat kental “kepercayaan” bahwa sebuah startup keren akan lebih memfokuskan pada peningkatan investasi dan valuasi sehingga dapat menarik minat pasar terhadap produk/layanan yang dikembangkan .
Anggapan untuk memfokuskan pertumbuhan (growth) menjadi bagian terpenting pada penumbuhan bisnis bukan sebuah kekeliruan. Beberapa startup mampu beroperasi kencang dengan terus mengoptimalkan investasi masuk dan terus memanjakan produk dengan sistem subsidi atau diskon besar. Dari situ banyak startup yang masih (bahkan terus) merugi dari sisi capaian profit bisnis, namun secara finansial masih kuat ditopang hasil investasi yang besar.
Mencoba berbeda
Beberapa startup menunjukkan “gaya hidup” berbeda. Tetap mengawali kiprah dari investasi, namun menyeimbangkan untuk menjadi startup mandiri, terutama dari sisi finansial. Ambil contoh dua startup yang sudah meraih BEP, bahkan profit hingga saat ini, yakni Tiket dan Dinomarket. Keduanya terpantau menjadi startup yang cukup ketat dalam menjaga kontrol terhadap arus keuangan (investasi).
Dinomarket mendapatkan investasi Seri A dari Tiger Global Management dan Michael Van Swaaij dari Silicon Valley sebesar $6 juta pada tahun 2011. Beberapa waktu lalu pihaknya menginformasikan bahwa sudah mencapai Break Even Point (BEP), empat tahun pasca perolehan investasi. Model bisnis yang berfokus pada profit dan finansial yang sehat turut dicerminkan dari manajemen Tiket.com. Bahkan startup ini tercatat sudah mendapatkan profit sejak tahun 2013.
Untuk layanan e-commerce dan marketplace, selama ini memang ada stigma dibutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan profit, atau minimal impas. Startup di bawah naungan Rocket Internet sendiri (Zalora dan Lazada) ditargetkan mencapai BEP setelah 6-9 tahun beroperasi. Ternyata, dengan strategi bisnis dan proposisi investasi yang pas, Tiket dan Dinomarket mampu berdikari, meskipun secara valuasi dan market share tidak sebesar pemimpin pasar.
Mengamati kedua startup tersebut, ada sebuah kesamaan yang bisa disimpulkan, yakni tentang bagaimana mereka memanfaatkan investasi awal dengan baik dan memaksimalkan pengalamannya melakukan bootstrapping. Seperti yang pernah diceritakan salah satu Co-Founder Tiket, di awal mereka menggunakan jurus zero marketing untuk memaksimalkan pemasaran tanpa harus membuang biaya yang besar. Proses tersebut ternyata membawa startup pada posisi terbaik ketika harus meningkatkan skala bisnis secara mandiri.
Berfokus pada profit dan melakukan efisiensi pada investasi membuat pola pikir punggawa startup untuk jeli dalam menentukan kapan harus “membakar” uang untuk melakukan percepatan bisnis (growth) tanpa menghilangkan keseimbangan pada strategi sustainability bisnis jangka panjang. Tak selamanya operasional startup terpaku pada asupan investasi pendanaan. Pola pikir tersebut, tergantung situasi perlu diubah, dengan mengedepankan strategi bisnis untuk mendapatkan minat pasar yang tinggi.
Tiket dan Dinomarket yang mampu berjalan dan berkembang tanpa investasi baru sejak Seri A-nya memberi contoh bahwa startup ternyata memungkinkan untuk fokus pada pengembangan produk dan profit tanpa membuang banyak uang. Bagaimana dengan startup Anda?